Mengenang Riyanto; Kepahlawanan di Malam Natal


Malam  ini malam Natal, dan karenanya saya teringat pada Riyanto, anggota Banser NU.  Ia sudah berpulang, tetapi namanya selalu hidup di Gereja Eben Haezer Mojokerto.

Saya membayangkan pada malam Natal  itu, 24 Desember 2010, Riyanto mengecup punggung tangan sang Ibu, Katinem. Mohon restu untuk bertugas menjaga malam perayaan natal gereja-gereja. Mengendarai vespa merah, Riyanto sampai di Gereja Eben Haezer. Ia bertugas bersama tiga rekannya.

Menjelang tengah malam, seorang jemaat menemukan bungkusan tak bertuan di depan pintu masuk gereja. Di hadapan petugas keamanan, Riyanto membuka bingkisan itu. Sekonyong-konyong terbit percikan api. “Tiarap!,” teriaknya sigap.

Riyanto tergopoh-gopoh keluar. Ia mencampakan bungkusan bom itu ke tong sampah. Nahasnya, meleset. Bukannya menjauh, Riyanto malah kembali memungut bom itu. Ia menamengkan dirinya.  Sekali lagi, hendak melemparkan bom itu jauh-jauh.

Tetapi apa mau dikata? Tuhan punya kuasa. Bom itu meledak dalam pelukan sulung dari 7 bersaudara  itu. Korban berjatuhan, tetapi khalayak maklum. Tanpa pengorbanan Riyanto jumlah korban akan lebih besar.

Butuh segunung keberanian untuk bertaruh nyawa, dan bertaruh nyawa untuk keselamatan kalangan yang bukan “siapa-siapa” boleh jadi adalah salah satu puncak keberanian. Riyanto sudah melintasi gunung toleransi. Ia bukan sekadar menghargai perbedaan, melainkan mengorbankan diri untuk memperjuangkan harmoni dan sinergi atas perbedaan itu.

Tak pelak, heoisme ini mengingatkan saya pada wejangan K.H. Abdurahman Wahid. “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Jika kejadian ini ditarik pada situsi-kondisi kekinian, tentu jadi pangling. Dua bulan terakhir ini, bangsa kita dihantam dengan isu Bhineka. Baik media mainstrem maupun sosial media  terus menggulirkan sintemen agama dan etnis.

Keteledoran-keteledoran kita merawat toleransi menjadi sasaran empuk untuk objek umpat-hujat. Bangsa ini mendadak menjadi begitu mahir mencari-cari kesalahan, tetapi seolah buta akan prestasi-prestasi toleransi dalam sejarah kita. Framing!Demi menghujat, informasi yang disebar sepotong-sepotong. Dan celakanya, sentimen ini mulai bergerak menjadi aksi baku bully; saling serang.

Bahkan cacing yang diinjak pun akan menggeliat. Permasalahannya, siapa yang jadi cacing? Siapa yang jadi sepatu bot? Jangan-jangan, kita malah menyandang standar ganda; menjadi korban sekaligus pelaku. Atau yang parah: berlagak menjadi korban, tetapi sebenarnya pelaku.

Atau jangan-jangan semua ini sejatinya berada di luar keinginan kita? Jangan-jangan ada operasi  intelejen yang dilakukan untuk membuat situasi-kondisi terus memanas? Terus-menerus membayurkan kegentingan amat sangat. Padahal levelnya masih di ambang batas yang bisa kita terima. Level di mana kita bisa bersikap bijak dengan berkata “biar polisi yang mengurus”, bukan malah terseret dalam aksi menyiramkan bensin ke api yang berkobar.

Amatilah baik-baik! Tiga isu yang belakang ini menyibukan ruang publik kita : PKI, Tiongkok dan Agama.  Makin celaka, ketiga isu ini ditarik-tarik ke dalam aras politik.

Politik memang asyik, sampai-sampai kita kerap “kehilangan” diri kita sendiri. Dalam membalas kritik kebijakan pemerintah contohnya. Saya sempat menikmati aksi adu argumen di media sosial, termasuk di kolom-kolom kompasiana.

Belakangan kenikmatan ini lenyap akibat kehadiran kaum buzzer pejuang, yang kental aroma afiliasi politiknya, tetapi enggan beradu argumen secara beradab. Dulu, strategi mereka adalah mengalihkan subtansi tulisan ke arah ketiga isu ini;  bahwa yang tidak sependapat dengan mereka artinya memberangus bhineka tunggal ika. Belakangan lebih parah, bukan argumentasi yang dibangun, melainkan strategi umpat-hujat.

Hukum aksi-reaksi terjadi. Mereka yang diserang, akhirnya balas menyerang.

Kembali ke laptop, menurut saya, kondisi Indonesia tidak segenting penampakan di media sosial. Mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki nalar yang cukup untuk memfilter segala keriuhan yang menghabiskan energi itu.

Tentu saja masih ada letupan-letupan. Tidak ada gading yang tak retak. Tetapi  segenapnya masih bisa diselesaikan secara pancasialis –musyawarah baru kemudian hukum positif. Kendatipun, perlu pula digarisbawahi : jangan pula dipanas-panasi.

Hal ini berpijak pada pengalaman saya menyambangi kawasan –kawasan non muslim, bahkan daerah bekas konflik. Jangankan tindakan, bahkan ucapan yang menyinggung SARA tidak pernah saya terima. Pada banyak tempat saya mendengar kisah-kisah keluarga besar yang para anggotanya memiliki agama yang beraneka, dan undang-mengundang pada perayaan hari besar masing-masing.

Yang paling dekat, ketika anak tetangga saya yang non muslim wafat, tidak ada tetangga-tetangga saya yang memrotes penyelengaraan peribadatan itu. Kendatipun dilakukan di rumah, dan berlangsung sampai malam hari pula. Bahkan kami bergotong-royong untuk menegakan tenda besar untuk menaungi para tamu.

Kalau gagasannya mau diperluas, kita bisa berpijak pada penghormatan kaum Islam pada sidang BPUPKI yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Lalu, pada sidang PPKI yang pertama, semua orang sepakat akan redaksional “Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk sila pertama Pancasila. Belakangan, kita juga sepakat bahwa kalangan Tionghoa, baik secara etnis maupun agama Konghucu, menjadi bagian dari keragaman bangsa.

Saya pikir semua itu sudah final.  Dan kewajiban kita sebagai warga negara adalah menyinergikan segenap potensi yang terkandung dalam keragaman itu untuk membantu pemerintah mencapai tujuan Negara Indonesia, negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bukan malah ribut perihal siapa yang paling paham kebhinekaan.

Sebagai penutup, izinkan saya mengingatkan konsep kepahlawanan baru yang beberapa waktu silam sempat menghinggapi sanubari kita. Semua orang bisa jadi pahlawan! Caranya dengan menebar manfaat sesuai dengan latarbelakang kita masing-masing. Produktif dalam berpikir dan bertindak dalam merawat toleransi dan membangun sinergi antar perbedaan itu. Dan saya amat yakin kalangan seperti ini amat banyak di negeri kita yang sayangnya belum tersentuh media.

Saya pikir ini cara yang paling terjangkau bagi kita untuk meneladani heroisme ala Riyanto. Tidak muluk-muluk, tetapi memiliki efek bola salju.

Akhir kata, izinkan saya mengucapkan selamat merayakan Natal  untuk kawan-kawan yang merayakannya. Salam!

Selamat Ulang Tahun, Cak Munir

sumber, twitter Ommah Munir

Hari itu, seorang pemuda yang baru setahun dapat KTP meradang karena ledakan petasan di luar jendela kamar. Pasalnya, sang ibu yang sedang sakit baru saja terpulas. Ia baru saja mengantarnya pulang dari berobat. Maka, dengan keberanian seorang pemuda, ia keluar dari rumahnya di kawasan Kota Batu. Ia berteriak-teriak, melantangkan tantangan berjibaku. Nahasnya yang membakar petasan tidak seorang diri. Celakanya, karena ditantang oleh pemuda yang lebih kencur, mereka pun kalap. Terjadi pengeroyokan, 1 lawan 30 orang.

Waktu tahu apa yang terjadi, tindakan pertama si ibu adalah menyuruh adik si pemuda mengambil pentungan. “Kamu harus tanggungjawab, keluar kamu, berantem sana!” perintahnya kepada si pemuda.

Sejatinya, sang ibu amat membenci kekerasan. Tetapi prinsipnya tegas. Harus berani tanggung-jawab atas seganap tindakan yang telah dilakukan. Si pemuda maklum, maka ia pun keluar rumah lagi. Ia berjibaku lagi. Dan akhirnya, tentu saja, ia kalah lagi.

Demikian kira-kira satu kejadian yang membuat Munir bisa dengan asyik bercengkerama dengan teror. Didikan sang Ibu membuatnya teguh; bahwa setiap kali bertindak, ia sudah harus siap menanggung risiko.  Jadi, kendati motornya pernah diserempet orang tak dikenal, kerap diancam via SMS, rumah dan kantornya mau dibom, kantornya diserbu massa, sampai ditodong senapan;  Munir terus melangkah di jalan keyakinan yang telah dipilihnya.

Tetapi mendaulatnya sebagai seseorang yang urat takutnya sudah putus barangkali berlebihan. Munir pun kerap didera ketakutan. “Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasi rasa takut,” kata Munir.

Akibat hanya membungkukan punggung pada nilai dan prinsip, Munir harus rela jadi sansak tinju orang ramai. Ia penah dinisbatkan sebagai aktivis Islam sosialis, tetapi lain waktu ketika lingkar kekuasaan berganti, ia pun dituduh Yahudi, Kristen sampai komunis dan antek-antek Amerika.  Kontradiktif dan sulit diterima nalar, tetapi apa mau dikata, Munir sudah terlanjur jadi objek yang asyik buat dijadikan musuh nomor wahid. Saking masifnya propaganda intelejen itu, sampai-sampai ada tokoh-tokoh nasional yang keheranan ketika menemukan Munir bersalat Jumat di mesjid yang sama dengan mereka.

Tetapi, teror yang paling menyakitkan bagi Munir bukan ancaman hendak dijadikan sosis. Melainkan pada jam setengah satu siang ada seorang perempuan hamil yang mengadu kepada istrinya bahwa dirinya telah dihamili Munir. Untungnya, Suciwati yang saat itu sedang hamil, tidak terpancing. “Saya akan bela kamu supaya Munir bertanggungjawab. Tunggu sebentar,” pintanya. Tetapi ketika Suciwati kembali dari bersalin, perempuan itu sudah lenyap.

Munir dan Suciwati memang kompak. Barangkali soulmate. Saling memahami, saling kuat-menguatkan. Ketika ada dua aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang terkena pecahan bom Tanah Tinggi, dan Munir ngotot untuk tidak menyerahkan mereka kepada tentara. Karena berstatus buron, kedua aktivis itu tidak bisa dibawa ke dokter. Walhasil, selama tiga hari –deadline yang diberi para petinggi LBH waktu itu, Suciwati dan beberapa aktivis junior LBH yang sepaham dengan Munir, merawat mereka dibawah bayang-bayang penangkapan oleh Kopasssus.

Tetapi sebagai pekerja HAM, Munir juga bukan tanpa cacat. Waktu bergiat di LBH, ia pernah mempermak orang sampai masuk rumah sakit. Kali lain, ia juga pernah melempar gelas ke muka orang. Ia tahu bahwa kedua tindakannya itu tidak benar, tetapi emosi terkadang mengalahkan nalar. Uniknya, ketika Kontras diserbu preman, dan pemuda penggiat Kontras sudah bertekad tidak ada istilah mengalah, Munir malah berpikir untuk berdamai saja; agar penyerang itu dilepaskan dari jerat hukum. “Kupikir, biarin ajalah preman dilepas, musuhku toh yang lain,” katanya.

Segenap cerita ini, saya dapatkan dari buku Keberanian bersama Munir karangan Meicky Shoreamanis Panggabean. Sungguh buku yang menarik, karena darinya saya menemukan sosok Munir dari sisi manusia normal.

Betapa Munir yang besar itu ternyata baru mengenal kebijakan pengiriman tentara ke Aceh sewaktu ia nyaris tamat kuliah di jurusan hukum Universitas Brawijaya. Melalui perkawanan dengan Bambang Sugianto, seorang aktivis jalanan di kampusnya. Perdebatan mereka yang membawa Munir membaca buku-buku di luar mainstream, sampai akhirnya menemukan buku Cile, Revolusi Buruh-nya Arief Budiman. karakternya kian terbentuk setelah menelisik Nilai Identitas Kader-nya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang menurutnya cerdas radikal dan militan. Dari proses inilah Munir kemudian menemukan kembali ideologi anti penindasan.

Bagi mereka yang semasa kuliah gandrung berunjukrasa pasti akan menyebut betapa tidak istimewanya. Faktanya, banyak di antara mereka yang mengalami proses ini pada akhirnya terjebak pada ideologi mainstream. Lantas apa yang membedakan? Abdurahman Wahid menjawab bahwa dalam berjuang diperlukan penyatuan antara prinsip perjuangan dan tekad pribadi. Agaknya, Munir memiliki penyatuan itu.

Penyatuan prinsip dan tekad ini yang membuat Gus Dur hanya bisa termangu ketika Munir berencana menulis disertasi di negeri Belanda yang akan memaparkan sejumlah orang yang diduganya menjadi otak pelanggaran HAM berat di Indonesia. Gus Dur paham tak ada gunanya melarang, bagaimanapun Munir tetap akan melaksanakan niatnya itu. Dan sebagaimana yang kita ketahui, pada 7 September 2004, Munir tewas diracun dalam penerbangannya ke Belanda.

Kendati sama-sama berurusan dengan arsenik, penanganan kasus Munir tidak secepat dan semeriah persidangan Jessica Wongso. Sampai sekarang, setelah 12 tahun lamanya, aktor intelektual kasus  Munir masih misterius. Konon ia masih melenggang bebas dan menikmati gelimang kekuasaan.

Kendatipun begitu, saya amat yakin sang aktor tetap hidup dalam kegelisahan. Karena kepergian Munir tidak lantas membuat nilai dan prinsip lantas mati. Salah satunya adalah Aksi Kamisan, di mana sejak 18 Januari 2007, setiap Kamis sore, sekelompok orang berpayung hitam tegak mematung berjarak sepelemparan batu dari Istana Negara. Selama satu jam mereka berteriak dalam diam untuk menolak lupa; untuk mengingatkan pada pemimpin puncak negeri ini bahwa ada pekerjaan rumah  yang diwariskan dari presiden ke presiden yang belum lagi tuntas sampai hari ini.

Hari ini adalah Kamis yang ke-470 kalinya, Aksi Kamisan akan digelar. Tanggal dan bulan yang sama dengan waktu Munir dilahirkan, 52 tahun silam. Saya sungguh berharap berharap hari ini Jokowi mau meluangkan waktu untuk menyambangi Aksi Kamisan. Lantas di bawah naungan payung hitam yang ia pegang sendiri, Jokowi berucap, “Selamat Ulang Tahun Cak Munir! Hari ini atas nama pemerintah saya berjanji kasus Saudara dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya akan diusut tuntas. Dan mereka yang bersalah akan dihukum seadil-adilnya.” Lalu Presiden, minimal, memerintahkan jajarannya untuk berpuasa selfie sampai urusannya ini beres, dan memberi sanksi kepada mereka yang lelet apalagi sengaja menghambat. Dan publik akan mengawasi janji itu.

Tetapi, menurut saya mengenang Munir tidak cukup sebatas itu. Mengenang Munir bukan cuma urusan pemerintah dan aktivis Aksi Kamisan. Mengenang Munir juga harus dilakukan melalui gerakan internalisasi HAM dalam sendi-sendiri kehidupan, dan ini menjadi urusan kita bersama.

Bertekad menjadi Munir, kendati niscaya, tetapi amat ambisius. Maka, yang paling gampang adalah meneladani Munir sesuai dengan peran kita masing-masing. Seorang guru yang mengajarkan anak-anak didiknya tentang toleransi. Seorang tukang ojek yang tidak mengumpat-maki kepada mereka yang berbeda pandangan. Seorang buzzer pilkada yang tidak main fitnah. Seorang jurnalis yang menuliskan berita secara benar dan berimbang. Seorang atasan yang tidak bertindak diskriminatif kepada karyawannya karena soal SARA.

Tentu saja semakin tinggi posisi dan sumberdaya yang kita miliki akan semakin besar pula prinsip dan tekad Munir yang bisa kita teladani. Barangkali akan ada pengorbanan, tetapi setidaknya kita tidak perlu kuatir akan di-Munir-kan. (*)

MAKAR!

sumber simak.co.id

Jumat ini adalah hari besar di dusunku. Orang-orang dari dusun tetangga berduyun-duyun datang. Sejak pagi mereka sudah singgah ke Masjid Desa buat berwudu dan salat sunah, lalu menggelar sajadah di lapangan desa untuk bersalat Jumat. Sembari menunggu adzan, mereka khusu berdzikir. Hasrat yang bergelora bahkan membuat mereka tidak beranjak kendati hujan menerpa.

Seusai salat Jumat, Pak Kades naik ke atas panggung. Ia mengenakan pakaian kebesarannya, kemeja putih lengan panjang, dan berdehem-dehem sebelum memulai pidatonya.

“Terima kasih atas doa dan zikir yang telah dipanjatkan untuk keselamatan desa kita,” kata Pak Kades dengan suara bariton yang penuh keharuan. “Saya amat menghargai seluruh jamaah yang hadir tertib sehingga semua acara bisa berjalan dengan lancar. Terimakasih! Sekarang semua pulang dengan tertib ya.”

Sehabis Pak Kades bersama para dubalang dan punggawanya angkat kaki, giliran Pak Sorban yang naik ke panggung. Ia mengajak jamaah bernyanyi Menanam Jagung yang sudah diplesetkan.

“Tangkap, tangkap, tangkap Pak Uruk sekarang juga!” pandunya membakar semangat khalayak.

Pak Uruk adalah kepala dusun kami. Orangnya baik, tegas, tapi mulutnya ampun-ampunan. Ada desas-desus bahwa ia korup dan dibeking 9 saudagar dari seberang pulau. Tapi tahu apa aku yang cuma tukang godam pandai besi ini?

Yang jelas tempo hari Pak Uruk salah ucap, entah sudah yang keberapa kali. Lantas barisan Pak Sorban ngamuk. Aku juga ngamuk, istriku juga ngamuk, teman-temaku juga ngamuk. Lha, kalau kitab suci kami dinista orang masak kami diam-diam saja?

“Wah, aku melihatnya tidak begitu, ini bukan sekadar masalah agama,” kata Pak Guru, waktu aku bertanya pentingnya aksi 122 ini.

“Piye toh Pak?”

“Yang namanya beragama itu tak boleh dilarang-larang, apalagi sampai menista. Kena pasal HAM itu. Melanggar sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab itu. Mau mayoritas kek, mau minoritas kek, tak boleh.”

“Tapi kan Pak Uruk sudah diusut, Pak. Sudah dijadikan tersangka oleh hansip.”

“Betul, tapi kau tahu kan kalau hukum di desa kita ini masih amis kepentingan. Makanya penegakan hukum harus dikawal. Jangan terjebak kalau aksi 122 nanti tidak penting. Masak kau lupa gejolak di kampung kita dua dekade silam, waktu itu massa aksi yang menekan aparat hukum jadi satu garda terdepan agar kasus-kasus hukum bisa cepat diputus adil.”

“Apa nanti ndak bikin kian terpecah-belah toh, Pak?”

“Jangan paranoid begitu?”

“Paranoid itu apa ya, Pak?”

“Ketakutan amat sampai membabi-buta. Cobalah amati. Penduduk desa kita amat beragam, tapi selama ini aman-aman saja kan? Mengapa? Karena kita sudah sama-sama belajar bahwa kunci bhineka itu ya toleransi. Mayoritas tidak seenak udel, dan minoritas tahu diri. Ini bukan masalah mayoritas-minoritas. Ini masalah mentang-mentang berkuasa lantas mengusik keyakinan orang. Ini yang bikin bahaya.”

Lamunanku pecah selepas aba-aba bubar dilantangkan. Bergegas, kugulung sajadah yang sudah kuyup. Terompa berlumpur kukenakan. Lantas, aku bergerak menembus kerumunan khalayak. Mendadak, seseorang menepuk bahuku. Rupanya Pak Kacamata orangnya.

“Sudah dengar? Tadi subuh, ada tokoh-tokoh desa kita diringkus hansip. Si Gendang, Bintang, Pentung, Bayonet trus...ya pokoknya sembilan orang jumlahnya.”

“Lha, masalahnya apa?”

“Bikin rapat gelap buat menggulingkan Pak Kades. Permufakatan jahat. Makar!”

Telingaku serasa mendenging. Janggal sekali. “Memangnya mereka bisa apa?” tanyaku.

“Kalau mereka menghasut jamaah buat menyerbu rumah Pak Kades bagaimana? Atau jamaah digiring buat menduduki kantor tetua desa? Makanya mereka diringkus sebelum aksi.”

“Masak? Tak masuk akal ah!”

Seruan itu membuat kami berpaling. Pak Guru sudah ada di belakang kami.

“Jadi bagaimana toh Pak?” tanyaku.

“Makar itu bukan macam kenduri. Kita buat rapat, bisik-bisik dan sebar undangan, lalu orang-orang mau pada datang. Tidak semudah itu. Mau gerakan jamaah dari lapangan desa ke rumah Pak Kades atau kantor tetua desa itu kan tak gampang. Mau ngomong berbuih-buih pun amat sulit karena kita kan sudah sepakat ini aksi super damai. Zikir dan salat bareng biar semua penduduk desa teringat kembali makna dari bhineka.”

Pak Kacamata bersikeras, seraya menyisir rambut gondrongnya yang lepek oleh air hujan dengan jemarinya yang kurus. “Tapi mereka itu tokoh-tokoh desa, Pak. Mereka pasti punya pendukung.”

“Malah karena itu mereka tak mungkin serampangan. Bu Karunia itu contohnya, ia puteri kades pertama kita lho. Masak mau ujug-ujug bikin hancur demokrasi yang dibangun bapaknya. Pak Gendang itu artis tenar yang baru-baru ini coba jadi politisi, masak sekonyong-konyong mikir makar. Pak Bintang juga begitu, ia sudah kenyang ditangkap zaman Pak Kades ke-2, tak mungkin ia tidak belajar dari pengalaman. Pak Pentung dan Pak Bayonet itu bekas aparat keamanan desa, masak mereka tidak paham hukum? Tak masuk di pikiranku.”

“Tapi mereka kan bisa minta tetua desa buat bikin rapat penjungkalan Pak Kades?” sahut Pak Kacamata.

“Pemimpin tetua desa itu baru diganti. Sekarang ia pro Pak Kades, kan kemarin mereka baru makan siang di kantor desa. Lagipula para tetua desa itu kebanyakan pro siapa? Banteng, Bumi, Restorasi, Hati, Matahari sampai Beringin sudah pro Pak Kades. Garuda sudah ketemu Pak Kades. Mercy sudah bilang tak akan menjungkal Pak Kades. Jadi bagaimana caranya mau makar lewat tetua desa?”

“Hansip bagaimana? Pentung dan Bayonet itu kan bekas hansip?” kejar Pak Kacamata.

“Seberapa kuat pula dukungan buat mereka. Ingat, selepas aksi 114, Pak Kades langsung tebar mesem kepada kesatuan hansip. Komandan hansip juga tampaknya kian lengket dengan Pak Kades.”

“Jadi maksud penangkapan ini apa toh Pak?” tanyaku polos.

“Lha ini! Tapi ini umpama lho ya. jangan diseriusin,” Pak Guru cengegesan. “Targetnya ya cuci muka. Kan, tempo hari sesudah aksi 114 santer maklumat ada aktor politik, trus makar, trus teroris. Yang teroris sudah pelan-pelan dibunyikan ke telinga orang-orang desa. Yang aktor politik sudah sukses diarahkan ke satu kalangan kendati buktinya cuma isapan jempol. Nah, yang makar kan belum diangkat.”

Pak Kacamata menetak, “Lha, tapi kan bisa lain waktu. Kenapa harus sebelum aksi 122 ditangkapnya?”

“Ya, itu dia. Bisa jadi biar kesannya bagus. Biar orang-orang desa langsung paham. ‘O, ternyata isu makar itu bener toh!’ Nah, sewaktu pikiran orang-orang desa sudah terbawa ke arah sana, Pak Kades langsung muncul di tengah jamaah, kasih pidato apik. Plok! Ia kembali jadi hero!”

“Ah, ini pasti karena Pak Guru ndak suka sama Pak Kades. Makanya tindakan Pak Kades selalu salah di mana Pak Guru,” gerutu Pak Kacamata.

“Lha, kamu ini bagaimana? Aku kan turut teriak-teriak dukung Pak Kades di pilkades tempo hari.

Masak kau lupa. Kau kebagian kaosnya juga kan?”

Pak Kacamata pun mesem-mesem seraya garuk-garuk kepala.

Selamat Pagi, Bang Harry!


Kali kedua bertemu Bang Harry, demikian sapaan saya untuk Harry Azhar Azis, ketika saya mendampingi Eko Sarjono Putro, anggota DPR dari Fraksi Golkar. Ruang kerja bos saya berada di dekat mulut koridor, bertetangga dengan Nurul Arifin. Sementara ruang kerja Bang Harry ada di sudut, berhadapan dengan ruang Nusron Wahid.

Waktu itu saya acap melihat Bang Harry mondar-mandir di koridor. Nyaris setiap hari.  “Sepuluh menit sebelum jam sidang, Pak Harry pasti sudah hadir di ruangan,” kata Simon, rekan TA yang sudah berkutat di gedung parlemen sejak tahun 1999.

Anggota DPR yang giat bersidang relatif jarang. Kebanyakan pakai prinsip ala Fahri Hamzah -kehadiran untuk voting right, hadir untuk mengambil keputusan. Barangkali pernyataan Fahri lebih untuk mendongkrak citra para koleganya di DPR. Dalam beberapa sidang di Komisi II, saya menemukan Fahri Hamzah diperbantukan oleh FPKS.

Yang jelas, Bang Harry jauh dari demikian. Sejak jadi anggota DPR biasa, ia ogah titip absen. Ia bersidang bukan untuk “dihitung” melainkan mewarnai, terlibat penuh dalam perumusan perundang-undangan. Sesuai dengan amanahnya sebagai anggota DPR.

Belakangan juga saya ketahui, Bang Harry adalah anggota DPR yang tidak pernah dipanggil KPK. Baik saat menjabat Wakil Ketua Komisi XI, atau ketika mengemban amanah sebagai Ketua Banggar DPR.
Ketika Bang Harry gagal terpilih pada pileg 2014, semua orang terkejut. Kepri adalah kampung halamannya. Perjuangan Bang Harry untuk membangun propinsi pemekaran Riau itu sudah dirintis sejak 2004, mungkin lebih jauh lagi.

Muncul desas-desus kalau gugatan Bang Harry akan dikabulkan MK. “Ada saksi kuat,” begitu kabar burung itu berembus. Tetapi Bang Harry tidak mau ambil pusing. Ketika para anggota DPR yang gagal terpilih kembali seolah raib dari gedung senayan, Bang Harry malah kian asyik menuntaskan masa akhir tugasnya. Amanah sampai akhir. Barangkali karena integritasnya ini, Tuhan kemudian memberikan Bang Harry amanah baru, Ketua BPK RI.   

Jadi ketika Uda Indra J. Piliang mengajak saya untuk terlibat dalam tim penulisan biografi Bang Harry, bersama Revi Marta Dasta dan Ahan Syahrul, saya langsung membuka laptop. Saya teringat ungkapan Toni Morrison, perempuan kulit hitam pertama AS yang menerima Nobel  Sastra (1993). Ia  menyebut –jika tidak ada buku yang hendak kau baca, maka tulis sendiri. Barangkali ini yang memotivasi Uda Indra. Empat dekade menjadi aktivis, begitu Bang Harry selalu menyebut dirinya, belum ada buku khusus yang mendedah sisik-melik kehidupannya.

Bila ditarik ke kisah hidupnya, siapa sangka Bang Harry pernah berjualan kue dan menjadi pengambil bola tenis untuk membantu beban hidup keluarga. Ketika itu ia masih berseragam merah-putih. Ia pun sempat beberapa kali memohon maaf kepada kondektur bis karena kehabisan ongkos saat pulang sekolah. Alumnus penjara kampus kuning di era Soeharto, yang penuh siasat menghadapi desakan agar HMI menerima asas tunggal Pancasila, ternyata takut ditolak cintanya oleh Amanah Abdulkadir, yang kini menjadi ibu dari ketiga anaknya.

Ketika sekolah di Amerika Serikat, sesuatu yang mewah dalam kacamata orang kebanyakan, Bang Harry sekeluarga malah hidup miskin. Ia pernah kelimpungan mencari biaya  persalinan sang istri. Siapa sangka, Doktor jebolan Oklahoma State University ini sempat hampir dicabut visa belajarnya, karena nilainya anjlok. Siapa pula yang menyangka Bang Harry pernah menggugat Pemerintah Oklahoma AS demi menegakan tradisi Islam yang diyakininya?

Banyak nian cerita seru yang meluncur dari mulutnya. Seorang aktivis yang ketika berusia 31 tahun menolak jadi caleg DPR nomor jadi demi belajar ke AS. Salah satu pemikiran Bang Harry yang mengena di hati saya : “Ilmu ekonomi sudah bisa menjawab pilihan rasional, tetapi belum mampu menjelaskan keserakahan, greedy.”

Keserakahan hanya bisa diatasi dengan penegakan hukum dalam suatu sistem, dengan nilai-nilai dalam budaya. Karenanya Bang Harry jika sudah bicara penegakan hukum dan pendidikan akan pecah semangatnya. Tidak boleh penegakan hukum pilih kasih. Pendidikan yang menerapkan peraturan dan nilai-nilai harus dijunjung tinggi. Keduanya harga mati.

Salah satu wujud komitmennya di bidang pendidikan adalah ketika menjabat Ketua Banggar DPR, ia melobby Kementerian Keuangan untuk mengalokasikan dana abadi pendidikan, sekarang dikelola Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP).

Omong-omong perihal greedy, salah satu yang berkesan adalah ketika saya mewawancai Bang Harry di Hotel Crown. Ia baru selesai meeting IDI-TPDMA. Kami bertemu di kamarnya, kamar kelas standar – tanpa sofa atau ruang menerima tamu. Jadi kami mengobrol di meja kerja kecil, dengan tiga kursi, tepat di depan ajudannya yang tegak di samping ranjang. Saya tidak tahu aturan protokoler pejabat negara, tetapi sebagai pemimpin lembaga tinggi negara –setara dengan Presiden dan Wapres, bukankah Bang Harry bisa mengambil kamar kelas suite room atau presidential room?

Bang Harry cuma terkekeh. “Rumah saya di seberang (Jl. Widya Chandra), ngapain negara harus bayar kamar mahal-mahal.” Saya tidak mengira ia akan menjawab sesederhana itu. Yang jelas, ketika ambil pamit, ponsel saya tertinggal.  Saya mengirim SMS, menanti  sembari bersholat magrib. Menjelang Isya, SMS saya berbalas. Bang Harry nyengir sembari berkata, “Maaf, saya shalat, jadi gak lihat HP.”

Belakangan saya baru tahu ritual khusus ini. Ia terbiasa berdzikir sehabis shalat magrib. Dan ketika itu, sebisa mungkin Bang Harry ingin berlepas dari titel keduniawiannya. Ketika itu ia ingin bersungguh-sungguh menghambakan diri kepada sang Khalik.

Hari ini usia Bang Harry genap 60 tahun. Saya membayangkan tengah malam tadi, Bang Harry terbangun, mengambil wudhu dan membentangkan sajadah, lalu berdoa: “Seiring bergantinya almanak, anugerahkanlah hamba kekuatan untuk terus memegang kunci ridho-Mu -amanah, keikhlasan dan kesabaran serta bisa mengambil benderang hikmah dari segala kejadian.”

Barangkali penyerahan ini yang membuat Bang Harry selalu energik di sela-sela kesibukannya memastikan keuangan negara telah digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Ia memelopori agar audit keuangan negara ke depan bukan sekadar di tahap implementasi, tetapi masuk ke ranah perencanaan.

Menjelang shubuh, tetapi bukankah bagi para aktivis hari selalu pagi? Seorang pengabdi tidak pernah melihat terbenamnya matahari. Tugas seorang aktivis adalah bergerak. Darma seorang pengabdi adalah berbuat. Dilema boleh datang tetapi keputusan wajib dijalankan. Biar hakim sejarah yang menilai. Biar para malaikat yang mencatat.

Akhir kata, selamat pagi Bang Harry! Selamat bertambah umur.

Berjumpa dengan Para "Kartini"


Bagi saya, bulan April ini nyata benar bulan perempuan. Ratusan perempuan datang ke pondok saya di pinggiran Kota Hujan. Bukan secara fisik. Mereka hadir dalam tutur papan ketik para lelaki. Nyatanya perbedaan kelamin tidak lantas membuat ketiga lelaki ini tergagap-gagap.

Yang perdana mengetuk pintu adalah “Kartini : Kisah Yang Tersembunyi.”  Membaca novel Mas Aguk Irawan MN membuat saya kian insyaf akan pergolakan batin dan cinta seorang Kartini. 

Betapa cemerlangnya pikiran Soekarno ketika menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, kemudian diubah menjadi Pahlawan Nasional di era Soeharto. Karena Kartini bukan sekadar pejuang emansipasi perempuan. 

Surat-surat Kartini berkisah lebih luas lagi. Perihal sosial bahkan politik – otonomi, persamaan hukum dan pendidikan semesta sebagai jalan keluar membebaskan penderitaan pribumi. Kini saya semakin paham dari mana gagasan-gagasan Kartini yang melampaui zamannya itu mengakar.

Bersenjatakan pena dan kertas, Kartini mengembuskan badai di Eropa. Surat-surat Kartini dibukukan oleh Mr. J.H. Abendanon, ketika itu menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht - Dari Kegelapan Menuju Cahaya diterbitkan pada 1911, selepas Kartini wafat. 

Jasad boleh terkubur, tetapi gagasan justru membuncah. Van Deventer, tokoh politik etis, terinspirasi oleh buku itu. Ia kemudian menggagas pendirian Sekolah Kartini. Mula-mula di Semarang pada 1912, kemudian menyebar ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.

Pena dan kertas itu pula yang meluluhkan Gubermen Hindia Belanda untuk mengalihkan beasiswa belajarnya ke Nederland kepada H. Agus Salim –pemuda miskin cerdas yang tidak dikenalnya secara fisik dan berasal dari Minangkabau yang tidak memiliki jejak sejarah dalam keseharian Kartini. 

Belakangan sahabat H.O.S Cokroaminoto itu menapik rekomendasi Kartini. Alasannya demi menggugat diskriminasi Gubermen Hindia Belanda yang menganakemaskan keluarga bangsawan. Namun, nurani siapa yang bisa menyangkal ketulusan belas kasih Kartini?

Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Ketika kejahatan dilakukan, nurani kamilah yang menghukum kami. Ketika kebajikan dilakukan, nurani kami pulalah yang mengganjar kami --Kartini

Lewat novel ini, Mas Aguk Irawan MN juga bertutur tentang seorang perempuan yang dituduh antek-antek Yahudi, tetapi menginspirasi penerjemahan perdana Alquran di Nusantara oleh Kiai Soleh Darat.  Kisah rentetan pemberontakan  yang berpadu dengan semangat belajar meluap-luap seorang Kartini, yang justru dihantam “malang” akibat status kebangsawanannya. Mengapa perempuan Jawa berpola pikir Eropa malah rela dipoligami? Mengapa penjara pingitan justru membuat Kartini kian digdaya?



Tamu berikutnya, di bawah kepemimpinan Dahlia, adalah rombongan perempuan yang berasal dari dusun Lubuk Beringin, salah satu kampung di pinggir Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). 

Mereka berlompat-lompatan ke dalam ruang imaji kekaguman saya  lewat halaman demi halaman “Namaku Dahlia”. Bang Syafrizaldi mengoyak-moyak stigma kaum perempuan di desa-desa nun jauh di pinggir hutan, di kaki gunung - budaya patriarki, polos, sederhana, dan lugu. Stigma perempuan Melayu kampung dibinasakan dengan cara yang paling santun – belajar sembari beraktivitas. Ketika perempuan-perempuan dusun pergi ke kota untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga, atau menjadi TKW, mereka  justru memilih bertahan dan membangun harapan. Dahlia meyakinkan tidak harus ke kota untuk menjadi “jutawan”.

Dan Dahlia benar.  Dari “yasinan” berkala, mereka berkreasi membentuk kelompok arisan yang kemudian berkembang menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Bersama-sama mereka membendung  aliran modal keluar desa, yang lantas digunakan untuk kepentingan bersama.

Tanpa perlu mendengar ceramah berlarat-larat perihal konsep gender equality atau capital flight, lambat laun mereka menemukan jawaban atas keadilan akses dan kontrol terhadap sumber daya. 
Perempuan dusun Lubuk Beringin berhasil membuktikan bahwa desa bukan sekadar lapangan kehampaan sehingga harus berangkat ke kota. Mereka menjadi bukti bahwa membangun Indonesia dari pinggiran bukan khayalan.



Rombongan perempuan ketiga yang menyinggahi saya adalah para 66 gadis selatan. Lewat novel “Pinangan Dari Selatan”, Bang Indra J. Piliang mewariskan dendam berabad-abad kepada 66 gadis keturunan kelima Yang Mulia Dombu. 

Dendam Iklima, puteri Adam yang melemparkan tubuhnya untuk memadamkan birahi Qabil –saudara tua yang mencabut nyawa Habil, lelaki yang dicintainya. Di bawah komando Cecillia, mereka mendapat darma untuk memulihkan keseimbangan semesta dengan cara membunuh 666 lelaki keparat dalam jangka 66 purnama.

Gadis-gadis yang benderang dalam kehidupan malam.  Berkeliaran dalam embusan  asap rokok, alkohol, ekstasi, judi dan seks bebas. Hilir mudik di tengah impitan beragam intrik kekuasaan, kekayaan haram dan perjuangan agama dengan panji-panji gemerincing uang. Tiada hidung aparat yang mampu mengendus operasi mereka.  

Satu-satunya penanda adalah bunga sedap malam, itu pun setelah setiap kobar nyawa dipadamkan.  Pertarungan di dunia Lingga-Yoni ini direkam dalam kesaksian Tentra - mahasiswa Universitas Depok yang kemudian meniti karir sebagai analis di perusahaan minyak. 

Demikian perkenalan singkat saya dengan perempuan-perempuan luar biasa ini. Para Kartini dengan corak mereka masing-masing. Selubung misteri mereka membuat otak saya terus mencandu penasaran. 

Membaca kisah mereka membuat saya semakin sepakat dengan judul novel  yang digurat oleh Fitrawan Umar, “Yang Sulit Dimengerti Adalah Perempuan.”  Dan sampai sekarang saya masih berjuang keras untuk mengerti.

Tan Malaka dan Koperasi


Seruan kaum murba untuk berkoperasi adalah salah satu gagasan Tan Malaka yang kurang terpublikasi. Gagasan ini tenggelam bukan hanya akibat lebih menggelorannya heroism Tan Malaka, tetapi di masa silam memang segala hal yang terkait Tan Malaka sulit berkecambah akibat stempel komunis dari orde baru.

Tan Malaka perdana bicara koperasi dalam SI Semarang dan Onderwijs (1921). Brosur yang mengulas sisik-melik pendidikan ala Sekolah Serikat Islam ini menyebut harapan Tan bahwa lulusan sekolah SI bisa menjadi pemimpin rakyat, salah satunya pemimpin koperasi. Badan usaha koperasi kembali disitir Tan dalam Menuju Republik Indonesia(1925). Tan menyeru agar Indonesia, ketika merdeka nanti, mendirikan koperasi-koperasi rakyat dengan bantuan kredit yang murah dari negara. Koperasi dan industri rakyat menjadi pokok pikiran ekonominya.  Karena Tan memprediksi jika negara justru mendukung perusahaan-perusahaan besar maka perekonomian rakyat akan tergerus.  
Hari ini kita bisa melihat kebenaran prediksi Tan Malaka ini. Ketika koperasi dan industri mikro, kecil dan menengah itu, kendati mayoritas, tetapi seolah-olah hanya menjadi pelengkap bagi perekonomian bangsa. Sekali investor mahakaya datang, yang juga didukung oleh negara, maka perekonomian rakyat pun akan carut marut.

Peperangan antara ekonomi kapitalisme ini tidak akan selesai kendati Indonesia merdeka. Peperangan ekonomi ini berlangsung sepanjang masa. Dalam Gerpolek (1948), Tan Malaka kembali mempertegas seruannya ini. Dalam perang ekonomi, bagi Tan, koperasi adalah senjata, yang fungsinya disamakan dengan karabin, semacam senapan laras pendek, dan granat di tangan sang gerilya.
Karena itu, Tan meminta agar segenap kaum murba menginisiasi dan menyelenggarakan koperasi di segenap wilayah Indonesia, baik di kota, desa maupun rimba dan gunung.

Tan Malaka tidak menisbatkan himbauan berkoperasi kepada satu-dua kalangan –buruh, petani atau pedagang. Tan Malaka tidak melihat basis anggota koperasi sebagai sesuatu yang perlu dikotak-kotakan. Penjenisan koperasi dalam benaknya bukanlah berbasis homogenitas anggota koperasi, atau keluasan wilayah kerja, melainkan fungsi dalam sistem industri.

Karena itu, Tan Malaka tidak menggembor-gemborkan koperasi buruh, nelayan, atau petani, juga koperasi primer dan sekunder. Tan merekomendasikan 5 jenis koperasi, yaitu koperasi produksi, koperasi distribusi, koperasi pengangkutan, koperasi kredit/keuangan dan koperasi pasar. Koperasi di mata Tan Malaka adalah menghimpun kaum murba yang pemilik sumberdaya ekonomi dalam satu mata rantai industri. Semua kaum murba diharapkan terlibat di dalamnya.

Bagi Tan Malaka, maksud koperasi bukan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besaranya, melainkan untuk mensejahterakan anggota. Tan mengharamkan koperasi yang menangguk untung besar tetapi tidak memberikan manfaat bagi anggotanya. Koperasi yang justru sibuk dengan dirinya sendiri. Jadi kalau kemudian kita mendengar kasus koperasi Langit Biru, Koperasi Cipaganti atau koperasi ala rentenir, yakinlah kalau itu adalah koperasi jadi-jadian.

Pembagian keuntungan koperasi pun tidak selayak dividen saham perusahaan. Tan malah mengharapkan keuntungan tersebut, selain dikembalikan sebagai SHU anggota, juga digunakan untuk memperkuat organisasi koperasi itu sendiri, untuk kepentingan sosial, dan kepentingan perang-gerilya. Kedua, koperasi merupakan medan latihan yang tepat dan praktis bagi kaum murba. Apa yang dilatih?  Pengalangan persatuan dan semangat tolong menolong dan gotong royong. Tidak seperti badan usaha lainnya, koperasi menjunjung tinggi hakikat seorang manusia yang tidak bisa digantikan dengan modal besar sekalipun. Prinsip kesetaraan ini terpancar dalam system one man one vote, dan kita tahu dengan kesetaraan maka persatuan perjuangan untuk mencapai cita-cita akan lebih mudah dilakukan.

Koperasi juga merupakan wahana untuk menggembleng calon pemimpin bangsa. Bagi Tan, perjuangan bukan hanya di di lapangan keprajuritan, tetapi juga di lapangan politik dan ekonomi. Bagi Tan, seorang pemimpin bangsa harus memiliki pengetahuan ketiganya. Dan pengetahuan ekonomi bisa didapatkan dengan berkoperasi.

Tetapi berkoperasi bukan hanya untuk pengetahuan, lebih jauh dari itu Tan Malaka menekankan koperasi sebagai pembentuk karakter pemimpin bangsa – yaitu empati sosial, budaya amanah, gotongroyong dan kekeluargaan. Karakter-karakter inilah yang digembleng dalam berkoperasi. Pembentukan karakter-karakter luhur ini memang bukan omong kosong. Banyak aktivitas dan interaksi dalam berkoperasi yang kian memperkuat keluhuran jiwa anggota. Koperasi menjadi media bagi kaum murba untuk menjalin hubungan jiwa yang serapat-rapatnya dengan masyarkat disekitarnya. Tan Malaka menulis

“Ringkasnya tak ada cabang penghidupan yang luput dari matanya dan terlepas dari pada perhatiannya Sang Gerilya. Disamping itu; SEGALA HUTANG DIBAYARNYA DAN SEGALA JANJI DITEPATINYA.”

Demikian kira-kira ringkasan gagasan Tan Malaka tentang koperasi, yang sayangnya tidak sempat dirinya implementasikan karena sudah terlanjur tewas di tangan serdadu dari negara yang berpuluh-puluh tahun ia perjuangkan

Mokhtaruddin Lasso dan Tan Malaka



Sebelum terjangkit flu akhir pekan, seorang sahabat, Napirossy, warga Malaysia bertanya perihal referensi Mokhtaruddin Lasso aka Mukhtar Sutan Indra Lasso, putera Minangkabau kelahiran Kota Padang tahun 1915. Ia mengaku kesulitan mencari jejak langkah dan literature tokoh kemerdekaan Malaysia ini di negerinya. 

Mokhtaruddin Lasso sendiri kesohor di Malaysia sebagai pendiri Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM). Dalam kongres PKMM pertama di Ipoh, 30 November-1 Desember 1945, terdapat 8 pasal maklumat partai yang 2 pasal diantaranya sangat menarik. Inti kedua pasal itu adalah :
 1. PKMM bersama elemen2 di negerinya untuk mendorong Malaysia Merdeka dan sebagai satu anggota Republik Indonesia raya. 
2. Menyokong gerakan umat Indonesia dalam menyokong kemerdekaan. 

Konsepsi ini sesuai dengan kawasan Indonesia Raya versi Tan Malaka yang meliputi Semenajung Malaya, Kepulauan Filipina, seluruh Hindia Belanda, termasuk Timor Leste dan ujung timur Papua. Hal ini membuktikan bahwa Mokhtaruddin Lasso terpengaruh oleh pikiran Tan Malaka. Dan memang diketahui, ia kerap berjumpa dan menerima nasihat dari Tan Malaka itu di Singapura sebelum Jepang menaklukan negeri singa itu. 

Mokhtaruddin Lasso sempat terlibat dalam pemberontakan Silungkang tahun 1927 yang membuatnya harus melarikan diri ke Jawa. Ia lantas ikut menentang Belanda dengan bergabung dalam PNI pimpinan Sukarno. Sekitar tahun 1937-1938, Mokhtaruddin Lasso hijrah ke Singapura, lalu melawan Jepang di Malaysia dan mendirikan  PKMM. 

Konon pada tahun 1946, Mokhtaruddin Lasso kembali ke Indonesia dan turut bergerilya menentang pendudukan Belanda kembali di Indonesia. Ada pula desas-desus pada tahun 1951 dirinya ditangkap pemerintah Indonesia yang ketika itu masih trauma dengan pemberontakan PKI Madiun 1948 pimpinannya Muso. Setelah itu seperti guru politiknya, Tan Malaka, nasib Mokhtaruddin Lasso tidak jelas. Dirinya seperti hilang ditelan bumi. 

Sesampai di rumah, iseng saya mencari “Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau”-nya Prof Zulhasril Nasir diantara rak buku, termasuk ke beberapa kontainer plastik saya. Tetapi seperti Mokhtaruddin Lasso dan Tan Malaka, buku itu juga tidak kedapatan rimbanya. Barangkali beberapa tamu-tamu muda yang singah ke rumah tanpa sengaja menyelipkannya dalam tas sebagai cenderahati main ke rumah saya di Bogor. Entahlah. Waktu saya ceritakan insiden buku ini kepada sahabat Malaysia itu, dan menyadari kalau saya tidak marah, dia hanya tertawa. “Orang Minangkabau ni misteri2 betul hahaha,” jawabnya.

sumber 

TAN: Kisah Tentang Terbentur dan Terbentuk

TAN: Kisah Tentang Terbentur dan Terbentuk


Pada pengujung 1998, untuk perdana saya berkenalan dengan Tan Malaka. Zenwen Pador, seorang Mamak yang  bergiat di LBH, datang ke rumah membawa fotokopi Madilog. Saya sempat mencuri-curi baca. Otak saya, yang belum genap setahun mengecap pendidikan putih-abu-abu, tidak mampu memahaminya. Termasuk ketika si Mamak berkisah, bahwa Tan Malaka adalah seorang Minang, pahlawan besar yang terlupakan oleh bangsanya sendiri. Sejarah adalah salah satu pelajaran favorit saya, dan seingat saya belum pernah menemukan nama itu dalam buku-buku sejarah yang diajarkan kepada saya sejak SD.

Sewaktu kuliah di ranah minang, kondisi yang mirip saya temukan. Alih-alih bertemu di perpustakaan kampus, saya malah bertatapan dengan Tan lewat t-shirt pengunjuk rasa –Bapak Republik berwajah diamuk sepi. Saya tanya kepada mereka, siapa dia? Jawabannya, tetap sama seperti yang dikemukan mamak saya tiga tahun sebelumnya – sesosok misterius, cerdas tidak ketulungan, tukang recok zaman sampai kematian yang  tragis, serta rangkaian aksi-aksi heroik lainnya. Bagaimanakah proses kehidupan Tan sehingga bisa membuat gubermen jenderal Hindia Belanda dan kemudian tritunggal – Soekarno, Hatta dan Syahrir, menaruh hormat sekaligus terjangkit sakit gigi tidak terkisahkan. Seolah-olah putera Nagari Pandam Gadang ini sudah keren semenjak lahir. Sudah given menjadi bintang di langit.

Penokohan Tan sebagai legenda, justru menghambat penerjemahan gagasan-gagasan brilian Tan dalam tata kehidupan. Sebagai bintang di langit, ada impotensi gerakan anak bangsa untuk mengikuti jejak langkahnya. Sebagai sosok sakti mandraguna, Tan diposisikan selayak si Jampang dan si Pitung –sekadar untuk dikagumi. Padahal banyak nian mutiara dalam kehidupan dan gagasan Tan yang masih sangat layak untuk diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Contoh sederhananya adalah gerakan Indonesia Mengajar dan sarjana penggerak desa yang sejatinya sejalan dengan pemikiran Tan tentang pendidikan.

Membumikan Tan bermakna dua hal : mengoyak-moyak legenda, dan berorientasi pada proses. Menurut saya, Tan tidak butuh pemujaan, sebagaimana ia menyebut “revolusi bukanlah… atas perintah seorang manusia yang luar biasa.” Bukan para superhero yang menjadi kunci, melainkan kesadaran orang-orang biasa yang terorganisir dan kemudian melancarkan aksi luar biasa. Di sinilah rangkaian proses mengambil peran. “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”, ungkap Tan –yang mengingatkan saya pada hadist rasullullah itu, “Ibumu, Ibumu, Ibumu, Ayahmu”.  Terbentur lebih penting dari terbentuk.

Karena itulah TAN: Sebuah Novel, mulanya berjudul Memoar Alang-alang, ditulis. TAN adalah antitesa salah satu fiksi favorit saya -Patjar Merah Indonesia karya Matu Mona. Sisi legendaris Tan dalam Patjar Merah Indonesia sangat tepat untuk membangun harapan masyarakat, sesuai dengan semangat zaman merebut kemerdekaan yang memerlukan tokoh-tokoh utama untuk dipuja. Sebaliknya, TAN ditulis untuk menanggapi fenomena Indonesia kekinian –masyarakat yang seharusnya tidak lagi sekadar  menumpangkan harapan kepada segelintir orang, tetapi bangkit untuk mewujudkan harapan tersebut.

Karena itu TAN tidak berkutat pada Tan Malaka yang legendaris, melainkan rangkaian proses Ibrahim menjadi Tan Malaka, yang hal ini pun bahkan belum tuntas. Bahwa Tan sejatinya bermula dari bocah kampung di pelosok negeri. Tan sebagai sosok peragu, minder bahkan mengaduh oleh duri cinta, yang kemudian terbentur, terbentur, terbentur dan akhirnya terbentuk menjadi tokoh penggerak zaman. Bahwa setiap anak bangsa, dengan tempaan zaman dan keberanian bersikap, memiliki ruang untuk meneladani jejak langkah Tan dalam keseharian. Bahwa gagasan-gagasan Tan bukan berada di ruang hampa yang mustahil maujud.

TAN tidak bermaksud mengolok-olok Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia karangan Harry Poeze apalagi  Dari Penjara ke Penjara. TAN hanya suatu pancingan bagi anak muda khususnya, hidangan pembuka menuju literatur Tan Malaka yang lebih berat, yang barangkali kian jarang dibaca di era media sosial.  Pemikiran ini yang membuat saya menolak lirik Internasionale atau Genjer-genjer, yang diusulkan para sahabat, dan menukilkan penggalan Sunset di Tanah Anarki-nya Superman Is Dead pada halaman pembuka TAN.

Di luar itu semua, TAN juga merupakan upaya saya untuk mengerus salah kaprah tentang komunis. Bahwa bagaimanapun rezim di masa silam mencoba menghapusnya, bangsa Indonesia berutang jasa kepada kalangan komunis dalam pencapaian kemerdekaannya. Jauh sebelum kalangan nasionalis dan Islamis mengembor-ngemborkan upaya untuk kemerdekaan Indonesia, kalangan komunis sudah menisbatkannya sebagai tujuan gerakan mereka.  

Bahwa komunis tidak bisa dipukul rata sebagai atheis. Perlu digarisbawahi bahwa pemberontakan rakyat 1925-1926 melawan kolonial Belanda dipelopori oleh kalangan ulama. Ambil contoh Haji Misbach di Surakarta. Ada pula KH. Tubagus Achmad Chatib bersama dengan Haji Hasan, Kiai Moestapha, Haji Saleh, Entol Enoh, Kiai Moekri, Kiai Ilyas, dan Haji Entjeh yang berperan penting dalam pemberontakan di Banten. Di Sumatera Barat ada Datuak Batuah dan Djamaluddin Tamim pengajar Sumatera Thawalib. Datuak Batuah  adalah teman seperguruan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama. Ketiganya adalah murid Syech Ahmad Chatib Al-Minangkabawi, guru besar sekaligus imam Masjidil Haram, Mekkah. Tan sendiri secara tegas menekankan pentingnya persatuan antara segenap kalangan di Indonesia -nasionalis, Islam dan komunis -untuk menjungkalkan pemerintah kolonial Belanda.

Akhir kata, selamat membaca TAN. Semoga karya kecil ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Salam alang-alang!

dikutip dari kompasiana 

MENGENANG TAN MALAKA



Bulan Februari selalu menjadi bulan yang istimewa bagi para pengagum Tan Malaka. Pasalnya, pada 21 Februari 1949, tokoh revolusioner asal Minangkabau ini, yang 30 tahun dari 51 tahun hayatnya didedikasikan untuk kemerdekaan 100 % Indonesia, harus meregang nyawa di tangan bangsa sendiri. Letda Sukotjo, demikian ungkap Harry Poeze sejarahwan Belanda peneliti Tan Malaka, adalah si eksekutor tokoh bangsa yang pertama kali merumuskan konsep negara Indonesia berbentuk republik ini.

Akibat aktivitasnya dalam menggorganisir gerakan buruh, membangun sekolah rakyat anti kolonialisme dan memimpin Partai Komunis Indonesia, Tan Malaka dijatuhi hukuman pembuangan di negeri Belanda. Ironisnya, di Nederland, Tan Malaka malah dielu-elukan. Dia dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer, semacam DPR-nya Belanda, pada nomor urut 3 oleh Partai Komunis Belanda. Konon Tan Malaka berhasil meraup suara terbanyak dibanding kandidat2 yang lain, tetapi tidak terpilih karena perolehan suara hanya cukup untuk 2 kursi. Jika saat itu Belanda menerapkan sistem suara terbanyak seperti Pileg Indonesia, maka tak pelak Tan Malaka akan menjadi anggota Tweede Kamer pertama asal Hindia Belanda.

Di Filipina Tan Malaka pernah ditangkap intel Amerika Serikat. Dia dituding menjadi tukang ganggu stabilitas karena menginisiasi pendirian Partai Komunis di negeri pinoy ini. Agen-agen PID, semacam polisi intelejen Belanda, meminta agar Tan Malaka diserahkan kepada mereka, untuk selanjutnya akan diasingkan ke Kupang Nusa Tenggara Timur. Djamaludin Tamin berkisah, Gubernur Hindia Belanda sampai memfasilitasi agen-agen PID itu dengan Kapal Tjisalak khusus untuk menjemput Tan Malaka di Manila Filipina.

Tetapi Gubernur Filipina menolak permintaan Gubernur Hindia Belanda itu. Apa pasal? Sebab penangkapan Tan Malaka diikuti dengan demonstrasi besar-besaran dari kampus-kampus, beragam serikat buruh, dan penolakan tokoh-tokoh pejuang Filipina. Jalan tengahnya, Tan Malaka dibuang ke Amoy Tiongkok. Sebelum kapal Suzzana bertolak, Kapal Tjisalak kesusu berlayar cepat-cepat ke Amoy. Konsulat Jenderal Belanda di Amoy turun tangan, mereka melobby perwakilan negara-negara barat di Amoy untuk tidak ikut campur.

Ketika kapal Suzzana melontar jangkar di Pelabuhan Amoy, segenap agen-agen PID sudah mengepung. Setiap orang yang turun diperiksa, kemudian setiap kamar sampai lemari di dalam kapal. Tetapi Tan Malaka raib entah ke mana. Adalah kapten kapal Suzzana yang bertingkah di sini. Ia ditekan oleh atasannya, direktur kapal yang bersimpati dengan Tan Malaka untuk melindungi putera Minangkabau itu habis-habisan. Maka sebelum kapal melempar jangkar, Tan Malaka sudah meloncat ke sekoci yang disediakan.

Di Amoy sendiri, akibat tekanan agen-agen PID, Tan Malaka sampai diselamatkan ke pedalaman. Di desa ini, Tan Malaka dikawal oleh gerombolan bersenjata yang siap baku tembak jika agen-agen PID macam-macam.

Kisah-kisah semacam ini ada banyak, ada di setiap negara di mana Tan Malaka singgah. Mulai dari Haalem Nederland, Moskow Rusia, Berlin Jerman, Rangoon Myanmar, Shanghai dan Hongkong Tiongkok, sampai Singapura dan Penang Malaysia. Mereka adalah orang-orang asing yang tidak berkaitan langsung dengan Indonesia, tetapi mau menampung Tan Malaka, bahkan siap baku tembak untuk melindunginya. Kalau memang Tan Malaka ini penjahat besar dan komunis bengis, akan seperti itukah perlindungan orang-orang berbeda suku, bangsa, agama, ras, golongan dan dari banyak negara tersebut?

Satu yang perlu dicatat, Tan Malaka bukan revolusioner yang sekadar hidup dari kalangan yang bersimpati kepadanya. Berbeda dengan M. Hatta dan Syahrir yang dalam pembuangan masih mendapatkan biaya hidup (living cost) dari pemerintah Gubermen. Dalam perjuangannya, Tan Malaka juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Di Kanton, Tan Malaka bekerja sebagai admnistrasi perusahaan kapal; di Shanghai dan Singapura, ia menjadi guru sekolah bahasa asing; di Filipina ia bekerja sebagai wartawan; di Rawajati Jakarta, ia menjadi tukang jahit;  di Bayah Banten ia menjadi kerani perusahaan tambang. Ia tidak melulu tinggal di rumah gedong, seringkali ia menetap di kamar sempit dan pengap yang disewanya sendiri.

Bahkan buruh-buruh di Shanghai dalam suatu gerakan pemogokan pernah menemukan Tan Malaka terlelap di depan pintu WC hanya beralas tikar lusuh. Tanpa pikir panjang, Tan Malaka berhenti jadi guru pengawas sekolah perkebunan di Dili Sumatera Utara, karena tidak tahan melihat penderitaan buruh kontrak. Padahal di sana ia difasilitasi gaji yang lumayan, berikut rumah dinas dan beberapa anak buah.


Kembali kepada pertanyaan awal, jika Tan Malaka memang setan merah, akan seperti itukah kisah hidup yang dirinya tempuh? Ada ujar-ujar bahwa sejarah adalah milik penguasa. Hal ini yang membuat sejarah Tan Malaka tidak lurus sampai ke khalayak Indonesia. Rekayasa, yang melahirkan kecelakan pemikiran ini, kemudian diwariskan dari orangtua kepada anak, dari anak kepada cucu dan cicit. Sehingga tanpa pernah mengenali sejarah, pemikiran dan jasanya secara utuh, banyak kalangan yang menudingnya sebagai tukang recok zaman, sebagai pengganggu stabilitas yang patut dibabat habis. Sungguh astaga! Sungguh menyedihkan.

Revolusi Mental Perburuhan


Salah satu agenda Nawacita yang paling didebatkan publik adalah revolusi mental. Ironisnya, lebih dari setahun sejak Jokowi – Jusuf Kalla menjabat, penetrasian revolusi mental dalam setiap sektor kehidupan berbangsa dan bernegara terkesan bias. Sampai sekarang publik belum memiliki panduan serius tentang revolusi mental. Satu-satunya yang tersepakati tentang revolusi mental adalah menggalakan kembali pembangunan karakter untuk mempertegas kepribadian dan jati diri bangsa sesuai dengan amanat Trisakti Soekarno. Bagaimana cara? Ini yang masih belum terjawab. 

Bicara Trisaksi Soekarno adalah bicara Pancasila. Dalam pidato Bung Karno pada sidang BPUPK 1 Juni 1945, ditegaskan bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia. Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa, dari jiwa dan kepribadian bangsa, dari menjadi perjanjian luhur bangsa Indonesia. Dalam upaya ‘menyederhanakan’ Pancasila agar lebih mudah dipahami, Bung Karno memerasnya menjadi Trisila, bahkan Ekasila –gotong royong. Menurut Yudi Latif, gotong royong inilah yang kemudian menjiwai sila-sila dalam Pancasila. 

Dalam kondisi dan situasi hubungan industrial saat ini, semangat gotongroyong tidak terejahwantahkan. Jejak langkah pemerintah untuk melakukan penetrasian belum bernas. Harmonisasi yang menjadi semangat pemberlakuan pelbagai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan contohnya, hanya kian memicu unjukrasa buruh.  Pasalnya, selama ini permufakatan buruh-pengusaha bukan dalam konteks keadilan sosial. Musyawarah didominasi oleh pertarungan menang-kalah. Bahkan kalah-kalah, seperti hengkangnya Siemens, Japan Servo, Seagate, Xenon, Sun Creation dari Batam beberapa waktu silam. Padahal, buruh-pengusaha sejatinya sama-sama berkepentingan untuk membangun perusahaan yang bisa menciptakan keadilan sosial.

Trauma Sejarah 
Perseteruan ini tidak bisa dilepaskan dari jejak masa silam. Sekian lama gerakan buruh diberangus, hak-hak buruh ditindas. Penindasan buruh dilakukan pemerintah Orde Baru secara tertata dan sangat efektif. Pertama, periode 1966-1970, di mana segala pengorganisasian serikat buruh dilarang, karena hampir semuanya adalah produk Orde Lama di mana gerakan buruh begitu dihargai. 

Kedua,  periode 1970-1990, di mana militer terjun mengoptasi segenap kekuatan serikat buruh. Bahkan periode ini, cengkeraman militer sampai ke pabrik-pabrik. Mereka mengintervensi proses pemilihan pemimpin serikat buruh, mengunting partisipasi politik buruh, mengendalikan segenap tuntutan buruh, sampai mencegah berkembangnya serikat buruh kritis dan radikal. Dan terakhir, periode 1990-1998, dengan politik gincu Hubungan Industrial Pancasila. Nilai-nilai Pancasila diperkosa demi membangun citra pemerintah yang  responsif-akomodatif terhadap tuntutan buruh. Pola penataan gerakan buruh sukses menciptakan stabilitas ekonomi dan politik. 

Banyak investor masuk Indonesia karena tergiur politik upah murah dan situasi gerakan buruh yang macan ompong. Para pengusaha bisa memetik keuntungan besar selama era Orba. Di lain sisi, buruh hidup dipagut kemiskinan. Tak jarang buruh harus lembur atau mengambil pekerjaan sambilan demi memenuhi kebutuhan hidup. Jejaring rentenir menjerat. Jika ditelisik, mayoritas buruh kasar hari ini adalah generasi kedua atau ketiga dari masyarakat buruh era Orba yang akibat kemiskinan orangtuanya terpaksa putus sekolah. Politik upah murah adalah instrument kemiskinan terstruktur. 

Jika paska reformasi gerakan buruh terkesan ‘gila-gilaan’, mohon dimaklumi. Jika pada periode 2010-2015, upah buruh melenting secara eksponensial, janganlah buruh disebut tidak tahu diri. Jika buruh menuding para pengusaha adalah pendusta besar, jangan langsung dicap arogan. Ibarat pegas yang ditekan sekian lama, gerakan buruh hanya membalas tekanan masa silam. Jejak tangan pemerintah Orba yang berkongsi dengan keserakahan pengusaha di masa lalu adalah pangkal balanya. 

Saham Buruh 
Revolusi mental perburuhan tidak bisa tegak di atas perseteruan buruh dan pengusaha. Hubungan industrial yang berjiwa gotongroyong mustahil tumbuh di lading kecurigaan. Langkah pertama untuk melaksanakan revolusi mental perburuhan adalah mengerus perseteruan ini melalui politik etis perburuhan. Sudah sewajarnya pengusaha membayar kembali hak buruh yang mereka rampas dari buruh selama kurun Orba. Bukan sekedar lentingan upah minimum selayak yang digembor-gemborkan hari ini. Tetapi segenap kerugian yang diderita akibat politik upah murah di masa lalu dikalkulasikan untuk kemudian dikembalikan kepada kalangan buruh. Pengembaliannya bukan secara orang perorang, melainkan dalam bentuk saham buruh. 

Mengapa saham buruh? Pertama, karena jika perusahaan dipaksa untuk membayar secara langsung dikuatirkan akan terjadi defisit modal kerja yang tinggi. Lagipula, belum tentu buruh tertindas di era Orba itu masih bekerja di perusahaan. Kedua, saham buruh bisa memutus kebuntuan komunikasi antara buruh dan pengusaha. Dengan memiliki perwakilan di RUPS, buruh bisa benar-benar mengetahui situasi dan kondisi perusahaan yang sejujur-jujurnya. Kecurigaan akan strategi tipu-tipu ala pengusaha bisa diminimalisir. Lagipula, pada sidang RUPS, buruh bisa mengawal dan mengusulkan kebijakan yang berpihak pada pekerja. Ketiga, saham buruh terkait dengan azas produktivitas yang digembor-gemborkan pengusaha. Peningkatan produktivitas akan membuat pendapatan perusahaan meningkat. Muaranya adalah tambahan pendapatan bagi buruh dari dividen saham buruh di perusahaan. Melalui saham perusahaan,  buruh juga sebagai pemilik. Sehingga motivasi kerja mereka juga akan meningkat. Bukankah hal ini yang disasar oleh revolusi mental perburuhan. Pemerintah berperan untuk mendorong penerapan politik etis perburuhan. Kelihaian Jokowi-Jusuf Kalla diperlukan guna meyakinkan akan tanggungjawab moral pengusaha untuk membayar kembali keuntungan besar yang mereka terima akibat kebijakan penindasan buruh selama Orde Baru. Sebagai apresiasi, pemerintah bisa memberikan insentif bagi pengusaha yang menerapkan politik etis. 

Apalagi, visi-misi Jokowi-Jusuf Kalla, versi naskah 42 halaman, secara tegas menyebut pemberian insentif  kepada perusahaan yang memberikan hak kepada pekerja untuk dapat membeli saham perusahaan. Perbedaannya adalah cara kepemilikannya. Bukan membeli, tetapi kompensasi bagi buruh atas penindasan masa silam. Terlepas dari dibeli atau kompensasi, pemerintah secara tegas sepakat bahkan siap untuk mendorong adanya saham perusahaan bagi kalangan buruh. Maka politik etis perburuhan adalah langkah awal dalam penerapan revolusi mental perburuhan. 

Politik etis perburuhan adalah itikad baik pengusaha, bahwa mereka telah siap menjadikan buruh sebagai mitra kerjanya. Penyelesaian trauma masa lalu bisa meredam saling curiga antara buruh dan pengusaha yang menjadi akar ketidakstabilan hubungan industri di tanah air. Jika politik etis perburuhan tidak dilakukan, maka revolusi mental perburuhan berpotensi besar menjadi jargon. 

Hubungan industrial yang dijiwai semangat gotongroyong akan sulit hidup di bumi Indonesia. Perseteruan buruh-pengusaha tidak kunjung meredup. Sebaliknya, peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah hanya akan berbuah penolakan, baik secara wacana maupun unjukrasa. Padahal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata. Tantangan perekonomian global kian kompleks, sementara industri tanah air terus saja tidak stabil. Jika demikian, siapa yang akan dirugikan?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hendriteja2029/revolusi-mental-perburuhan_56826703737a618614d16d0f