
Damang Batu meringkuk di kaki jenjang rumah bentang[1]. Mata ringkihnya
menerawang sisa-sisa kepingan matahari di puncak Bukit Tangkiling. Kelebat
kawanan kelelawar mulai menyesaki angkasa darah. Kesiur angin kemarau pada pucuk-pucuk
trembesi tak berdaulat mengusiknya. Pikirannya terbenam selayak lumpur palung
Sungai Kahayan.
Usianya nyaris tiga perempat abad, tetapi langkah waktu tak pernah berakhir
serupa lembaran potret dalam warna sepia...