Shubuh menyisir. Kalimat takbir
segera berkumandang di seantero bumi. Tak terkecuali kampungku. Duka sepeninggalan
ramadhan berpadu keoptimisan
diri akan kembali fitrah seperti yang dijanjikan dalam kitab suci benar-benar
menggugah hati setiap muslim.
Aku sudah rapi. Telah siap mandi.
Sesuai sunah Nabi sebelum bershalat, aku tak lupa makan sekadarnya dan
mengenakan pakaian terbagus -sepotong celana gunting Cina dan baju koko
Malaysia yang kubeli di toko pakaian
bekas di Pasar Ateh Bukittinggi seminggu yang lalu.
Kalau boleh jujur, aku malas lekas-lekas ke
masjid. Bukan lantaran kadar kemuslimanku sudah memudar,
hanya enggan menyaksikan para petinggi kampung yang beradu amal.
Sebenarnya perang
dingin itu sangat mulia. Hanya yang kusesalkan,
mengapa mesti
dikemas bak manggaleh[1] di pasar malam. Mengapa
amal harus digembor-gemborkan. Bukankah Nabi sendiri bersabda: kalau tangan
kananmu memberi, usahakan tangan kirimu jangan sampai tahu.
Beramal adalah urusan si
pengamal dengan sang Khalik. Jadi bila dipublikasikan berarti ikhlasnya sudah
tak murni. Sudah terkontaminasi virus status dan gengsi. Dan apakah nama perbuatan yang dilakukan bukan karena
Allah?
Aku tersentak. Ayah
menyikutku tajam dan berbisik, “kau tidak beramal?”
Aku menggeleng.
“Jangan
begitu. Kau ini bakal wisuda. Apa kata orang
kampung nanti. Sarjana tak tahu diri, tidak mau membangun kampung
sendiri.“
Aku menggigit bibir. Rasa gamak terhadap lelaki paruh baya yang berputih tulang
membesarkanku itu membuatku tak berdaulat menampik. Kebetulan sakuku masih agak tebal,
honor membantu proyek penelitian seorang dosen baru kemarin diterima.
Sang gharin
langsung melahap lembaran Soeharto tersenyum yang aku sodorkan. Lekas melalui mikropon
dia berucap keras-keras.
“Lima puluh ribu dari Si Ahmad, Dusun Simpangtigo.“
Menggelatuk gigiku. Menggigil sudah perut ini. Pun Ayah malah
bergirang. Mulai kini statusnya di kampung akan
naik. Mengapa? Lantaran untuk ukuran kampungku yang bertandus tanah, jumlah itu lumayan
besar. Arkian, aku kembali merunduk. Berdzikir, seraya menggugah
keikhlasanku. Biar. Biar Allah yang menilai.
Dan manggaleh amal terus berlanjut.
“Bagindo Bustami
Tanjung Selatan… seratus ribu.”
“Si Buyung Tanjung
Sabar… dua puluh ribu.“
“Sidi Zakaria… tiga ratus ribu.“
“Datuk…lima ratus
ribu.“
Lima ratus ribu rupiah? Akh,
masih dia juga pemegang rekor penyumbang terbesar kas masjid. Datuk
Bendahara Kayo, orang-orang biasa memanggilnya cukup dengan Datuk, adalah orang terkaya di
kampungku. Dia seorang saudagar roti dan pakaian yang lumayan sukses. Dia juga memiliki kebun
kayu manis di Kayo Aro. Kekayaanya itu bahkan membuatnya seolah memiliki
wewenang tak tertulis yang boleh dikatakan lebih besar ketimbang wali nagari.
Tetapi tahun ini ternyata
berbeda.
“Satu juta dari Ajo
Tanjung…”
Semua kepala menengadah. Semua mulut
yang tadi berdzikir, segera ternganga. Semua mata membelalak kepada Ajo
Tanjung. Arkian setelah bertahun-tahun rekor Datuk terlampui. Ajo
Tanjung tersenyum. Senyum yang lebih menyuratkan kemenangan ketimbang kepuasan melaksanakan
syariat.
Dan ketika manggaleh
amal selesai, kami langsung bersholat. Allahu
Akbar.
-()0()-
Aku bersila di palanta lapau[2]
Uncu Agus. Lelah juga setelah
seharian penuh silaturahmi mengarungi kampung. Seraya mengunyah kacang panggang, kureguk isi
cangkir kopi. Selang beberapa lama, Datuk muncul. Sebagaimana galibnya, lelaki
tua itu selalu necis. Kali ini dia mengenakan safari
abu-abu dan celana pantalon impor. Tak lupa songkok hitam yang konon dibeli satu
set waktu plesiran ke Singapura. Dulu, sewaktu krisis moneter dan harga kayu manis melonjak hebat.
Tampang Datuk seperti
tersiram cuka. Entah apa sebabnya, baru saja melekatkan pantatnya, mulutnya langsung
meracau.
“Kurang ajar! Baru bermukim
di Jakarta sebentar sudah bertingkah seperti tuan besar. Ongeh bana[3].“
Aku terdiam. Ini pasti perkara sumbangan masjid tadi pagi.
“Akh, sudahlah. Biar
besok kuberikan saja masjid itu semen berikut pasirnya. Biar megah nian
jadinya.“
Aku tersenyum senang.
“Hei, Buyung!“ Datuk menatapku
antusias, mungkin sekedar pelarian atas kemuraman hatinya. “Bagaimana sekolahmu
kini?”
“Alhamdulillah, berkat doa restu Datuk. Bulan depan Insya Allah saya diwisuda.“
“Sudah hampir
jadi orang hebat kau. Kemana siap tamat? Jakarta? Jangan, nanti kau seperti si
Tanjung itu. Baikkan kau bantu saja kebun kayu manisku.”
“Terimakasih, tapi saya
belum memikirkannya.“
Arkian, Datuk pun kembali
ke sifat mulanya. Rajo maota[4].
Telingaku harus pasrah dihujani omong-omong besarnya, kisah-kisah masa
bujangnya, jumlah kekayaan dan terutama jasa-jasanya atas perkembangan kampung
kami. Dan selama perbincangan itu aku hanya dapat mengangguk dan tersenyum
meredam muak.
Pengunjung lapau datang dan pergi, tapi Datuk masih juga asyik
berbual. Herannya semua itu seolah memang
terpusat kepadaku, kendati orang-orang sudah turut merubung. Mungkin ada sejumput kangen di hatinya lantaran
kami memang sudah lama tak berbincang. Belakangan ini aku memang jarang pulang.
Sibuk dengan skripsiku.
Kantuk kian menyerang, tapi
rasa sungkan memaksaku tetap bertahan. Arkian ketika ocehannya selesai dan dia mohon pamit, hatiku sontak
bersorak.
Esok malamnya, aku
singgah lagi ke lapau. Lagi-lagi Datuk menjadi lelaki pertama yang kujumpai. Tampangnya lebih masam ketimbang
kemarin. Kali ini aku dapat menebak sebabnya. Perihal kelakuannya yang hendak
menyumbang semen dan pasir ke masjid ternyata telah keduluan Ajo Tanjung.
Bahkan seterunya menyumbang lebih banyak. Padahal dia sudah
berbual ke mana-mana. Meskipun ucapannya terbukti, tapi jelas kedudukannya di
mata orang kampung mulai tergeser oleh benderangnya Ajo Tanjung. Sewaktu melihatku
datang, dia bergegas mohon diri. Mungkin malu atas kesombongannya semalam.
Aku menatap kepergian
lelaki tua itu dalam gerimisnya malam. Akh, begitu berhargakah
sebuah status?
“Begitulah Yuang, kau bila sudah berhasil jangan
seperti itu,“ Uncu Agus langsung menasehatiku.
“Kenapa Datuk begitu membenci
Ajo Tanjung?”
Uncu Agus menghela
nafas. Setelah menyodorkan kopi kentalku, barulah dia berkisah. Begini
kira-kira ceritanya.
-()0()-
Datuk adalah seseorang
berdarah biru. Konon nenek-moyangnya adalah pendiri kampung. Keluarganya sejak
dulu selalu saja menjadi orang terkaya dan tentu saja paling berpengaruh. Syahdan
Datuk jatuh hati kepada Siti Aisyah, kembang kampung kami. Sayang
cintanya bertepuk sebelah tangan. Mardiati sudah memiliki tambatan hati, sudah
pula direstui Sidi Jamaludin, Ayah Aisyah. Lelaki itu adalah Ajo Tanjung.
Datuk pantang tersurut.
Memanfaatkan pengaruhnya, dia berhasil membuat Sidi Jamaludin berhutang.
Dan setelah batas yang disepakati ternyata Sidi Jamaludin tak mampu
menunaikan kewajibannya. Datuk mengancam akan menendang Sidi Jamaludin ke kandang
situmbin, kecuali bila Aisyah bersedia menikah dengannya.
Terang Sidi Jamaludin menampik mentah-mentah.
Dia adalah lelaki tegas, keras dan tak mengenal takut. Pantang baginya menjilat
ludahnya sendiri. Dan meradanglah Datuk Bendahara Kayo.
Namun, Aisyah adalah puteri
yang berbakti. Tak mau menyusahkan Ayahnya, Aisyah mengorbankan cintanya. Pun
Sidi Jamaludin menggugat, Mardiati tetap menikahi Datuk.
Ajo Tanjung nelangsa
nian. Dia sadar tak layak menyalahkan Aisyah, tapi setelah mengetahui kelicikan Datuk, Ajo
Tanjung pun meradang. Dihunusnya parang dan melabrak Datuk. Tetapi apalah arti
Ajo Tanjung, seorang putra janda miskin berharta sawah sepetak, ketimbang
kekuasaan Datuk. Pemuda itu langsung ditangkap dan meringkuk di balik jeruji.
Merdeka dari penjara,
karena kesumatnya, Ajo Tanjung pantang kembali ke kampung. Apalagi belati cinta
terus mengoyak kalbunya saban kali membayangkan Aisyah bersanding
dengan musuh besarnya. Dia memutuskan menetap di Padang. Konon, sepuluh tahun silam,
Ajo Tanjung merantau ke Jakarta. Rupanya dia berhasil di sana.
Saat ditangkap Ajo
Tanjung pernah bersumpah bakal menuntut balas. Sumpah itu yang sekarang benar-benar
meresahkan Datuk. Pembalasan Ajo Tanjung. Karena suatu saat itu
tampaknya adalah sekarang ini.
-()0()-
Ajo Tanjung dalam sekejap menjadi buah bibir. Kecuali kedermawanannya, ternyata pribadinya supel.
Pembawaannya yang tenang dan karismatik banyak menarik orang kampung. Bahkan ketika Ajo Tanjung mengundurkan
keberangkatannya ke Jakarta, orang kampung langsung bersorak. Sebermula kepulangan Ajo Tanjung
memang sekedar silaturahmi hari raya, tapi akhirnya dia berencana menetap sampai Iedul
Adha.
Datuk pasti masygul
nian. Dia semakin cemas atas tindak tanduk Ajo Tanjung yang terus mengkikis
habis pengaruhnya. Ajo Tanjung bahkan lebih dermawan ketimbangnya. Dia pelopor
renovasi masjid, pelebaran jalan kampung, bantuan orang kampung yang
kemalangan. Dan puncaknya, dia mendanai pendirian koperasi yang pada akhirnya
mengusir jauh para tengkulak yang galib mengintai orang kampung di musim
panceklik. Ada desas-desus kalau tengkulak ini pun sebenarnya adalah kaki
tangan Datuk.
Perang dingin semakin
menjadi-jadi. Bahkan merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kampungku yang dulu
tentram kini bercerai. Kubu Datuk Bendahara Kayo dan kubu Ajo Tanjung.
Arkian Datuk tak sanggup
mengungguli Ajo Tanjung. Kekalahan demi kekalahan membuatnya mati
kutu. Dia jadi pendiam, jadi pemberang, bahkan sudah kembali minum-minum seperti
semasa bujang. Pernah suatu malam Datuk ditemukan tergeletak mabuk di jalanan kampung.
Untung Uncu Agus segera memulangkannya, kalau tidak, barangkali besok pagi
tubuh lelaki tua itu sudah luluh dilindas mobil. Aisyah hanya bisa
mengisak melihat tabiat suaminya.
-()0()-
Takbir kali ini berbeda.
Suaranya lebih keras, membahana sampai kampung sebelah. Maklum sound system-nya masih baru, lagi-lagi
berkat kemurahan hati Ajo Tanjung. Masjid kami juga sudah selesai direnovasi,
meski tak sebesar masjid raya kabupaten, tetapi sudah cukup buat menampung segenap
orang-orang kampung.
Rencananya setelah
sholat akan diselenggarakan acara peresmian. Dan atas jasa-jasanya, Ajo Tanjung
didaulat memotong pita -sebenarnya dia sendiri yang meminta diadakannya acara ini.
Tetapi sampai matahari
sepenggalan tiang, Ajo Tanjung belum datang. Kemudian baru kusadari kalau batang
hidung Datuk juga tak tampak di antara para jamaah. Arkian karena tak sabar menunggu,
pengurus masjid memutuskan bersholat tanpa kehadiran dua petinggi kampung
tersebut. Tentu saja setelah acara mengaleh amal dilakukan.
Selepas sholat, selaku ketua panitia peresmian masjid aku
terpaksa memburu mereka. Rencananya aku akan ke rumah Datuk dahulu,
kemudian memintas jalan melalui tepian batang air sampai akhirnya muncul tepat
di samping kediaman Ajo Tanjung. Tak dinyana, di sana aku bakal terkejut,
sangat terkejut.
Ada kerumunan di rumah Datuk, bahkan ada beberapa polisi. Ada apa? Aku mendongak di ambang pintu.
Datuk tampak tergelantang di ruang tamu. Tubuhnya kaku dengan mata mendelik dan mulut berbusa.
“Kenapa?” Bisikku kepada seorang polisi.
“Datuk minum racun
serangga. Istrinya menemukannya tadi pagi ketika hendak pergi bersholat Ied.“
Masya Allah. Aku melirik ke samping. Di sudut ruangan Uni Aisyah tampak
terisak dalam dekapan seorang perempuan tua. Ajo Tanjung juga ada di sana. Anehnya,
kendati tampangnya menyuratkan kesedihan mendalam, tetapi sepasang matanya malah memancar
binar bahagia. Ya, lelaki paruh baya itu tampak gembira.
Padang 16
Mei 2002
0 komentar:
Posting Komentar