Damang Batu meringkuk di kaki jenjang rumah bentang[1]. Mata ringkihnya
menerawang sisa-sisa kepingan matahari di puncak Bukit Tangkiling. Kelebat
kawanan kelelawar mulai menyesaki angkasa darah. Kesiur angin kemarau pada pucuk-pucuk
trembesi tak berdaulat mengusiknya. Pikirannya terbenam selayak lumpur palung
Sungai Kahayan.
Usianya nyaris tiga perempat abad, tetapi langkah waktu tak pernah berakhir
serupa lembaran potret dalam warna sepia -sesuatu yang indah dan pelan-pelan
memudar. Masa silam adalah catatan harian. Bukan sekadar sesuatu yang
digurat-renungi menjelang tidur, melainkan jaring-jaring ingatan yang
didekapnya ke mana-mana.
Ikhwal itu seperti baru saja dipertontonkan. Badannya segesit enggang dan
jangatnya masih seliat sisik buaya, ketika pada satu malam, saat
tingkap-tingkap atap berderak-derak akibat gempuran hujan, guruh dan kilat,
Ambah[2] memanggilnya ke dalam bilik.
”Sejengkal lagi arwahku akan terbang ke langit. Tak ada harta benda yang
bakal kuwariskan. Sebaliknya, aku hendak mewasiatkan satu amanat yang belum
tentu satu dari seribu lelaki mampu mengembannya.”