SUARA-SUARA KEHIDUPAN


Ngiiiiiiiiiingggg…nguuuuuuuuuunggg...

Jerit speaker mesjid itu nyaring dan mengerikan, bukti kongkrit kalau gharinnya masih amatiran. Seketika itu juga Kartini, untuk beberapa saat, merasakan pening di kepalanya. Meski begitu dia tetap melorot turun dari dipan beralas karpet tipis yang telah sepuluh tahun belakangan menjadi pembaringannya.

Hati-hati dia menyalakan lampu minyak agar suaminya tidak terjaga. Listrik rumah kontraknya sudah dicabut sejak Manto dipecat tanpa pesangon, tepat enam bulan lalu. Untuk menyambung hidup, mantan buruh pabrik seng itu hanya bisa mengumpulkan gelas-gelas plastik dari tempat-tempat sampah dan menjualnya kepada juragan pengumpul.

Kartini mengangkat lampu minyak itu setinggi ketiak. Dia hendak ke belakang, tetapi berhenti mendadak ketika cahaya lampu minyak itu, tanpa sengaja, menyinari kepala suaminya. Lambat-lambat dia bergerak, memastikan kalau matanya belum lamur.

“Ya, Tuhan. Betapa cepatnya lelaki itu menua,” desah Kartini sedih. Marto tengah tertidur nyenyak, mungkin keletihan, sambil mendukung puluhan uban di bagian atas telinganya. Lekuk yang dalam kini menggaris di sepasang mata suaminya itu.