Hak Tunjang Hari Raya (THR) buruh selalu menjadi isu
nasional menjelang lebaran. UU Tenaga Kerja No 13 Tahun 2003 memang tidak
membahas masalah THR pekerja. Kewajiban membayar Hak THR hanya dijamin dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya
Keagamaan bagi pekerja di perusahaan.
Regulasi ini mewajibkan pengusaha untuk membayar THR bagi
pekerja dengan masa kerja 3 bulan ke atas. Teknisnya juga sudah
diatur. THR pekerja dengan jangka waktu 3 bulan akan dihitung secara
proporsional. Sedangkan bagi pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan, akan
mendapat THR sebesar satu bulan upah.
Sayangnya, urusan THR tidak seperti mengurus TKI, yang membuat Menaker Hanif Dhakiri mau memanjat pagar. Menaker terkesan ragu-ragu. Alih-alih berkeras, Menaker hanya berani menghimbau pembayaran dilakukan maksimal dua minggu (H-14). Ini lebih cepat dari Permen yang menyebut bahwa pembayaran THR dilakukan paling lambat H-7 atau 10 Juli mendatang. Kalangan buruh tentu mengapresiasi himbauan Menaker, tetapi jelas berharap lebih dari itu.
Barangkali batasan Permen yang membuat Kemenaker tidak bisa
berkeras. Tetapi jika demikian, mengapa Kemenaker tidak merevisi atau membuat
Permen yang baru? Jika memang terdesak oleh waktu, apakah Kemenaker tidak
memikirkan masalah ini sebelumnya? Jika iya, tentu ada yang luput dalam
perencanaan program Kemenaker mengingat THR merupakan isu rutin yang dihadapi
setiap tahun.
Lemahnya Sanksi
Dalam pemberitaan media massa, Menaker hanya berani
menegaskan bahwa perusahaan yang tidak membayarkan THR akan dikenakan sanksi
administratif, seperti penundaan pelayanan oleh pemerintah. Ancaman Hanif ini
jauh lebih lemah dari pendahulunya, Muhaimin Iskandar, yang berjanji mencabut
izin usaha perusahaan yang membandel meskipun realisasinya belum tampak.
Permen THR memang tidak mencantumkan sanksi tegas. Padahal keberadaan sanksi tegas, penting untuk menjamin kepastian diterimanya hak buruh. Ketiadaan sanksi tegas, berupa pidana dan pencabutan ijin usaha, membuat efek preventif serupa macam ompong. Penyelesaiannya pun harus melalui negosiasi-negosiasi panjang dan melelahkan karena pengusaha selalu berdalih.
Ambil contoh penanganan kasus THR di DKI Jakarta. Pada tahun 2013, LBH Jakarta menerima sebanyak 1.785 buruh yang THR-nya tidak dibayarkan. Jumlah tersebut tersebut meningkat 400% dari tahun 2012. Dari total pengaduan hanya 1.261 buruh yang berhasil mendapatkan THR. Sisanya, 524 buruh, gagal mencapai kesepakatan. Kegagalan ini tentu tak bisa dilepaskan dari ketiadaan sanksi tegas tersebut.
Ketiadaan sanksi yang tegas juga membuka ruang bagi perusahaan untuk mengakali kewajiban membayar THR. Saya mencatat, setidaknya ada 4 model pelanggaran yang biasa diterapkan. Pertama, pemutusan kontrak terhadap buruh satu bulan sebelum Lebaran. Para buruh akan dipekerjakan kembali paska Idul Fitri. Dengan dalih yang dicari-cari, perusahaan yang menerapkan model ini rutin memutus kontrak terhadap ratusan buruh, setiap sebulan sebelum lebaran.
Kedua, membayar THR tidak sesuai aturan. Model ini biasa
terjadi di kalangan buruh kontrak. Besarannya jauh di bawah nilai upah bulanan.
Jadi seolah-olah THR bukan kewajiban melainkan sekedar uang belas kasihan dari
perusahaan kepada kalangan buruh.
Ketiga, besaran THRnya sesuai aturan, tetapi pembayaran dicicil selama beberapa bulan setelah hari raya. Keuntungan bagi perusahaan adalah keberadaan dana, termasuk bunga bank dari dana THR buruh yang disimpan. Keempat, dan yang terparah, adalah tidak membayarkan THR sama sekali dengan alasan kondisi keuangan perusahaan tengah anjlok.
Muara dari keempat model ini sama saja. Biasanya, jika buruh melawan, tentu intimidasi pemecatan dan atau ancaman tidak dipekerjakan kembali yang akan dilakukan.
Berharap Pada Perda?
Kesimpulannya, bukan sekedar pengawasan, tetapi diperlukan
sanksi tegas bagi perusahaan-perusahan yang menolak atau enggan membayar hak
THR buruh. Sanksi ini akan lebih menggigit jika dikongkritkan dalam pasal-pasal
di UU.
Sanksi tegas kepada pengusaha yang tidak menunaikan hak THR bisa saja diterakan dalam perda. Bukankah sekarang era otonomi daerah? Namun, ini bukan pekerjaan mudah. Sudah jamak jika perda-perda lebih didorong oleh keberadaan UU yang menjadi payung hukumnya, baru dibreak-down dalam bentuk perda. Jadi bukan dominan kebutuhan atau inisiatif daerah.
Selama THR belum diatur dalam UU, mengharapkan inisiatif pemerintah daerah sangat sulit. Sampai sekarang, saya belum pernah membaca perda yang kental semangat penunaian hak THR ini. Kelemahan ini mendorong serikat buruh, NGO, serta civil society yang konsern pada isu upah layak bagi buruh untuk mengajukan UU Sistem Pengupahan yang didalamnya mengatur perihal THR.
Terlepas dari isu resuffle kabinet, kalangan buruh tentu berharap Hanif Dhakiri mau kembali memanjat pagar. Bukan pagar penampungan TKI, melainkan pagar gedung DPR RI, untuk memperjuangkan UU Sistem Pengupahan ini. Termasuk juga untuk memperjuangkan isu-isu ketenagakerjaan yang masih mandeg di meja komisi atau pimpinan DPR, contohnya pelindungan buruh migran dan UU pekerja rumah tangga.
Jika Hanif mau melakukannya, saya yakin 1000 % para buruh
akan siap mendukung Kemenaker untuk menekan politisi senayan yang sering
bergerak kemana angin berhembus.
informsinya benar2 sangat meanrik dan bermanfaat sekali gan..saya jadi tau lebih banyak tentang apa sajah yg terjadi di luar sana...mantap gan postingan ya..
BalasHapusSELAMAT DATANG DI DEWAGALAU.COM AGEN JUDI ONLINE TERPERCAYA SE ASIA
BalasHapusKami memberikan promo bonus berupa BONUS CHIP sebesar Rp. 10.000,-
kepada setiap member yang melakukan deposit dengan minimal Rp. 100.000,
Bonus Chip Rp.10.000, dapat di claim setiap harinya sebanyak 1x perhari
Contact Us :
- Website : DEWAGALAU.COM
- Phone : +855964629343
- BBM : 2C302A2B
- YM : dewagalau_cs
- Live Chat Customer Service Profesional 24/7 (Nonstop)
AYO TUNGGU APA LAGI , AYO SEGERA BERGABUNG DAN DAFTARKAN DIRI ANDA BERSAMA KAMI DI DEWAGALAU.COM, JANGAN SAMPAI KESEMPATAN MENANG ANDA TERLEWATKAN