70 Tahun RI, Dusta Pemerintah Terhadap Buruh ?


Ada makna positif dari gebyar peringatan 70 tahun Republik Indonesia bagi kalangan buruh. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan buruh, pekerja atau karyawan masih banyak yang belum beres di negeri ini. Ambil contoh perihal penggajian.
Sudah jamak, jika kalangan pengusaha selalu menggadang-gadangkan besaran penggajian buruh dengan produktivitas. Inti metode ini adalah semakin produktif, maka gaji buruh akan semakin besar. Nyatanya, penerapan metode ini pun tidak konsisten.
Publikasi Asian Productivity (2014) mencatat bahwa produktivitas per pekerja di Indonesia  adalah sebesar 20 ribu $ USD. Indonesia hanya kalah dari Thailand (22,9 $USD), Malaysia (46,6 $USD) dan Singapura (114,4$USD).  Temuan ini dijadikan “senjata” oleh Kementerian Perindustrian (Kememperin) untuk mengerus tuntutan kenaikan upah minumun buruh.
Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri Kemenperin, Imam Haryono, menyebut “Sedangkan upah minimum rata-rata tenaga kerja di Indonesia sudah mencapai US$ 226 per bulan atau sekitar Rp 2,7 juta dengan kurs rupiah Rp 12 ribu per dolar AS. Upah tenaga di negeri gajah putih tersebut hanya sebesar US$ 197 per bulan, atau hanya sekitar Rp 2,3 juta dengan kurs rupiah Rp 12 ribu per dolar Amerika Serikat (AS)”  baca : Produktivitas Pekerja Thailand Lebih Tinggi Dibanding RI 
Buruh Indonesia juga dihajar dengan pendapat dari kalangan pengusaha dan investor.  Ada gerakan untuk mendegradasi gerakan buruh sebagai kalangan yang tidak tahu diuntung. Kalangan yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Silakan baca May Day Tuntutan Upah Tinggi dan Produktivitas Rendah atau Investor Jepang Keluhkan Upah Buruh
Padahal, tidak demikian adanya. Publikasi Asian Productivity, tetapi tidak disiarkan oleh pemerintah dan dunia usaha secara utuh. Produktivitas buruh Indonesia memang kalah dari Thailand,  Malaysia dan Singapura. Tapi lebih tinggi dari Tiongkok (16,9 ribu $USD), Filipina (14,7 ribu $USD), India (11,9 ribu $USD), Vietnam (7,9 ribu $USD), Myanmar (6,7 ribu $USD) dan Kamboja (4,6 ribu $USD). Ironisnya upah buruh Tiongkok, Filipina dan Vietnam justru jauh lebih besar dari Indonesia.
Hasil analisis The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebut buruh Indonesia hanya menerima 74 sen per jam. Sedangkan buruh Tiongkok menerima US$ 4,79 per jam, Filipina US 3,15 per jam, dan Vietnam US$ 3,16. Dengan temuan ini, menjadi wajar jika buruh Indonesia menuntut kenaikan upah. Fakta ini yang seolah-olah disembunyikan oleh Kemenperin dan dunia usaha.
Pada titik inilah, tujuan negara yaitu “memajukan kesejahteraan umum” dipertanyakan oleh kalangan buruh. Karena ada indikasi pemerintah segaja mengaburkan fakta untuk membangun citra positif dalam konteks kewajibannya kepada kalangan buruh. Ada nuansa kental bahwa pengaburan ini bersifat kesengajaan, sebuah negosiasi “basah” antara dunia usaha dengan pejabat di kementerian terkait ketenagakerjaan.
Barangkali terlalu lebay rasanya untuk menyebut solusinya, “Hanya ada satu kata! Lawan!” Tetapi tampaknya, bagi buruh Indonesia, hanya itu jalan keluar yang harus dilakukan.

0 komentar:

Posting Komentar