Membaca Hijrah Dalam Kacamata Tom Cruise


Apa hubungan Tom Cruise dengan prosesi hijrah hampir 1,5 milineum itu? Memang tidak ada hubungan langsung  Namun, terang lebih asyik menggunakan Tom Cruise ketimbang Jack Harper---tokoh yang diperankannya dalam film fiksi ilmiah Oblivion yang dirilis 2013 silam.

Film ini berkisah tentang Jack dan asistennya Victoria Olsen berlatar bumi pasca 60 tahun perang melawan invansi alien. Bumi luluh-lantak, sehingga umat manusia harus hijrah ke dunia baru. Jack dan Victoria bertugas menyelamatkan sisa-sisa sumber daya alam bumi. Sialnya, operasi ini terus diganggu oleh sisa-sisa Pemakan Bangkai, kaum alien yang bercokol di bumi.

Setiap hari, Jack dan Victoria dicekoki informasi satu arah dari sebuah komputer. Hingga akhirnya Jack diculik. Keraguan, membuat Jack nekad melanggar protocol. Ia memasuki wilayah terlarang. Dan kebenaran pun terbongkar.

Bahwa kaum Pemakan Bangkai yang ia perangi adalah sisa-sisa umat manusia. Bahwa Jack berada di pihak yang jahat. Dan, sialnya, Jack adalah pion dalam sistem perampokan sumber daya bumi. Nyata-nyata, Jack telah bertindak angkara terhadap spesiesnya sendiri. Namun, taka da seorang pun yang menghukumnya. Mereka paham, Jack hanya korban dari ketidaktahuan.

Jika hijrah adalah perubahan besar untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik; maka Jack telah melakukannya. Tentu saja ini berisiko. Bagi Jack, itu artinya jadi orang buruan---termasuk diburu oleh asistennya sendiri. Victoria menyangkal informasi yang berimbang, ia menafik keluar dari zona nyamannya.

Oblivion adalah gambaran Indonesia hari ini. Saya, Anda, Kita---boleh jadi adalah Jack dan Victoria yang bertahun-tahun mendapat informasi satu arah. Agitasi dan propaganda yang terus-menerus membuat segala hal di luar yang kita pahami menjadi kesalahan. Bahkan, kita nisbatkan sebagai kejahatan.

Tak ada keraguan, sebab segenap yang bisa membuat ragu, kita bunuh. Alih-alih mencari tahu, kita lebih suka tutup kuping. Karena setitik keraguan adalah virus HIV bagi kebenaran tunggal. Sistem yang menopang tata kehidupan yang kita nikmati bisa porak-poranda.

Dan jadilah kita pengguna kacamata kuda. Mendadak, derajat kita naik sehingga boleh menuding seorang di pihak seberang sebagai "bangkai" atau "sundal".  Sebagai penegak warisan sejarah, kita merasa layak untuk main kayu. Kita adalah pemilik kebenaran!

Namun, bagaimana jika kelak, saat anak cucu kita melenggang ke pelaminan, ternyata kebenaran yang kita yakini adalah kesalahan? Siapakah yang bisa menjamin kita tidak mewariskan dendam yang pongah kepada generasi mendatang? Siapa yang bisa menjamin kita bukan serupa pion-pion di Oblivion?

Dalam pengembaraan saya ke daerah-daerah yang pernah berdarah: Aceh, Poso, Ambon, Atambua; kerap saya temukan kesadaran yang lahir belakangan ini. Baik mereka yang memukul pertama, atau balas memukul; dihantui oleh rasa penyesalan. Betul, banyak yang membandangkan 1001 alasan pembenaran. Namun, mereka yang dulu gagah melangkah di jalan darma: rakyat, negara, agama---sama-sama mengaku: jika waktu bisa diputar, saya akan berusaha keras untuk tidak berbuat itu.

Bangsa ini sudah cukup berhasil di Aceh, Poso, Ambon, Atambua, juga Papua. Siapa yang sangka, hubungan bilateral Indonesia dengan Timor Leste --yang dulu kita invansi---ternyata jauh lebih elok ketimbang Malaysia, negeri serumpun bangsa kita? Dari perjalanan Indonesia, kita belajar bahwa main kayu bukan solusi utama. Dialog! Ini yang akhirnya menuntaskan segala kisruh sehingga setuntas masalah kita bisa bergandengan tangan.

Besok 1 Muharram 1439 H. Pasti tidak segemerlap tahun baru masehi. Namun, keheningan ini bisa jadi moment baik untuk meneladani Nabi Muhammad. Ia yang diburu para pembesar Quraisy, kembali ke Makkah dengan seribu kasih sayang. Jangankan makian, bahkan setitik darah pun tiada yang tumpah.

Begitu banyak tragedy yang terjadi di negeri kita. Banyak yang masih buram, kelam dan mencoreng stigma hitam di wajah sebagian bangsa Indonesia. Ada PRRI, PKI, DI/TII, Permesta, peledakan candi Borobudur, Tanjung Priok, Talangsari, 27 Juli dan lain sebagainya.

Keputusan ada di tangan kita bersama. Apakah kita hendak membeton kuburan misterius itu, dan memukuli setiap orang yang hendak membongkarnya. Atau kita bisa bergandeng-tangan. Mencari penyelesaian dengan cara-cara tenteram penuh dengan persaudaraan serta toleransi dan harmoni.

Umur Indonesia sudah lewat 72 tahun. Wajarkah bila anak-anak bangsa terus cakar-cakaran saat ancaman dan tantangan ke depan begitu pelik?