Pengalaman Tanggap Darurat di Meulaboh Aceh


Saya ingat sekali hari itu, 13 tahun silam, 26 Desember 2004. Seusai mengelar diklat untuk calon siswa baru Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang (MPALH UNP), saya leyeh-leyeh di rumah Handreas Novroly. Lalu datang Agus Suryansyah dengan mata sembab. Aceh diterjang gempa tsunami, dan keluarganya di Meulaboh tak jelas kabarnya.

Singkat kata, MPALH UNP mengutus saya bersama Djamin Purba dan Aan Abi Faris buat mengantar Agus. Sebagai modal awal, kawan-kawan MPALH iuran sedapatnya dikoordinir oleh Richi Wiliam waktu itu.

Ini benar-benar tugas nekad. Kami benar-benar buta kondisi, sementara televisi cuma menyiarkan berita-berita mengenaskan yang membuat Agus tercenung. Tak tahu pula siapa yang bisa dikontak di Medan nanti. Tapi, ya itu, solidaritas kawan lebih besar dari rentetan kengerian itu. Waktu itu targetnya cuma satu: pokoknya Agus mesti sampai di Meulaboh selekas mungkin.

Kami pergi menumpang travel ke kota Medan. Di sana, kami dapat kabar perjalanan tidak bisa menggunakan jalur darat. Ada jalanan ambrol di Tapaktuan. Isunya pun kian simpang-siur, kian mengerikan. Saya teringat Agus menangis saat mendengar isu yang paling mengerikan: Meulaboh akan "dikremasi"---ya dibakar---guna mencegah wabah penyakit akibat ribuan jenazah yang tidak tertangani itu.

Semua jalan kami tempuh, dari coba melobi ke markas BNPB di kawasan Bandara Polonia,  menyambangi Ikatan Keluarga Aceh, hingga ikut antrean relawan dari Universitas Teknik Medan. Sayangnya hanya bertemu jalan buntu. Tak ada kepastian kapan kami bisa berangkat.

Di sela-sela ketidakpastian itu, tangan Tuhan bekerja. Kami dapat kontak dengan Jaringan Relawan Kemanusiaan yang diinisiasi Romo Sandyawan---kawan-kawan di Padang yang mencarikan. Sejak itu, langkah kami semakin terang. Dari Padangbulan, kami bertolak menuju Subuhsalam, disambung dengan naik feri ke Meulaboh. Untuk kawasan Aceh Barat, Jaringan Relawan Kemanusiaan tergolong rombongan relawan yang pertama kali sampai.

Seturun feri kami langsung disambut kondisi Meulaboh yang luluh-lantak. Angin siang yang berembus seolah-olah membawa aroma kematian dan rintih kepedihan. Semua orang yang saya temui berwajah murung. Dan sejauh mata memandang--di sepanjang jalan, di bawah reruntuhan rumah-rumah, di dalam genangan puing-puing bangunan---ada banyak jenazah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un

Satu-satunya yang melegakan adalah saat mengetahui bahwa keluarga Agus selamat semuanya.

Lebih dari satu bulan saya di sana kala itu. Pekerjaan tim saya adalah melakukan evakuasi jenazah, distribusi logistik makanan dan obat-obatan, hingga membantu menyekop lumpur setebal di atas mata kaki di rumah-rumah penduduk.

Entah di mana foto-foto itu sekarang. Tim saya memang enggan berfoto-foto---kami tak mau sampai dituding turis bencana.

Dua pekan berselang, saat Melauboh kembali berdenyut, kami dapat kabar bahwa warung nasi di Simpang Rumah Sakit sudah dibuka. Buat kami para relawan yang sepanjang waktu hanya makan mi instan plus kornet atau sarden kalengan, ini ibarat menemukan oase di padang pasir. Berbondong-bondong kami di sana.

Saya makan banyak waktu itu, sayangnya waktu minta nambah, si penjual menolaknya. "Buat relawan yang lain," kata ibu penjual. Sependek pengalaman saya makan di kedai nasi, itu adalah penolakan nasi tambah pertama yang saya alami.

Di sela-sela aktivitas tanggap darurat itu saya juga menyitir rumor truk logistik yang dibajak para pengungsi yang kelaparan. Para relawan yang hampir-hampir dipukuli warga kota karena terlalu sibuk berswafoto ria. Juga perihal para anggota GAM yang mati kecemasan--ingin turun dari hutan-gunung untuk menolong sanak-keluarganya--tetapi cemas akan berkonflik dengan TNI. Siapa sangka, dari kehancuran besar itulah proses perdamaian Aceh tumbuh menjulang. Konflik berakhir sejak penandatanganan Perjanjian Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Belakangan, pengalaman di Aceh mendorong saya buat menuliskan cerpen; saya beri judul "Ketika Dua Boneka Perang Bertemu". Berkisah tentang persahabatan terpaksa antara TNI dan GAM paska Aceh diguncang gempa dan tsunami. Cerpen ini diganjar Juara Utama Sayembara Menulis Cerpen Lustrum V Fakultas Sastra Universitas Andalas. Hadiahnya berupa uang tunai yang kemudian saya belikan cincin emas buat kado ulang tahun Ibu saya.

Sejak hari itu, sudah tiga kali saya menjejak Meulaboh kembali. Ketiganya, urusan pekerjaan. Dan setiap kali datang, saya saksikan perubahan menyeluruh di Meulaboh. Infrastruktur yang terbangun, perekonomian yang berputar, serta masyarakatnya yang ramah senyum. Kedai-kedai kopi tumbuh menjamur, terang-benderang, dan buka hingga tengah malam. Satu dua insiden masih terdengar---biasanya urusan politik---tapi sependek pandangan saya, semua sudah jauh lebih baik.

Ini pertanda bahwa konflik telah berhasil diselesaikan secara damai dan bermartabat. Aceh kembali hidup tenang bersama keluarga besar bangsa Indonesia. Aceh telah berada dalam keadaan yang makin aman dan damai, maka jangan sia-siakan pencapaian ini untuk membangun Aceh sekali lagi, menuju masa depan yang lebih baik.

Palestina, Boikot dan Gerakan Kemandirian Bangsa


Seorang sahabat mengirimkan link berita via WA perihal seorang Walikota yang menyerukan boikot produk Israel dan AS. Seruan yang mirip dan agak ektrem dilakukan kawan-kawan OKP di beberapa tempat. Ya, boikot produk Israel dan AS sudah menjadi isu nasional. Satu dari berkian cara yang dilakukan sebagai protes atas pernyataan Donald Trump yang menentapkan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Secara pribadi saya sepakat dengan aksi ini. Trump berkarakter keras kepala, degil. Ia pemimpin bertipikal bulldozer yang menggilas segala penghalang di depannya. Plus posisinya sebagai presiden negara adidaya membuat ke- koppig-an itu bukan kepalang. Trump tidak akan tunduk oleh satu gelombang penolakan dan perlawanan ala kadarnya. Buktinya resolusi OKI tempo hari tidak membuat Trump berpaling. Hujatan dari negara-negara di Eropa, ia anggap angin lalu.

Karena itu, untuk mengubah pendirian Trump kita perlu menghidupkan bulldozer yang jauh lebih besar dari dirinya. Bulldozeritu adalah rakyat AS sendiri. Saya yakin banyak rakyat AS yang menolak kebijakan Trump, tapi jumlahnya belum bisa diharapkan. Ini adalah bukti bahwa keegoisan dalam menyikapi lingkungan kerapkali menginjak-injak rasa kemanusiaan, menerbitkan sikap abai. Tetapi, bisakah kita berkilah dari naluri purba untuk cari selamat: saat kepentingan kita terganggu?

Boikot produk-produk Israel dan AS yang dilakukan secara massif dan berkepanjangan akan membuat konglomerat-konglomerat Paman Sam bereaksi. Aksi boikot yang berkepanjangan akan berimbas pada mewujudnya citra buruk Perusahaan multinasional (PMN) yang mereka miliki, termasuk penurunan pendapatan perusahaan.  Jikalau para pemodal Trump ini sudah turun tangan, plus gugatan rakyat AS dan seantero dunia akan kesalahan fatal Trump---besar kemungkinan pendirian Trump akan bergeser.

Tentu saja menjaga nafas ini amat sulit. Indonesia adalah bangsa konsumtif. Keseharian kita terpenjara oleh produk-produk yang terafiliasi dengan PMN milik AS dan Israel. Mulai dari bangun tidur, mandi, pergi ke kantor, mengudap makanan, hingga kembali tidur; kita mengonsumsi produk-produk itu.

Bahkan saya mengetik tulisan ini di gawai produk AS, ditemani sebatang rokok bermerk AS. Kelak, saat memosting tulisan ini saya harus membuka Google, dan barangkali memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menyebarluaskannya.

Betapa sulitnya! Jika membincang ini bersama-sama kawan-kawan, biasanya mereka akan menarik kesimpulan: hampir-hampir mustahil. Apalagi, kalau sudah hadir kawan yang berkacamata hitam-putih: boikot atau terima tanpa syarat.

Tapi di sinilah letak amnesia sejarah bangsa. Kita lupa apa yang diajarkan para pendiri bangsa: memanfaatkan senjata lawan untuk menyerang balik tidak pernah diharamkan. Telisiklah baik-baik! Politik etis yang dahulu digunakan kolonial Belanda untuk mendidik pribumi sebagai sekrup industri atau pegawai gubermen, nyata-nyata sukses dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas diri, menemukan kesadaran akan nasib bangsa dan menginspirasi perjuangan menuju kemerdekaan.

Telisiklah kecerdasan Teuku Umar yang berlagak tunduk pada Belanda, lalu hengkang dengan membawa banyak senapan dan barisan prajurit terlatih. Ada pula Agus Salim yang sukses berkali-kali mengadali Gubermen: memanfaatkan fasilitas penjajah untuk membangun gerakan perjuangan.

Termasuk BPUPKI dan PPKI itu. Tugas BPUPKI hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, sementara penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Tapi toh Sukarno dan para pendiri bangsa menelikung skenario Jepang ini. Sidang BPUPKI malah membahas habis-habisan perihal dasar negara dan pokok-pokok konstitusi. Sehingga, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 dan dasar negara bisa ditetapkan.

Memukul balik dengan perkakas lawan adalah satu keniscayaan. Kita sudah melakukannya! Lewat produk-produk teknologi informasi---yang semuanya masih dikuasi asing---gerakan rakyat bergulir tak henti-henti. Kampanye pemilu sudah jadi cerita keseharian. Aksi-aksi massa yang jutaan itu pun digagas lewat WA Group, lalu dikampanyekan via jejaring sosial, termasuk aksi bela Palestina besok.

Artinya, kita bisa memilih. Dari seribu perangkap yang diangsurkan, kita bisa memilih 10, 50 atau 100 perangkap yang memang tidak bisa kita elakan. Tetapi kita memilih dengan kesadaran bahwa kelak perangkap-perangkap ini mesti kita tinggalkan.

Ini bukan omong-kosong. Silakan amati sekeliling kita. Kedai-kedai kopi lokal yang ditata modern berdiri tegak, tidak kalah dari Starbuck yang sudah mendunia itu. Bukalapak muncul melawan dominasi Amazon dan Ebay, Gojek hadir sebagai pesaing Uber.

Setiap tahun, anak-anak bangsa mampu memproduksi prototype ponsel, mesin produksi sampai kendaraan bermotor, termasuk jejaring sosial alternatif. Memang belum sepenuh produk lokal, dan barangkali kualitas masih jauh dari produk asing, tetapi semangat ini jelas menggembirakan.

Pasti muncul pertanyaan. Bagaimana bila PMN hengkang dari Indonesia akibat aksi boikot ini? Bagaimana nasib para buruh Indonesia yang bekerja di sana? Ini adalah salah satu risiko, tapi percayalah kondisinya awalnya tidak akan buruk-buruk amat. Mustahil akan terjadi eksodus besar-besaran secara serentak, paling banter segelintir setiap tahun. Saya yakin dan percaya pemerintah pasti memiliki cara untuk membantu para buruh yang terdampak ini.

Mengapa? Karena Indonesia adalah negara kaya. Sumber daya alam Indonesia melimpah ruah. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 262 juta jiwa, dari sisi ekonomi Indonesia adalah pasar terbesar ke-4 di dunia bagi PMN.

Ingat saat ini PMN sudah semakin buas. Mereka tidak hanya mengejar konsumen orang-orang berduit. Orang miskin memang tidak bisa membeli mobil berharga milyaran atau ratusan juta, tetapi mereka sudah kadung terjebak---misalnya---mesti mandi pakai sabun, harus menggunakan odol untuk sikat gigi. Pulsa pun kini hampir-hampir jadi kebutuhan primer. Dan siapakah yang menikmati ceruk pasar orang miskin itu kalau bukan---lagi-lagi---perusahan multinasional itu?

Artinya, jika kita mau masa itu pasti datang. Masa di mana rakyat Indonesia tidak lagi terpenjara oleh  produk-produk PMN. Masa di mana produk-produk lokal menjadi raja di negeri sendiri. Saya percaya akan hal ini.

Membaca Hijrah Dalam Kacamata Tom Cruise


Apa hubungan Tom Cruise dengan prosesi hijrah hampir 1,5 milineum itu? Memang tidak ada hubungan langsung  Namun, terang lebih asyik menggunakan Tom Cruise ketimbang Jack Harper---tokoh yang diperankannya dalam film fiksi ilmiah Oblivion yang dirilis 2013 silam.

Film ini berkisah tentang Jack dan asistennya Victoria Olsen berlatar bumi pasca 60 tahun perang melawan invansi alien. Bumi luluh-lantak, sehingga umat manusia harus hijrah ke dunia baru. Jack dan Victoria bertugas menyelamatkan sisa-sisa sumber daya alam bumi. Sialnya, operasi ini terus diganggu oleh sisa-sisa Pemakan Bangkai, kaum alien yang bercokol di bumi.

Setiap hari, Jack dan Victoria dicekoki informasi satu arah dari sebuah komputer. Hingga akhirnya Jack diculik. Keraguan, membuat Jack nekad melanggar protocol. Ia memasuki wilayah terlarang. Dan kebenaran pun terbongkar.

Bahwa kaum Pemakan Bangkai yang ia perangi adalah sisa-sisa umat manusia. Bahwa Jack berada di pihak yang jahat. Dan, sialnya, Jack adalah pion dalam sistem perampokan sumber daya bumi. Nyata-nyata, Jack telah bertindak angkara terhadap spesiesnya sendiri. Namun, taka da seorang pun yang menghukumnya. Mereka paham, Jack hanya korban dari ketidaktahuan.

Jika hijrah adalah perubahan besar untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik; maka Jack telah melakukannya. Tentu saja ini berisiko. Bagi Jack, itu artinya jadi orang buruan---termasuk diburu oleh asistennya sendiri. Victoria menyangkal informasi yang berimbang, ia menafik keluar dari zona nyamannya.

Oblivion adalah gambaran Indonesia hari ini. Saya, Anda, Kita---boleh jadi adalah Jack dan Victoria yang bertahun-tahun mendapat informasi satu arah. Agitasi dan propaganda yang terus-menerus membuat segala hal di luar yang kita pahami menjadi kesalahan. Bahkan, kita nisbatkan sebagai kejahatan.

Tak ada keraguan, sebab segenap yang bisa membuat ragu, kita bunuh. Alih-alih mencari tahu, kita lebih suka tutup kuping. Karena setitik keraguan adalah virus HIV bagi kebenaran tunggal. Sistem yang menopang tata kehidupan yang kita nikmati bisa porak-poranda.

Dan jadilah kita pengguna kacamata kuda. Mendadak, derajat kita naik sehingga boleh menuding seorang di pihak seberang sebagai "bangkai" atau "sundal".  Sebagai penegak warisan sejarah, kita merasa layak untuk main kayu. Kita adalah pemilik kebenaran!

Namun, bagaimana jika kelak, saat anak cucu kita melenggang ke pelaminan, ternyata kebenaran yang kita yakini adalah kesalahan? Siapakah yang bisa menjamin kita tidak mewariskan dendam yang pongah kepada generasi mendatang? Siapa yang bisa menjamin kita bukan serupa pion-pion di Oblivion?

Dalam pengembaraan saya ke daerah-daerah yang pernah berdarah: Aceh, Poso, Ambon, Atambua; kerap saya temukan kesadaran yang lahir belakangan ini. Baik mereka yang memukul pertama, atau balas memukul; dihantui oleh rasa penyesalan. Betul, banyak yang membandangkan 1001 alasan pembenaran. Namun, mereka yang dulu gagah melangkah di jalan darma: rakyat, negara, agama---sama-sama mengaku: jika waktu bisa diputar, saya akan berusaha keras untuk tidak berbuat itu.

Bangsa ini sudah cukup berhasil di Aceh, Poso, Ambon, Atambua, juga Papua. Siapa yang sangka, hubungan bilateral Indonesia dengan Timor Leste --yang dulu kita invansi---ternyata jauh lebih elok ketimbang Malaysia, negeri serumpun bangsa kita? Dari perjalanan Indonesia, kita belajar bahwa main kayu bukan solusi utama. Dialog! Ini yang akhirnya menuntaskan segala kisruh sehingga setuntas masalah kita bisa bergandengan tangan.

Besok 1 Muharram 1439 H. Pasti tidak segemerlap tahun baru masehi. Namun, keheningan ini bisa jadi moment baik untuk meneladani Nabi Muhammad. Ia yang diburu para pembesar Quraisy, kembali ke Makkah dengan seribu kasih sayang. Jangankan makian, bahkan setitik darah pun tiada yang tumpah.

Begitu banyak tragedy yang terjadi di negeri kita. Banyak yang masih buram, kelam dan mencoreng stigma hitam di wajah sebagian bangsa Indonesia. Ada PRRI, PKI, DI/TII, Permesta, peledakan candi Borobudur, Tanjung Priok, Talangsari, 27 Juli dan lain sebagainya.

Keputusan ada di tangan kita bersama. Apakah kita hendak membeton kuburan misterius itu, dan memukuli setiap orang yang hendak membongkarnya. Atau kita bisa bergandeng-tangan. Mencari penyelesaian dengan cara-cara tenteram penuh dengan persaudaraan serta toleransi dan harmoni.

Umur Indonesia sudah lewat 72 tahun. Wajarkah bila anak-anak bangsa terus cakar-cakaran saat ancaman dan tantangan ke depan begitu pelik?

MENOHOK NYAHOK



Nasib jadi pemilik warung kopi nomor wahid se-dusun ya begini. Kena bujuk-rayu tim sukses yang mau menumpangkan spanduk di kedaiku. Kelimpungan karena belum punya pilihan, dan kuatir terhasut kabar burung yang mengepung dari segala penjuru, kuputuskan untuk menemui Pak Guru.

Pucuk dicinta ulam tiba. Esok sore, di tengah jalan, aku berpapasan dengan Pak Guru. Sepertinya, dia baru pulang mengajar. Dia tampak tergesa-gesa.

"Pak Guru, saya mau minta fatwa. Siapa yang harus saya dukung dalam Pildusun kelak?" mohonku, selepas mengucap salam.

"Wah, kamu salah alamat," Pak Guru terperanjat. "Aku ini cuma guru. Mana boleh ngasih fatwa."

"Tapi kan Pak Guru orang berilmu. Suka jadi khatib di masjid."

"Kamu pikir fatwa itu main-main?Fatwa itu pertanggungjawabannya sampai ke langit. Kalau fatwa sudah diucap, pasti sudah lewat proses yang masak, ndak mungkin prematur. Tidak. Aku belum sealim itu. Fatwa itu urusan kyai besar yang sudah qatam membaca hal-hal yang tersirat dan tersurat." Pak Guru bergetar sampai kedua kakinya merapat. "Sudah-sudah, segitu saja ya!"

"Lha, jangan begitu Pak. Ini urusan penting," kecamku atas pengabaiannya."Ya, sudah. Kalau saran saja bagaimana?"

"Nah, kalau itu boleh. Tapi kita bicara di rumah saja ya," jawab Pak Guru tersipu-sipu. Malu-malu, dia menunjuk dengan jempol ke arah rumahnya yang tinggal sepelemparan batu jaraknya.

Aku menggeleng. "Tanggung Pak Guru, bentar lagi mau magrib. Kita tuntaskan di sini saja!"

Muka Pak Guru sontak memerah, nyaris penuh kebencian dan kecemasan.Heran. Apakah dia marah kepadaku?

"Saranku jangan pilih Pak Nyahok!" tetaknya serius.

"Apa ini masalah agama, Pak Guru? Bukankah gak penting warna kucingnya selama kucing itu bisa menangkap tikus? Gak penting agamanya, gak penting bacot comberannya, selama dia bukan pemimpin yang korup."

"Lha, Pak Mangkus dan Pak Manis yang seagama dengan kita itu ndak besar bacot? Apa mereka korup? Belum ada kudengar desas-desus korupsi mereka. Kalau Pak Nyahok itu sudah terang kasusnya. Memangnya kau tidak pernah dengar siaran radio warga? Jangan dibalik begitu ah mikirnya."

"Tapi Pak Nyahok itu petahana Pak. Dia sudah berbuat?" tentangku seraya menyulut rokok.

"Nah, pikiranmu terbalik lagi. Macam rokok itu. Dari mana kau tahu kalau Djisamsu lebih nikmat ketimbang Jarum Coklat?"

"Setelah saya mencoba keduanya, Pak."

"Nah, itu maksudku. Ndak bisa kau menyebut Pak Nyahok itu lebih baik ketimbang Pak Mangkus dan Pak Manis hanya gara-gara dia duluan jadi Kepala Dusun. Itu juga gara-gara dapat warisan durian runtuh saja. Kalau mau adil, coba kau bayangkan seandainya Pak Mangkus atau Pak Manis yang diangkat jadi kepala dusun sewaktu Pakde Jaka terpilih jadi lurah. Kira-kira, dusun kita ini akan lebih baik atau lebih buruk?"

"Hmmm?"

"Yo wis, mikir saja dulu. Lain waktu kita bicara lagi," kata Pak Guru, sudah bersiap-siap angkat kaki.

"Jangan-jangan Pak Guru, langsung saja," papasku.

"Aduh kau ini!" Sekujur tubuh Pak Guru tampak gemetar menanggung perasaan. Dengan geram, dia melantang. "Pertanyaannya begini. Kalau dulu Pak Mangkus atau Pak Manis yang jadi kepala dusun, apa teman-teman SD-mu yang tinggal di bantaran kali itu bakal digusur tanpa ganti rugi? Bakal dipaksa tinggal di kontrakan bertingkat yang bikin mereka semakin miskin?"

"Ndak mungkin, Pak Guru. Pak Mangkus dan Pak Manis itu anti penggusuran."

"Kalau dulu Pak Mangkus atau Pak Manis yang jadi kepala dusun, apa mereka akan menuding ibu-ibu yang minta keadilan sebagai maling dihadapan orang ramai? Apa mereka akan menuduh air mata ibu-ibu yang kena gusur itu sebagai tangis figuran sinetron? Apa mereka akan rela memelaratkan orang-orang miskin supaya dusun kita menjadi lebih cantik?"

"Apalagi itu, Pak!"

"Kalau dulu Pak Mangkus atau Pak Manis yang jadi kepala dusun, apa mereka sebulan sekali mau makan mpek-mpek bareng saudagar anggota naga 9 yang keciduk korupsi itu? Ayo cepat jawab!"

"Terang tidak, Pak. Tapi memangnya saudagar itu sudah keciduk hansip ?"

"Bekas centengnya Pak Nyahok sudah kena. Ada anggota Majelis Desa kita yang juga kena. Kalau Pak Nyahoknya ya ndak tahu aku kapan kenanya." Pak Guru menyeka sebutir keringat yang menggantung di ujung hidung sambil berkeluh-kesah. "Itu urusan hansip. Itu juga kalau hansipnya ndak diajak makan siang sama Pakde Jaka. Nah, sekarang kita lanjut ya? Apa Kyai..."

"Cukup, Pak Guru. Saya sudah paham sekarang," kataku, lalu terperanjat saat menginsyafi wajah Pak Guru yang pucat berkeringat itu. "Pak Guru sakit?"

"Sakit Mbahmu! Sedari tadi aku kebelet, tetapi kau malah maksa ngobrol serius terus."

"Maaf, Pak Guru. Maaf."

Tetapi penyesalanku cuma dipukul angin. Pak Guru sudah membeladag kesetanan menuju rumahnya.

Meulaboh, 5-2-2017