SEGITIGA CINTA YANG TERLUKA


andai aku telah dewasa
apa yang akan kukatakan
untukmu idolaku Ayahku tercinta[1]

Deru motor itu sontak mengunting mimpi Pak Kardi. Setengah limbung, satpam tua itu membuka gerbang dan Elang langsung disayat sembilu penyesalan. Ya, mimpi adalah media pengapaian cita-cita Pak Kardi yang tak pernah maujud di dunia nyata. Dan untuk kesekian kalinya dia memporak-porandakan kerajaan imajinasi yang murni itu.

“Tidur saja di dalam, Pak. Siapa yang nekad menyatroni pemukiman elit ini? Mau didoor apa?”

Pak Kardi tersenyum rikuh, “ndak apa-apa, Den. Ini sudah jadi tugas Bapak”

Elang mengangguk sebagai tanggapan. Tak sepakat, tetapi dia merasa tidak berdaulat memaksa.

Dia lantas melangkah malas. Saban pulang, kepalanya selalu terasa panas. Disusurinya kerikil pembatas taman mawar koleksi Mama yang mempercantik kolam ikan di muka beranda. Akh, bila bukan karena Mama niscaya telah lama ditinggalkannya istana terkutuk ini.

Sesampainya di ambang pintu, dia tercekat. Ruang tengah benderang. Papa terduduk seraya membaca buku. Aneh. Bukankah hari ini jadual Papa kunjungan kerja ke daerah? Ketika mendapati kehadirannya, Papa langsung meletakkan buku di atas meja.

“Elang duduklah sebentar! Papa mau bicara.“

Pemuda itu mengurungkan niatan untuk langsung meringkuk di kamar. Agak jenggah, dihempaskan tubuhnya ke sofa. Bagaimanapun masih tersisa penghormatan kepada lelaki yang merawat dan membesarkannya itu. Sejenak kedua lelaki bertalian darah itu terbungkam.  

“Papa minta kau mundur dari barisan mahasiswa itu!”

Kalimat Papa terlontar lambat-lambat, tapi Elang merasa mendengar ledakan granat.

Itu bertentangan dengan idealismeku,” suaranya tersekat di tenggorokan.

“Idealisme?” Papa tersenyum mengejek. “Idealisme, prinsip dan hati nurani sudah tak berperan lagi. Yang ada hanya uang. Kau dengar? Lihat! Lihatlah! Rumah, mobil, semua harta benda ini. Apakah idealisme bisa menghasilkan ini semua?”

“Papa pikir aku bahagia dengan semua barang haram ini? Itu hanyalah pikiran lelaki berjiwa kerdil!”

Papa tersurut. Tatapannya meredup. Betapa ucapan puteranya telah menghujam sanubari yang terdalam. Teronggok perasaan campur-aduk di dada. Kebanggan menyaksikan nilai-nilai yang dituangkan dalam raga putranya telah pejal dan kokoh. Tetapi ada juga sembilu menyayat hati. Keinsyafan kalau benih-benih itu pula yang kini mengonakduri langkah kakinya.  

Mustahil uang dapat mengubah segalanya. Papa sadar akan kekhilafannya. Tetapi mau bagaimana lagi? Kecuali tercampak dari sistem, untuk sukses di nadi pemerintahan, dia harus melangkah ke dalam lingkaran iblis.

Sosot mata Papa lekas kembali ke muasal. Tajam dan kukuh. Dia harus dapat memerangkap harimau muda ini. Dia tak ingin kerja kerasnya mesti pupus hanya karena seorang Elang. Segala yang dimilikinya begitu berharga. Lagipula, bukankah semua itu dilakukan bukan hanya bagi dirinya, tapi juga untuk Mama dan putra semata wayangnya itu?

“Kau adalah putraku!” hardik Papa, “Seharusnya kau berada di belakangku.”

“Elang tetap tidak akan mundur.”

“Dasar anak tidak tahu diuntung!”

Kemarahan Papa memuncak. Lengan kekar itu tak mampu lagi mematung. Tangan itu berganjak. Cepat dan keras. Sudur bibir Elang pecah sudah.

Tetapi pemuda itu malah tersenyum. Sakit di sudut bibirnya tak sesakit hatinya. Sebermula dia menyangkal, tapi data yang sedemikian valid tak dapat ditapik. Bukti otentik kalau lelaki yang selama ini dibangga-banggakannya tak lebih dari seorang musuh rakyat. Kenyataan kalau nilai-nilai yang selama ini didoktrinkan kepadanya, yang sempat dia anggap sebagai kebenaran, ternyata hanyalah seonggok sampah bagi  penebar benih itu.

“Tampar! Ayo tampar lagi sampai puas. Tapi jangan harap aku akan berhenti.”

Tatapan mereka bertaut. Tak lagi seperti dulu. Kali ini mereka adalah lawan sepadan. Sama-sama kokoh. Sama-sama hendak menaklukkan lawannya. Tetapi jauh di dasar hati, sesungguhnya mereka merasa berhadapan dengan cermin. Bukankah sejatinya mereka adalah sama. Darah Papa menderas di tubuh Elang. Kecadasan batu karang Papa mendarahdaging dalam jiwa dan sikap Elang.

Keduanya masih terbungkam. Tertegun dalam labirin pemikirannya masing-masing. Arkian, Elang tak berdaulat meredam muak. Dia keluar sembari membanting pintu. Lalu terdengar ruangan sepeda motor melesat pergi.

Papa meringis. Sungguh bocah itu telah tumbuh menjadi harimau. 

-()0()-

Pertikaian malam itu benar-benar membekas dalam hubungan mereka. Serupa air dan api, mereka saling berebut wilayah, saling menjauh. Dinding kokoh semakin tinggi terbangun. Komunikasi lisan dan tulisan musnah. Ikatan Ayah  dan putranya makin samar, makin tak kentara. Penghargaan mereka atas nama dua insan yang bertalian darah tinggal sebatas anggukan dan bahasa mata, itu pun hanya saban sarapan pagi.

Keduanya mulai membangun dunianya masing-masing. Elang menjelma menjadi sesosok pengembara. Rutinas gerakan, dan antrian jadual unjukrasa memaksanya menggantangkan waktu di luaran. Sebaliknya, Papa semakin membangun benteng atas gugatan publik. Aktivitasnya, selain kerja rutin, bertambah dengan sowan ke para petinggi negara yang dianggap mampu menyelamatkan dirinya.
Arkian, kediaman megah yang telah sepi menjadi semakin senyap. Semangat cinta-kasih yang dulu menjiwai rumah itu tergerus sudah. Dan Mama tetap saja bergeming.  

-()0()-
andai aku telah dewasa
kubalas cintamu Bunda
pelitaku penerang jalan di setiap waktu[2]

Sinar matahari menyeruak melalui kisi-kisi jendela. Terdengar kicau kepodang bercengkrama di tingkap rumah. Batang akasia di taman belakang memang sudah lama menjadi sarang unggas itu.

Elang sudah berkemas. Semalaman dia tak dapat tidur. Hari ini adalah hari besar, bakal digelar unjukrasa akbar. Massanya bukan sekedar Jabodetabek, melainkan Bandung, Semarang dan Jogyakarta. Ya, kemarin dia berhasil meyakinkan mereka untuk bertandang ke ibu kota negara. Bila aksi berlangsung mulus, maka pengkhianat-pengkhianat rakyat bakal terdepak ke meja hijau. Termasuk Papa.

Dengan ransel di punggung, lekas dia meniti tangga. Sebelum mengambil motor, kendati ditampar bimbang, Elang ingin memohon restu Mama. Ditemukannya Mama di taman bunga.

Kesepian telah membuat Mama menumpahkan perasaannya kepada mawar-mawar. Penuh kasih dirawatnya bunga-bunga itu sampai-sampai sungguh mudah menerka perasaannya ketika berhimpun bersama mawar-mawarnya -putih bila pasrah, merah jika berduka dan kuning di kala  gembira.

“Mama sudah terlanjur memberikannya kepada Papa.”    

Elang merasa bodoh untuk terperanjat, karena sesungguhnya sudah dapat menduga. Mama adalah isteri yang baik. Apapun yang terjadi, Mama tetap akan tegak di belakang Papa. Sesuai nasehat Oma menjelang ajal, bagi seorang istri, suami adalah segalanya. Serupa Oma, Mama kukuh memegang prinsip itu. 

“Elang tidak meminta restu seorang istri kepada suaminya, melainkan restu seorang Mama kepada putranya.”  

Mama menghela nafas. Elang tercekat, baru insyaf kalau seminggu ini wajah Mama menua dengan cepat. Pasti akibat pertikaian ini. Akh, mata tua itu makin sayu saja. Tampak bening mengambang di antaranya. Binar yang dulu selalu ada dalam jendela jiwa itu sudah tak berbekas. 

“Mama tak tahu apa ini benar. Seperempat abad mendampingi Papa baru kali ini Mama bimbang… ,“

Mengusir kegundahan hati, Mama mematah pandang ke arah sekuntum mawar merah. Perempuan paruh baya itu tengah berduka.

“Takdir Mama memang buruk. Kalian. Suami dan putraku, harta termahalku, harus berseteru, demi ego dan tujuan kalian masing-masing. Darah yang mengalir di raga kalian adalah sama. Barangkali itu yang membuat kecadasan hati kalian serupa. Tapi camkanlah, Putraku. Apapun yang bakal terjadi, sang pemenang mustahil lahir. Kalian akan kalah. Kalian akan sama-sama terluka”

“Mama…,” Elang mendesis, mencoba memedamkan pilu di dada.

Mama masih tetap tegar. Dekapannya masih sehangat dulu. Usapan-usapan sayangnya di kepala Elang tak berubah. Mama bahkan tak menangis dan dia memang mustahil akan menangis. Dia tak mau menyurutkan semangat Elang. Dia tak mau air mata menghambat perjuangan suci putranya.

Dikecupnya kening Elang. Dan dengan kepasrahan meletakan setangkai mawar putih dalam gengaman putranya. Mama menatap Elang dengan sorot mata getir. 

“Jalan, nak, anak lanang.  Suatu waktu siapapun pasti tertegun seperti kamu[3]. Berangkatlah putraku. Bunda merestuimu…,”

Elang mengisak dalam hati. Betapa ingin dia menganggap semua hanyalah mimpi buruk. Dia ingin segera terjaga. Tetapi dia tak mampu memungkiri kenyataan. Meski pilu, pemuda itu bangkit. Bagaimanapun dia mesti tetap melangkah.

-()0()-

dalam doamu, kutahu kau berharap
dalam langkahku, kutahu kau berjaga[4]

Barisan mahasiswa tumpah ruah. Berbekal bis-bis yang dihentikan paksa di jalan, mereka menyerak memadati halaman gedung sembari meneriakankan yel-yel kontra para koruptor pendidikan. Karena tak ada respon, maka para pengunjukrasa  memaksa masuk. Sembari berdiri di atap bis, mereka berteriak lantang dan mengacungkan tangan, spanduk serta poster-poster.     

Usaha pendudukan tak berjalan mulus. Barisan aparat tegak menghadang. Tetapi massa sudah tak peduli. Semangat hati nurani dan gelora perjuangan moral mampu mengetarkan barisan keamanan sehingga terjadi tarik ulur wilayah. Moses dan Elang ambil peranan. Bersama tiga rekannya, mereka maju ke depan. Mencoba berdialog dengan pemimpin aparat. 

Entah siapa yang memulai, sekonyong-konyong terjadi pelemparan bom molotov. Kegemparan semakin melupa ketika mendadak terjadi pembakaran ban-ban bekas untuk memalang jalan. Lalu lintas sontak macet. Perang mulut meruncing. Aksi dorong-mendorong tak terhindarkan. Bentrokan tak terelakkan. Pasukan anti huru-hara lekas menembakkan gas air mata. Pandangan berkabut. Suasana rusuh. Tiba-tiba terdengar letusan senjata api. Barisan mahasiswa kontan tiarap, sebagian malah ada yang memaksakan diri lari tak tentu arah.

Aparat masih siaga berbekal tameng dan pentungan, bergerak maju serentak. Barisan mahasiswa mundur perlahan. Kabut akibat gas air mata dan pembakaran ban-ban bekas perlahan menipis. Pandangan tersibak. Seorang lelaki muda, berkaus oblong putih dengan jeans biru terkapar. Dalam genggamannya ada setangkai  mawar putih.

Depok,  Mei 2003




[1] Lirik lagu Andai Aku Besar dipopulerkan oleh Sherina
[2] Lirik lagu Andai Aku Besar dipopulerkan oleh Sherina
[3] Sajak Api karya Whiji Thukul
[4] Lirik lagu Andai Aku Besar dipopulerkan oleh Sherina

0 komentar:

Posting Komentar