Ketimpangan, “Klan Gayus” dan PSK Malas Bayar Pajak

Salah satu persoalan mendasar Indonesia paska reformasi adalah ketimpangan pendapatan yang kian melebar. Pertumbuhan ekonomi yang massif memang sukses menurunkan jumlah orang miskin, yang secara gegabah dimaknai dengan peningkatan kesejahteraan rata-rata rakyat Indonesia.
Meskipun trend penurunan jumlah penduduk miskin ini tidak manjur di era pemerintahan Jokowi-JK, di mana per Maret lalu BPS mempublikasikan kenaikan penduduk miskin menjadi 28,59 juta jiwa dari  27,73 juta orang yang terdata pada September 2014. Bahkan Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM FEUI, Teguh Dartanto memprediksi sampai akhir 2015, penduduk miskin di Indonesia akan bertambah 1,2 juta-1,5 juta orang.
Perlu dingat bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata direspon lebih baik oleh masyarakat kelas atas ketimbang menengah dan apalagi masyarakat berpendapatan lapis bawah. Trendnya, adalah ketimpangan pendapatan yang terus meningkat. Sejak tahun 2000, ketimpangan pendapatan di Indonesia terus meningkat.  Bahkan menurut Faisal Basri, sejak tahun 2010 porsi kelompok 20 persen terkaya naik pesat hingga mencapai 49 persen. Sementara itu, kelompok 40 persen menengah dan 40 persen termiskin terus turun.
Ironisnya, dalam konteks pendapatan negara, kontribusi para Penduduk Super Kaya (PSK) ini kalah dari pekerja kelas menengah. Mereka yang berpendapatan 5-10 Miliar pertahun jumlahnya meningkat, tetapi malas bayar pajak. Kontribusi kelompok PSK  ini hanya sekitar 2 persen terhadap penerimaan negara melalui pajak penghasilan 
Hal ini bertolakbelakang dengan kelompok pekerja atau kelas menengah. Kontribusi pajak mereka sudah mencapai 15 persen terhadap penerimaan negara. Artinya, kalau mau jujur kalangan buruh dan kelas menengah itu adalah pilar penopang pembiayaan negara ini.
Tidak bisa ditafik, ketidakrelaan, atau bisa jadi ketamakan, kelompok PSK membayar pajak ini yang akhirnya mendorong beranak-pinaknya ‘Klan Gayus’, para mafia pajak. Bekerjasama dengan “Klan Gayus”, para PSK bisa mengemplang pajak. Bayaran “Klan Gayus” barangkali tampak gila-gilaan. Kita tahu Gayus yang cuma berpenghasilan Rp.12,5 juta per bulan bisa punya kekayaan senilai Rp.74 Milyar. Tetapi jumlah ini pasti teramat kecil jika dibandingkan dengan kewajiban pajak yang bisa diselamatkan ‘Klan Gayus’ darti saku para PSK ini.
Selain menggunakan jasa “Klan Gayus”, modus para PSK adalah menghindari pajak dengan menempatkan perusahaan atau berinvestasi di luar negeri. Singapura adalah negara yang paling popular. Konon, nilai asset mereka di negeri Singa ini sampai Rp 3.000 triliun.
Menyebalkannya, Indonesia ternyata tergolong ‘baik” bagi para PSK ini. Faktanya, tarif pajak tertinggi di Indonesia hanya 30 persen bagi pendapatan di atas Rp 500 juta per tahun. Ini bermakna tidak ada pembedaan antara si kaya dan para PSK. Mereka yang berpendapatan Rp 500 juta dengan  yang berpendapatan di atas Rp 3 -10 miliar ke atas terkena tariff pajak yang sama. Padahal tarif pajak orang kaya di Perancis bisa sampai  75 persen.
Menjelang Pilpres 2014, wacana tariff pajak progresif untuk kalangan OSKAB ini sempat muncul, tetapi entah mengapa tiba-tiba lenyap dari wacana public dan pemberitaan media. Apa karena kalangan OSKAB ini banyak berkontribusi atas biaya kampanye kedua paslon capres-cawapres? Entahlah.
Dua hal ini yang jadi pekerjaan utama Ditjen Pajak Kemenkeu. Menyikat “Klan Gayus” di tubuh mereka sendiri dan mengejar penerimaan pajak dari investasi orang-orang kaya Indonesia di luar negeri. Kedua langkah ini harus maksimal karena rasanya tidak adil ketika masyarakat buruh dan kelas menengah ternyata lebih banyak berkontribusi atas pendapatan negara ini, sementara para orang kaya itu malah leyeh-leyeh santai di Singapura.
Apalagi, Pepres 37 Tahun 2015 yang kontroversi itu telah menaikan tunjangan kinerja Eselon 1 Ditjen Pajak mencapai Rp 117,375 juta perbulan. Sementara pegawai kelas pelaksana, bisa mengantungi tunjangan kinerja Rp 5 – 8 juta sebulan. Sangat jauh ketimpangannya dengan Upah Minimun Provinsi (UMP) pekerja NTT yang Cuma dapat Rp 1,6 juta perbulan.

*pernah dimuat di gerilyanews dan kompasiana

INDONESIA NEGARA PALING ‘SENGSARA” SE-DUNIA ?


Badan Pusat Statistik (BPS) akhirnya merilis kondisi kemiskinan di Indonesia. Tercatat per Maret 2015 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi 28,59 juta jiwa. Angka ini naik 310 ribu jiwa dari Maret 2014 yang mencapai 28,28 juta jiwa.

Kenaikan jumlah orang miskin ini sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya, perekonomian nasional di era Jokowi-Jusuf Kalla memang cenderung tidak stabil. Banyak kebijakan pemerintah yang gagal mengungkit bahkan menjaga daya beli masyarakat.

Ambil contoh kebijakan menaikan harga BBM, gas elpiji dan listrik, tanpa kebijakan bernas untuk mengantisipasi melambungnya kebutuhan bahan pokok. Penyaluran raskin dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tertunda akibat  pemerintah lambat mengatur belanja. Hal ini diikuti dengan gelombang PHK yang menurut catatan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mencapai sekitar 26 ribu buruh. Belum lagi melemahnya daya tukar rupiah terhadap dollar USA hingga mencapai kisaran 14 ribu-an.

Dalam konteks ini menjadi menarik, meskipun wacana ini sudah tergolong usang, mendiskusikan kritik garis kemiskinan BPS yaitu pengeluaran US$ 0,79 per kapita perhari. Kendati demikian, sejak jauh-jauh hari para ekonomi sejatinya menyarakan agar Indonesia menggunakan indikator Bank Dunia, yaitu US$ 2 per kapita perhari. Jika indikator Bank Dunia yang digunakan sudah pasti jumlah penduduk miskin di Indonesia akan jauh lebih besar dari jumlah yang dipublikasikan BPS.

Terkait statistik ini pula, sebuah artikel Business Insider telah menempatkan Indonesia sebagai negara paling “sengsara”. Indonesia berada di posisi 17 dari 21 negara yang diteliti, yaitu sedikit di atas Brasil, Rusia dan Spanyol. Indikator yang digunakan adalah indeks sengsara (misery index)-nya ekonom Arthur Okun yang menghitung berdasarkan tingkat pengangguran dan inflasi suatu negara. Semakin tinggi angkanya, semakin sengsara negara tersebut. Logikanya adalah seseorang akan  sengsara karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya akibat tidak memiliki pekerjaan dan harga barang terus meningkat.

Jika penderitaan masyarakat Spanyol terkait perihal pengangguran, maka Rusia dan Brasil lebih karena inflasi yang meningkat tinggi.  Sedangkan penderitaan masyarakat Indonesia terkait dengan keduanya, yaitu angka pengangguran dan tingkat inflasi yang cukup besar. Dengan alasan yang bertolak belakang, Switzerland, Taiwan dan Japan dinobatkan sebagai negara yang paling tidak menderita karena memiliki tingkat penganguran dan inflasi yang rendah.


Sebagai catatan, memang ada beberapa kritik terkait misery index. Beberapa studi yang menyebut tingkat penganguran membawa pengaruh yang lebih besar atas ketidakbahagiaan ketimbang inflasi. Jika menggunakan studi ini artinya Spanyol, Itali, Francis, dan Polandia lebih sensara dari Indonesia.

Mengalir Bersama Bang Alir


Pertemuan perdana saya dengan Bang Alir, demikian biasa saya memanggilnya, terjadi pada awal 2009. Ketika itu saya masih tergabung di KOGAMI, NGO yang fokus pada mitigasi bencana. Saya dapat amanat untuk mendorong Perda Penanggulangan Bencana di Pesisir Selatan (Pessel). Bang Alir menjadi salah seorang yang paling sering saya mintakan pendapatnya.

Sebermula, saya pikir bertemu Bang Alir akan ribet. Mengingat kesibukannya sebagai Ketua DPRD Pessel. Pertemuan ini banyak dibantu oleh Ady Gunawan, Ketua Paguyuban Warga Sunda (PWS) Sumbar, di mana Bang Alir diangkat sebagai Pembina PWS Pessel. Tenyata orangnya ramah dan terbuka. Obrolan singkat yang saya prediksi menjadi diskusi sekitar 2 jam. Itu pun berulang sekitar 3 kali lagi.

Seingat saya, kentalnya perhatian Bang Alir terhadap warga pendatang, membuat dirinya menjadi satu-satunya sosok yang ‘dihalo-halokan’ di warga Sunda yang bermukim di Sumbar ketika ajang Pileg 2009 berlangsung. Bang Alir juga sempat menjadi Pembina Ikatan Keluarga Sriwijawa di Pessel pada tahun 2006-2009. Alhamdulillah Bang Alir kemudian terpilih sebagai senator dari Sumbar.

Garis tangan mempertemukan saya dengan Bang Alir kembali. Revi Marta Dasta, senior saya di HMI, ternyata dipercaya sebagai tenaga ahli-nya. Ketika itu saya baru hijrah ke Jakarta, dan tersangkut sebagai tim teknis salah satu direktorat di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Jarak Sudirman-Senayan yang cuma sepelemparan batu membuat saya acap ngopi-ngopi sore di ruang tamu kantor Bang Alir. Ada tiga peserta rutin ngopi sore itu, yaitu saya, Bang Revi dan Bang Adli. Terkadang Irvan, tenaga ahlinya Emma Yoanna juga terlibat.

Yang paling seru, ya jika Bang Alir ikut bergabung. Maka obrolan sore itu akan menjadi serius. Tidak ada lagi topik remeh-temeh. Bang Alir paling sering bicara kemajuan Pessel, industri otak Minangkabau dan penguatan peran DPD RI. "Jangan jadi pemuda yang penakut akan kegagalan. Pemuda harus tampil menjadi pemimpin perubahan bukan lagi hanya jadi agen perubahan,pesan Bang Alir, yang berkecimpung di dunia organisasi sejak dari pengurus OSIS SMA Tarusan.

Namun topik favoritnya adalah perihal pemekaran Renah Indojati. Bagi putera kelahiran Gurun Panjang, Pessel, pemekaran merupakan solusi terbaik untuk percepatan pembangunan di kawasan  Inderapura, Tapan, Lunang dan Silaut. Sebagaimana lazimnya daerah  perbatasan yang jauh dari ibukota kabupaten, pembangunan di 4 kawasan tersebut memang tertinggal.

Setahu saya, sejak menjabat ketua DPRD Pessel, Bang Alir sudah memperjuangkan pemekaran Renah Indojati. Geliatnya kian men-tsunami, ketika menjadi Ketua Komite I DPD yang membidangi Otonomi Daerah, Politik, Hukum dan HAM. Komunikasi yang intens dan sinergi antara Bang Alir dengan Raswin, ketua percepatan pemekaran Renah Indojati, yang didukung masyarakat menjadi kunci utama untuk mendobrak palang-palang penghalang.

Sebagai mantan wartawan Harian Singgalang, Bang Alir dekat dengan para jurnalis. Kedekatan ini sangat penting untuk mendorong dan mengawal wacana pemekaran Renah Indojati di aras media massa. Lolosnya status DOB Renah Indojati mulai dari DPRD Ka­bu­paten, DPRD Provinsi, DPD RI, Kemendagri tidak bisa dilepaskan dari kepiawaian lobby Bang Alir. Segenap energi masyarakat; waktu, tenaga, pemikiran dan dana – telah terkuras selama bertahun-tahun untuk melengkapi per­syaratan dokumen DOB tersebut.
 
Saya tahu ikhwal ini. Karena dua tahun sebelum  Pileg 2014, saya sempat menjadi tenaga ahli bagi Eko Sarjono Putro anggota DPR dari Fraksi Golkar yang ditempatkan di Komisi II DPR. Menjelang Pileg, selain perihal UU Pilkada dan UU Pemda, perihal DOB memang dibahas maraton.

Beberapakali Komisi II DPR, DPD dan Mendagri menggelar rapat bersama. Ketua Tim Kerja RUU DOB DPD RI adalah Farouq Muhammad Syechbubakar, senator asal NTB, yang kini diamanahi sebagai Wakil Ketua DPD. Namun sering pula dalam rapat-rapat tersebut saya bertemu Bang Alir, atau minimal tenaga ahlinya. “Kalau masyarakat minta 10, kita kasih 11,” kata Bang Alir sambil tertawa.

Sayangnya, akibat intrik politik di tingkat pusat, UU Renah Indojati tidak jadi disahkan. Karenanya, majunya Alirman Sori dan Raswin sebagai Cabup dan Cawabup Pessel kental nian aroma penuntasan pemekaran Renah Indojati. Saya menduga hal ini sudah menjadi masalah personal bagi Bang Alir, semacam obsesi sekaligus beban moral bagi dirinya. 
  
Akhir kata saya mengucapkan selamat berjuang untuk Bang Alir dan Bang Rawin dalam gelanggang ritual demokrasi Pessel. Semoga cita-cita mereka untuk membangun masyarakat Pessel yang lebih sejahtera dapat lekas tercapai.