DPR Rempong, PR UU Keteteran

Miris rasanya menyitir kabar sepanjang 2015, DPR baru mengesahkan 4 UU. Masih ada 37 RUU prioritas yang tersisa dari target DPR tahun 2015. Padahal waktu kerja hanya tersisa 4 bulan. Itupun harus dikurangi dengan waktu reses, yang biasanya, antara September-Desember. Celakanya, Forum Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat baru 20 RUU yang dalam proses persiapan untuk dibahas. Jumlah tersebut mencakup 16 dalam proses di DPR ditambah 4 RUU usulan pemerintah. Sehingga, masih ada 19 RUU dari prioritas 2015 yang belum tersentuh sama sekali.
Rendahnya kinerja legislasi DPR merupakan hal yang tidak terduga. Pasalnya, belakangan ini DPR tengah gegap-gempita memperjuangkan 7 mega poyek di kompleks DPR yang memakan anggaran negara sekitar Rp 2,7 triliyun. Jumlah ini membengkak dari prediksi DPR yang sebelumnya hanya Rp 1,6 triliyun. Sebagaimana kita ketahui, 7 proyek fisik tersebut meliputi alun-alun demokrasi, museum dan perpustakaan, jalan akses bagi tamu ke Gedung DPR, visitor center, pembangunan ruang pusat kajian legislasi, pembangunan ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR. Sebelumnya DPR tampak “mati-matian” mendorong kebijakan dana aspirasi yang besarnya Rp 20 milyar peranggota DPR pertahun.
‘Kengototan’ dan sikap ‘keras’ DPR ini membawa saya pada pemikiran bahwa fungsi legislatifnya berjalan prima, atau minimal lumayan bagus. Karena amanat UU menegaskan bahwa DPR memiliki tiga fungsi yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Ketika fungsi legislatif ini masih kedodoran, alangkah naifnya jika DPR menawarkan atau menuntut sejumlah hal-hal baru.  Bukankah usulan-usulan DPR yang akan menimbulkan kegoncangan publik akan lebih sedap ditangani jika DPR mampu memperlihatkan diri sebagai institusi dengan kinerja prima?
Tidak jelas alasan rendahnya kinerja legislasi DPR ini. Tetapi saya menduga ada dua alasannya. Pertama, DPR terlalu sibuk mengurusi tawaran-tawaran kreatifnya sehingga fungsi legislasi terbengkalai. Kedua, DPR konsisten mengejar kualitas UU. Secara kasat mata dugaan pertama sangat kentara dan bisa dinilai langsung oleh rakyat. Bagi saya, dugaan kedua ini yang ngeri-ngeri sedap.
Memproduksi UU yang berkualitas jelas merupakan tuntutan bagi DPR. Beberapa tahun ke belakang, negeri ini memang disibukan dengan UU yang bermasalah. Ambil contoh, pada 2010 di mana DPD menemukan 84 undang-undang yang bermasalah saat ini, terutama UU yang terkait dengan persoalan di daerah. Mahkamah Konstitusi (MK) sempat membatalkan secara keseluruhan UU tentang Sumber daya Air, UU Perkoperasi dan UU Badan Hukum Pendidikan. Ada juga pasal-pasal dalam sejumlah UU lainnya yang dibatalkan MK, yang teranyar adalah UU Pilkada. Artinya, jika minimnya produk UU yang dihasilkan DPR akibat orientasi kualitas, tentu rakyat Indonesia harus bersyukur.
Tetapi tentu saja masyarakat menuntut bukan hanya UU yang berkualitas. Kecepatan DPR dalam memproduksi UU juga diperlukan. Pasalnya UU dirumuskan, disahkan dan diberlakukan tentu berakar pada kebutuhan masyarakat. Semakin lama UU tersebut diberlakukan serupa memperlambat pemecahan masalahan-masalah di tingkat masyarakat. Ambil contoh ketiadaan UU Pekerja Rumah Tangga, yang membuat penanganan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga tidak bisa maksimal.
Coba dibayangkan! Dengan kecepatan 4 UU per Agustus ini, artinya sampai Desember nanti DPR maksimal akan menghasilkan 4 UU lagi. Padahal masih ada 37 RUU prioritas yang tersisa dari target DPR tahun 2015. Beban kuantitas ini berpotensi membuat DPR melakukan strategi “cuci piring”, yaitu mengejar pengesahan UU sebanyak-banyaknya. Tanpa strategi yang mumpuni, strategi “cuci piring” ini berpotensi menjebak DPR untuk mengabaikan kualitas UU.
Apalagi ke depannya bangsa kita tengah menghadapi Pilkada serentak. Memang intensitas anggota DPR ke dapilnya yang tengah melangsungkan pilkada tidak akan setinggi pada pileg silam. Namun keterlibatan tersebut sulit untuk dicegah. Bahkan, kendati tidak terlibat langsung, tetap akan ada sejumlah anggota DPR yang turut campur dalam agenda nasional ini. Baik akibat kewajiban dari DPP parpol, maupun kepentingan mengamankan basis suara demi menuai investasi politik pada pemilu 2019.
Pada titik ini, peran civil society untuk mengawal DPR agar memiliki kinerja prima menjadi penting. Harus ada gerakan bersama untuk mengawal agar DPR ke depan mampu mengharmonisasikan antara kepentingan pencitraan dan amanat untuk memproduksi UU yang berkualitas. Jangan sampai 2016 mendatang kita menyaksikan parade pembatalan pasal bahkan UU keseluruhan oleh palu MK.

70 Tahun RI, Dusta Pemerintah Terhadap Buruh ?


Ada makna positif dari gebyar peringatan 70 tahun Republik Indonesia bagi kalangan buruh. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan buruh, pekerja atau karyawan masih banyak yang belum beres di negeri ini. Ambil contoh perihal penggajian.
Sudah jamak, jika kalangan pengusaha selalu menggadang-gadangkan besaran penggajian buruh dengan produktivitas. Inti metode ini adalah semakin produktif, maka gaji buruh akan semakin besar. Nyatanya, penerapan metode ini pun tidak konsisten.
Publikasi Asian Productivity (2014) mencatat bahwa produktivitas per pekerja di Indonesia  adalah sebesar 20 ribu $ USD. Indonesia hanya kalah dari Thailand (22,9 $USD), Malaysia (46,6 $USD) dan Singapura (114,4$USD).  Temuan ini dijadikan “senjata” oleh Kementerian Perindustrian (Kememperin) untuk mengerus tuntutan kenaikan upah minumun buruh.
Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri Kemenperin, Imam Haryono, menyebut “Sedangkan upah minimum rata-rata tenaga kerja di Indonesia sudah mencapai US$ 226 per bulan atau sekitar Rp 2,7 juta dengan kurs rupiah Rp 12 ribu per dolar AS. Upah tenaga di negeri gajah putih tersebut hanya sebesar US$ 197 per bulan, atau hanya sekitar Rp 2,3 juta dengan kurs rupiah Rp 12 ribu per dolar Amerika Serikat (AS)”  baca : Produktivitas Pekerja Thailand Lebih Tinggi Dibanding RI 
Buruh Indonesia juga dihajar dengan pendapat dari kalangan pengusaha dan investor.  Ada gerakan untuk mendegradasi gerakan buruh sebagai kalangan yang tidak tahu diuntung. Kalangan yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Silakan baca May Day Tuntutan Upah Tinggi dan Produktivitas Rendah atau Investor Jepang Keluhkan Upah Buruh
Padahal, tidak demikian adanya. Publikasi Asian Productivity, tetapi tidak disiarkan oleh pemerintah dan dunia usaha secara utuh. Produktivitas buruh Indonesia memang kalah dari Thailand,  Malaysia dan Singapura. Tapi lebih tinggi dari Tiongkok (16,9 ribu $USD), Filipina (14,7 ribu $USD), India (11,9 ribu $USD), Vietnam (7,9 ribu $USD), Myanmar (6,7 ribu $USD) dan Kamboja (4,6 ribu $USD). Ironisnya upah buruh Tiongkok, Filipina dan Vietnam justru jauh lebih besar dari Indonesia.
Hasil analisis The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebut buruh Indonesia hanya menerima 74 sen per jam. Sedangkan buruh Tiongkok menerima US$ 4,79 per jam, Filipina US 3,15 per jam, dan Vietnam US$ 3,16. Dengan temuan ini, menjadi wajar jika buruh Indonesia menuntut kenaikan upah. Fakta ini yang seolah-olah disembunyikan oleh Kemenperin dan dunia usaha.
Pada titik inilah, tujuan negara yaitu “memajukan kesejahteraan umum” dipertanyakan oleh kalangan buruh. Karena ada indikasi pemerintah segaja mengaburkan fakta untuk membangun citra positif dalam konteks kewajibannya kepada kalangan buruh. Ada nuansa kental bahwa pengaburan ini bersifat kesengajaan, sebuah negosiasi “basah” antara dunia usaha dengan pejabat di kementerian terkait ketenagakerjaan.
Barangkali terlalu lebay rasanya untuk menyebut solusinya, “Hanya ada satu kata! Lawan!” Tetapi tampaknya, bagi buruh Indonesia, hanya itu jalan keluar yang harus dilakukan.

Jantung Bayi Khiren dan “Robot” BPJS Kesehatan


Tersentak saya membaca berita perihal Khiren Humaira Islami, bayi 11 bulan, penderita jantung bocor. Sejak berumur 20 hari, Khiren sudah didiagnosa menderita Penyakit Jantung Bawaan. Akibatnya, bayi Khiren sering sesak napas, pertumbuhan dan perkembangannya terlambat. Khiren terpaksa keluar masuk rumah sakit, mulai dari rawat jalan sampai dengan rawat inap di RSUP M. Jamil Padang sampai ke RS Harapan Kita Jakarta. Melihat si kecil Khiren dengan mata letih dan lubang hidung berikat selang oksigen, membuat hati saya menggigil.
Alhamdulillah,pada tanggal 20 Mei 2015, Khiren akhirnya bisa dioperasi. Dewi Anggraini, sang Ibunda memanfaatkan fasilitas BPJS. Keluarga Khiren mengurus jaminan BPJS tersebut mulai dari  Faskel TK I (puskesmas Ambacang), dan RSUD M Jamil Padang dan diteruskan dengan mendaftar di loket BPJS RS Harapan Kita.
Apa daya, ternyata cobaan  Dewi Anggraini belum lagi usai.  BPJS menolak klaim biaya operasi Khiren. Total biayanya Rp. 124.826.395 (seratus dua puluh empat juta delapan ratus dua puluh enam tiga ratus sembilan puluh lima rupiah). Bayi Khiren baru bisa pulang pada tanggal 4 Juni 2015 (dirawat 17 hari), setalah orang tua menandatangani surat pernyataan penanggung hutang.
Usut punya usut, alasanya karena  orangtua Khiren terlambat mengurus Surat Eligibilitas Peserta (SEP)  yang dalam aturannya selambat-lambatnya 3x24 jam. Akibatnya semua biaya operasi dan perawatan  dikategorikan sebagai pasien umum dengan biaya pribadi. Keluarga Khiren sudah memberi penjelasan kepada  BPJS Harapan Kita sampai BPJS Regional Jakarta Barat. Bahkan menyurati BPJS Kesehatan Pusat. Tetapi BPJS tetap tidak mau mengklaim biaya bayi Khiren. Alasannya SOP. Pelanggaran administratif.
Sekarang hutang Dewi Anggraini sudah jatuh tempo. Manajemen RS Harapan Kita sudah mengirim mengirim surat peringatan pertama (SP 1)  25 Juni dengan perintah segera tagihan dilunasi, paling lambat seminggu setelah surat diterima oleh keluarga pasien Khiren. Di surat juga dikatakan kalau tidak dilunasi maka akan dilimpahkan ke lembaga piutang Negara. Padahal, keuangan Dewi Anggraini belum lagi stabil. Untuk pengobatan Khiren, dan biaya keluar masuk rumah sakit, Dewi Anggraini sudah menggadaikan SK dosennya ke bank.
Ada gemuruh di dada membaca kondisi ini. Sejak dulu saya tidak pernah percaya bahwa SOP adalah sabda Tuhan. SOP adalah produk buatan manusia, dan karena itu pasti memiliki celah. Saya percaya, ada moment-moment di mana SOP harus ditepikan.
Saya percaya, alasan keterlambatan Dewi Anggraini  bukan alasan yang dibuat-buat. Dewi Anggraini  bukan mahasiswa tingkat akhir yang berleha-leha menulis skripsi sehingga tidak kunjung di wisuda.  Ini masalah keselamatan Khiren, bayi terkasihnya. Alasannya pasti sangat masuk akal, sangat manusiawi. Karena tidak ada yang tidak akan dilakukan orangtua untuk membuat buah hatinya sehat dan ceria.
Bayangkan betapa beratnya beban emosional yang ditanggung Dewi Anggraini dan keluarganya. Melihat buah hatinya, sejak umur 20 hari harus keluar masuk rumah sakit. Harus dirayu minum obat ini itu, harus mengenakan selang oksigen, harus dibedah jantung kecilnya dalam usia yang sekecil itu. Berat nian. Hanya kekuatan superhero orangtua yang membuatnya dapat terus bertahan, merawat buah hatinya sambil terus bergerilya mencari cara agar Khiren kecil dapat sehat seperti bayi-bayi pada umumnya.
Bagi saya, Dewi Anggraini adalah seorang ibu yang luar biasa. Saya tidak tahu dengan anda, tetapi saya sendiri ragu masih bisa berpikir jernih jika berada dalam posisi Dewi Angraini.
Hanya karena kesalahan administratif, yang saya haqul yaqin, dilakukan bukan dalam kerangka kesengajaan, Dewi Angraini harus kembali dibebani cobaan hidup. Sebuah celah bak  ombak tsunami yang meluluhlantakkan suatu proses kerja keras penuh pengharapan, rasa cemas, dan uraian air mata. Sebuah kesalahan kecil yang menggerus keluarbiasaan dari suatu proses yang belum tentu bisa dilalui setiap orang dengan tetap memegang kewarasannya. Dalam konteks ini, nurani saya menegaskan bahwa keterlambatan tersebut ini layak dimaafkan.
Saya yakin, BPJS bukan pabrik pencari untung. Pegawai BPJS bukan robot, tetapi manusia-manusia bernurani yang diberi amanah oleh 240 juta rakyat Indonesia untuk menjadi penolong di kala sakit. Pegawai BPJS pasti memiliki keluarga, barangkali bayi mungil, imut dan lucu seperti Khiren. Coba geserlah sudut pandang Anda dari sekedar kertas SOP.  Posisikan diri sebagai Dewi Anggraini. Tanyalah dalam hati apakah Anda akan sengaja melanggar SOP BPJS ketika bayi Anda mengidap jantung bocor?  
NB : saat ini masyarakat sumbar tengah menggagas aksi keprihatinan “koin untuk khiren”. Untuk dukungan para sahabat bisa menandatangipetisi bayi khiren

Tanjung Mutiara Danau Singkarak


Di sela-sela silahturahmi keluarga di Batu Sangkar Tanah Datar, Sumatera Barat, saya menyempatkan diri mengunjungi Tanjung Mutiara. Ini adalah  objek wisata bahari yang menjual keelokan Danau Singkarak. Jarak dari Batusangkar , menuju Tanjung Mutiara yang berada di Nagari Batu Taba Kecamatan Batipuh Selatan+ 30 km. Karena keasyikan mengudap krupuk jangek, saya lupa waktu tempuhnya.

Waktu ke sana, suasananya ramai nian. Maklum, suasana lebaran belum lagi usai. Biaya masuknya sepertinya tidak dihitung perorang. Satu mobil dipinta Rp 25.000. Rata-rata yang datang adalah keluarga. Para pengujung mengelar tikar di pasir danau. Anak-anak ditemani orangtuanya berenang-renang. Sebagian ada yang menggunakan balon bebek, ada juga yang menyewa ban.

Untuk menikmati panorama  dari tengah-tengah danau bisa menggunakan perahu dan sepeda air. Ongkos naik perahu Rp 10.000, tetapi harus sabar menunggu penumpang penuh. Ongkos naik sepeda air dengan kapasitas 2 orang Rp 50.000. Mulanya saya kecewa juga karena ternyata rutenya tidak bisa suka-suka, tetapi akhirnya saya bersyukur juga.

Jangan bayangkan sepeda air di sini seperti di Ancol. Mendayung sepeda ini betul-betul harus pakai tenaga. Sialnya pemandu kami, salah mengarahkan sehingga sepeda air kami tersangkut di hamparan ganggang danau. Selain, perlu waktu untuk membereskan ganggang yang menyangkut di roda sepeda dayung ini, mendayung untuk melepaskan diri juga bikin badan berkeringat.

Setelah cukup lama bermain sepeda air, kami beristirahat di warung tepi danau. Di sini jarang yang menjual makanan berat, biasanya yang dijajakan kopi, teh dan softdrink, lalu bakso dan mie instant. Sambil mengudap penci, kerang kecil khas Danau Maninjau saya melihat dari kejauhan atraksi banana boat. Asyik sekali, walaupun tidak pakai atraksi dilempar ke air seperti di Kepulauan Seribu.


Selain itu, di Danau Singkarak ini juga terdapat spesies ikan yang langka dan satu-satunya di dunia yang disebut dengan "bilih". Penjual ikan bilih banyak bertebaran di sepanjang Danau Singkarak.