Bulan Februari selalu menjadi bulan yang
istimewa bagi para pengagum Tan Malaka. Pasalnya, pada 21 Februari 1949, tokoh
revolusioner asal Minangkabau ini, yang 30 tahun dari 51 tahun hayatnya
didedikasikan untuk kemerdekaan 100 % Indonesia, harus meregang nyawa di tangan
bangsa sendiri. Letda Sukotjo, demikian ungkap Harry Poeze sejarahwan Belanda
peneliti Tan Malaka, adalah si eksekutor tokoh bangsa yang pertama kali
merumuskan konsep negara Indonesia berbentuk republik ini.
Akibat aktivitasnya dalam menggorganisir
gerakan buruh, membangun sekolah rakyat anti kolonialisme dan memimpin Partai
Komunis Indonesia, Tan Malaka dijatuhi hukuman pembuangan di negeri Belanda.
Ironisnya, di Nederland, Tan Malaka malah dielu-elukan. Dia dicalonkan sebagai
anggota Tweede Kamer, semacam DPR-nya Belanda, pada nomor urut 3 oleh Partai
Komunis Belanda. Konon Tan Malaka berhasil meraup suara terbanyak dibanding
kandidat2 yang lain, tetapi tidak terpilih karena perolehan suara hanya cukup
untuk 2 kursi. Jika saat itu Belanda menerapkan sistem suara terbanyak seperti
Pileg Indonesia, maka tak pelak Tan Malaka akan menjadi anggota Tweede Kamer
pertama asal Hindia Belanda.
Di Filipina Tan Malaka pernah ditangkap intel
Amerika Serikat. Dia dituding menjadi tukang ganggu stabilitas karena
menginisiasi pendirian Partai Komunis di negeri pinoy ini. Agen-agen PID,
semacam polisi intelejen Belanda, meminta agar Tan Malaka diserahkan kepada
mereka, untuk selanjutnya akan diasingkan ke Kupang Nusa Tenggara Timur.
Djamaludin Tamin berkisah, Gubernur Hindia Belanda sampai memfasilitasi
agen-agen PID itu dengan Kapal Tjisalak khusus untuk menjemput Tan Malaka di
Manila Filipina.
Tetapi Gubernur Filipina menolak permintaan
Gubernur Hindia Belanda itu. Apa pasal? Sebab penangkapan Tan Malaka diikuti
dengan demonstrasi besar-besaran dari kampus-kampus, beragam serikat buruh, dan
penolakan tokoh-tokoh pejuang Filipina. Jalan tengahnya, Tan Malaka dibuang ke
Amoy Tiongkok. Sebelum kapal Suzzana bertolak, Kapal Tjisalak kesusu berlayar
cepat-cepat ke Amoy. Konsulat Jenderal Belanda di Amoy turun tangan, mereka
melobby perwakilan negara-negara barat di Amoy untuk tidak ikut campur.
Ketika kapal Suzzana melontar jangkar di
Pelabuhan Amoy, segenap agen-agen PID sudah mengepung. Setiap orang yang turun
diperiksa, kemudian setiap kamar sampai lemari di dalam kapal. Tetapi Tan
Malaka raib entah ke mana. Adalah kapten kapal Suzzana yang bertingkah di sini.
Ia ditekan oleh atasannya, direktur kapal yang bersimpati dengan Tan Malaka
untuk melindungi putera Minangkabau itu habis-habisan. Maka sebelum kapal
melempar jangkar, Tan Malaka sudah meloncat ke sekoci yang disediakan.
Di Amoy sendiri, akibat tekanan agen-agen PID,
Tan Malaka sampai diselamatkan ke pedalaman. Di desa ini, Tan Malaka dikawal
oleh gerombolan bersenjata yang siap baku tembak jika agen-agen PID
macam-macam.
Kisah-kisah semacam ini ada banyak, ada di
setiap negara di mana Tan Malaka singgah. Mulai dari Haalem Nederland, Moskow
Rusia, Berlin Jerman, Rangoon Myanmar, Shanghai dan Hongkong Tiongkok, sampai
Singapura dan Penang Malaysia. Mereka adalah orang-orang asing yang tidak
berkaitan langsung dengan Indonesia, tetapi mau menampung Tan Malaka, bahkan
siap baku tembak untuk melindunginya. Kalau memang Tan Malaka ini penjahat
besar dan komunis bengis, akan seperti itukah perlindungan orang-orang berbeda
suku, bangsa, agama, ras, golongan dan dari banyak negara tersebut?
Satu yang perlu dicatat, Tan Malaka bukan
revolusioner yang sekadar hidup dari kalangan yang bersimpati kepadanya. Berbeda
dengan M. Hatta dan Syahrir yang dalam pembuangan masih mendapatkan biaya hidup
(living cost) dari pemerintah
Gubermen. Dalam perjuangannya, Tan Malaka juga bekerja untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya sendiri. Di Kanton, Tan Malaka bekerja sebagai admnistrasi
perusahaan kapal; di Shanghai dan Singapura, ia menjadi guru sekolah bahasa
asing; di Filipina ia bekerja sebagai wartawan; di Rawajati Jakarta, ia menjadi
tukang jahit; di Bayah Banten ia menjadi kerani perusahaan tambang. Ia
tidak melulu tinggal di rumah gedong, seringkali ia menetap di kamar sempit dan
pengap yang disewanya sendiri.
Bahkan buruh-buruh di Shanghai dalam suatu
gerakan pemogokan pernah menemukan Tan Malaka terlelap di depan pintu WC hanya
beralas tikar lusuh. Tanpa pikir panjang, Tan Malaka berhenti jadi guru
pengawas sekolah perkebunan di Dili Sumatera Utara, karena tidak tahan melihat
penderitaan buruh kontrak. Padahal di sana ia difasilitasi gaji yang lumayan,
berikut rumah dinas dan beberapa anak buah.
Kembali kepada pertanyaan awal, jika Tan Malaka
memang setan merah, akan seperti itukah kisah hidup yang dirinya tempuh? Ada
ujar-ujar bahwa sejarah adalah milik penguasa. Hal ini yang membuat sejarah Tan
Malaka tidak lurus sampai ke khalayak Indonesia. Rekayasa, yang melahirkan
kecelakan pemikiran ini, kemudian diwariskan dari orangtua kepada anak, dari
anak kepada cucu dan cicit. Sehingga tanpa pernah mengenali sejarah, pemikiran
dan jasanya secara utuh, banyak kalangan yang menudingnya sebagai tukang recok
zaman, sebagai pengganggu stabilitas yang patut dibabat habis. Sungguh astaga!
Sungguh menyedihkan.