MASYUMI, PARPOL ISLAM DAN AHOK


Belum ada parpol Islam di Indonesia yang bisa membayangi Masyumi. Didirikan pada 7 November 1945, Masyumi mencoba menempatkan diri sebagai parpol penyatu kaum muslimin Indonesia dalam bidang politik. Pengaruh kuat Masyumi kentara pada Pemilu 1955, yang digadang-gadang sebagai pemilu terbersih. Masyumi sukses meraup 20,9 persen suara nasional, dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan. Dukungan terhadap Masyumi hanya terpaut tipis dari PNI-nya Bung Karno yang meraih 22,3 persen suara nasional.

Namun, kebesaran Masyumi bukan sekadar hasil pemilu. Kendati berumur pendek, sekitar 15 tahun, Masyumi telah meletakan substansi Islam politik yang modern, tetapi tidak tercerabut dari akar kebangsaan kita. Pembinaan yang baik membuat perilaku kader tidak pecah kongsi dengan nilai-nilai perjuangan Masyumi. Para tokohnya telah mewariskan keteladan, sikap tawadhu, zuhud dan memegang kukuh adab berpolitik. Penulis sendiri, setidaknya, melihat dua kebesaran Masyumi yang kian memperkuat peradaban politik bangsa ini.

TOLERANSI
Masyumi menganut ideologi Islam. Sebaliknya, barisan PKI dibawah komando D.N. Aidit mengidam-idamkan tegaknya komunisme di Indonesia. Di seberangnya, juga ada I.J. Kasimo dan F.S. Hariyadi, tokoh Partai Katolik, serta J. Leimena dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia. Mereka bersikeras mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara.

Perbedaan ini membuat parlemen menjadi tempat pertarungan ideologi yang tak putus-putusnya. Tetapi tak ada debat kusir di sana. Tak ada meja yang terguling apalagi tantangan baku-hantam. Pertentangan selesai di ruang sidang.

Paska berdebat keras di ruang sidang, Natsir dan Aidit sering ngopi-ngopi sambil berbincang santai. Isa Ansari sering mengajak Aidit dan Nyoto maka sate setelah berdebat. Kalau Aidit berkunjung ke Sukabumi, biasanya dia menginap di rumah Ansari. Bahkan konon, Kasimo pernah membelikan rumah untuk Prawoto Mangkusaswito di Yogyakarta.

Pergaulan multikutular membuat langkah parpol-parpol yang berbeda ideologi itu semerbak aroma demi bangsa dan negara. Ketika Masyumi menyerukan Mosi Integral, meleburkan negara-negara dalam RIS ke dalam RI, tokoh-tokoh nonmuslim turut pasang badan. Setelah oposisi, Masyumi bersedia duduk dalam kabinet Amir Syarifuddin karena merasa bertanggungjawab atas perjuangan menghadapi Belanda.

Ketika menjabat Perdana Menteri, 6 dari 18 menteri kabinet Natsir dari golongan non muslim. Kalangan kristiani mendapat  5 pos menteri, yaitu MA Pallupessy (menteri penerangan), Tandiono Manu (menteri pertanian), Herman Johannes (menteri PU), F. Harjadi (menteri sosial) dan J. Leimena (menteri kesehatan). Bapak penganut kepercayaan Indonesia, Wongsonegoro ditunjuk sebagai menteri kehakiman. 

TAAT HUKUM
Kebesaran parpol juga bisa diukur pada detik-detik kematiannya. Dan Masyumi sukses melalui ujian ini. Penerbitan Kepres No. 20 tahun 1960 agar  Masyumi dan PSI membubarkan diri dalam tempo 100 hari, atau dinyatakan sebagai partai terlarang, tidak diikuti huru-hara. Padahal Ketua Masyumi terakhir, Prawoto mengibaratkan keppres tersebut sebagai vonis mati kejam. Si algojo adalah si terhukum sendiri.

Kendati Bung Karno superior, tetapi Masyumi masih punya kekuatan. Masyumi memiliki basis kuat di kalangan santri, para kiai dan ulama sampai faksi militer Islam. Masyumi punya massa terorganisir di tubuh Serikat Tani Islam Indonesia (STII), Serikat Dagang Islam Indonesia (SDII) dan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII, kemudian menjadi GASBIINDO). Jangan lupakan hubungan mesra Masyumi dengan kalangan pemuda muslim terpelajar –PII, HMI, GPI.

Dengan basis yang diikat sentimen agama ini, Masyumi bisa saja mengeluarkan resolusi jihad. Kekecewaan umat Islam terhadap Soekarno, PNI-PKI, bisa digumpalkan menjadi satu pukulan untuk melawan pemerintah. Tetapi hal ini tidak dilakukan. Masyumi malah melayangkan gugatan ke pengadilan. Hasilnya sudah bisa ditebak. Usaha mencari keadilan menemui jalan buntu akibat intervensi penguasa. 

Masyumi tidak ingin melawan keotoriteran dengan metode yang merusak sistem hukum. Apalagi sampai terjadi perang saudara yang merusak persatuan bangsa dan negara. Hal ini kian memperkuat keteladanan tokoh-tokoh Masyumi, sebagai sosok berwawasan luas, kritis dan demokratis, tetapi tetap berorientasi kebangsaan-kenegaraan yang kukuh.

AHOK
Sayangnya keteladanan tersebut belum mampu ditangkap parpol-parpol Islam kita saat.  Ada beberapa kemunduran parpol Islam yang bisa dikritisi, tetapi yang paling menggelisahkan adalah kasus Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Dalam konteks politik sektarian, banyak alasan untuk menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dia politisi Tionghoa, berlatarbelakang mantan pengusaha, dan nonmuslim. Apalagi ditambah gaya ceplas-ceplos politisi yang tidak berparpol ini. Keberadaan Ahok tidak menyamankan kelompok ini.

Karena penolak utama berasal dari kelompok ormas Islam, sudah sewajarnya jika parpol Islam turun tangan. Konstitusi dan peraturan perundang-undangan telah melindungi eksistensi politik seorang Ahok, dan hak ini tidak boleh dicabut hanya karena perkara sektarian.

Jadi tidaknya Ahok dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta bukan berada pada ranah politik lagi. Naik jabatannya Ahok diatur dalam Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Artinya pengerahan massa apalagi gerakan gubernur tandingan untuk menolak Ahok justru menggambarkan pengabaian peraturan perundang-undangan. Hal ini malah menampakan arogansi umat Islam terhadap minoritas dalam negara yang berdasarkan pancasila. Bukankah ini malah memperburuk citra umat Islam sendiri?

Salah-kaprah ini harus diluruskan. Dan yang paling berkewajiban adalah parpol Islam. Perkara ketakutan bahwa kebijakan Ahok tidak akan pro umat Islam, tidak perlu dihembus-hembuskan. Sudah menjadi khitah para parpol Islam untuk mencegahnya melalui politisi mereka di DPRD DKI Jakarta.

Nyatanya parpol Islam cenderung bungkam. Sebagian politisi Islam bahkan berteriak lantang menolak Ahok. Parpol Islam terjebak dalam dilema, antara ranah hukum dan politik, antara ketaatan norma hukum dan ketakutan ditinggal basis. Padahal akibat ketidakmampuan bersikap, salah kaprah ini kian berkembang di benak publik. Inilah salah satu ahistoris parpol Islam dengan pendahulunya, Masyumi.

Lagipula apa yang dipertontonkan tersebut bisa berujung kontraproduktif dengan masa depan parpol Islam ke depan, yang kian lama kian inklusif. Belakangan arah langkah parpol Islam bukan lagi sekadar menjaga basis, tetapi juga mencoba mengambil ceruk suara dari konstituen parpol nasionalis, bahkan lain agama. Dalam konteks ini, kebungkaman parpol Islam tentu bisa menjadi bumerang.



0 komentar:

Posting Komentar