TAN: Kisah Tentang Terbentur dan Terbentuk

TAN: Kisah Tentang Terbentur dan Terbentuk


Pada pengujung 1998, untuk perdana saya berkenalan dengan Tan Malaka. Zenwen Pador, seorang Mamak yang  bergiat di LBH, datang ke rumah membawa fotokopi Madilog. Saya sempat mencuri-curi baca. Otak saya, yang belum genap setahun mengecap pendidikan putih-abu-abu, tidak mampu memahaminya. Termasuk ketika si Mamak berkisah, bahwa Tan Malaka adalah seorang Minang, pahlawan besar yang terlupakan oleh bangsanya sendiri. Sejarah adalah salah satu pelajaran favorit saya, dan seingat saya belum pernah menemukan nama itu dalam buku-buku sejarah yang diajarkan kepada saya sejak SD.

Sewaktu kuliah di ranah minang, kondisi yang mirip saya temukan. Alih-alih bertemu di perpustakaan kampus, saya malah bertatapan dengan Tan lewat t-shirt pengunjuk rasa –Bapak Republik berwajah diamuk sepi. Saya tanya kepada mereka, siapa dia? Jawabannya, tetap sama seperti yang dikemukan mamak saya tiga tahun sebelumnya – sesosok misterius, cerdas tidak ketulungan, tukang recok zaman sampai kematian yang  tragis, serta rangkaian aksi-aksi heroik lainnya. Bagaimanakah proses kehidupan Tan sehingga bisa membuat gubermen jenderal Hindia Belanda dan kemudian tritunggal – Soekarno, Hatta dan Syahrir, menaruh hormat sekaligus terjangkit sakit gigi tidak terkisahkan. Seolah-olah putera Nagari Pandam Gadang ini sudah keren semenjak lahir. Sudah given menjadi bintang di langit.

Penokohan Tan sebagai legenda, justru menghambat penerjemahan gagasan-gagasan brilian Tan dalam tata kehidupan. Sebagai bintang di langit, ada impotensi gerakan anak bangsa untuk mengikuti jejak langkahnya. Sebagai sosok sakti mandraguna, Tan diposisikan selayak si Jampang dan si Pitung –sekadar untuk dikagumi. Padahal banyak nian mutiara dalam kehidupan dan gagasan Tan yang masih sangat layak untuk diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Contoh sederhananya adalah gerakan Indonesia Mengajar dan sarjana penggerak desa yang sejatinya sejalan dengan pemikiran Tan tentang pendidikan.

Membumikan Tan bermakna dua hal : mengoyak-moyak legenda, dan berorientasi pada proses. Menurut saya, Tan tidak butuh pemujaan, sebagaimana ia menyebut “revolusi bukanlah… atas perintah seorang manusia yang luar biasa.” Bukan para superhero yang menjadi kunci, melainkan kesadaran orang-orang biasa yang terorganisir dan kemudian melancarkan aksi luar biasa. Di sinilah rangkaian proses mengambil peran. “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”, ungkap Tan –yang mengingatkan saya pada hadist rasullullah itu, “Ibumu, Ibumu, Ibumu, Ayahmu”.  Terbentur lebih penting dari terbentuk.

Karena itulah TAN: Sebuah Novel, mulanya berjudul Memoar Alang-alang, ditulis. TAN adalah antitesa salah satu fiksi favorit saya -Patjar Merah Indonesia karya Matu Mona. Sisi legendaris Tan dalam Patjar Merah Indonesia sangat tepat untuk membangun harapan masyarakat, sesuai dengan semangat zaman merebut kemerdekaan yang memerlukan tokoh-tokoh utama untuk dipuja. Sebaliknya, TAN ditulis untuk menanggapi fenomena Indonesia kekinian –masyarakat yang seharusnya tidak lagi sekadar  menumpangkan harapan kepada segelintir orang, tetapi bangkit untuk mewujudkan harapan tersebut.

Karena itu TAN tidak berkutat pada Tan Malaka yang legendaris, melainkan rangkaian proses Ibrahim menjadi Tan Malaka, yang hal ini pun bahkan belum tuntas. Bahwa Tan sejatinya bermula dari bocah kampung di pelosok negeri. Tan sebagai sosok peragu, minder bahkan mengaduh oleh duri cinta, yang kemudian terbentur, terbentur, terbentur dan akhirnya terbentuk menjadi tokoh penggerak zaman. Bahwa setiap anak bangsa, dengan tempaan zaman dan keberanian bersikap, memiliki ruang untuk meneladani jejak langkah Tan dalam keseharian. Bahwa gagasan-gagasan Tan bukan berada di ruang hampa yang mustahil maujud.

TAN tidak bermaksud mengolok-olok Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia karangan Harry Poeze apalagi  Dari Penjara ke Penjara. TAN hanya suatu pancingan bagi anak muda khususnya, hidangan pembuka menuju literatur Tan Malaka yang lebih berat, yang barangkali kian jarang dibaca di era media sosial.  Pemikiran ini yang membuat saya menolak lirik Internasionale atau Genjer-genjer, yang diusulkan para sahabat, dan menukilkan penggalan Sunset di Tanah Anarki-nya Superman Is Dead pada halaman pembuka TAN.

Di luar itu semua, TAN juga merupakan upaya saya untuk mengerus salah kaprah tentang komunis. Bahwa bagaimanapun rezim di masa silam mencoba menghapusnya, bangsa Indonesia berutang jasa kepada kalangan komunis dalam pencapaian kemerdekaannya. Jauh sebelum kalangan nasionalis dan Islamis mengembor-ngemborkan upaya untuk kemerdekaan Indonesia, kalangan komunis sudah menisbatkannya sebagai tujuan gerakan mereka.  

Bahwa komunis tidak bisa dipukul rata sebagai atheis. Perlu digarisbawahi bahwa pemberontakan rakyat 1925-1926 melawan kolonial Belanda dipelopori oleh kalangan ulama. Ambil contoh Haji Misbach di Surakarta. Ada pula KH. Tubagus Achmad Chatib bersama dengan Haji Hasan, Kiai Moestapha, Haji Saleh, Entol Enoh, Kiai Moekri, Kiai Ilyas, dan Haji Entjeh yang berperan penting dalam pemberontakan di Banten. Di Sumatera Barat ada Datuak Batuah dan Djamaluddin Tamim pengajar Sumatera Thawalib. Datuak Batuah  adalah teman seperguruan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama. Ketiganya adalah murid Syech Ahmad Chatib Al-Minangkabawi, guru besar sekaligus imam Masjidil Haram, Mekkah. Tan sendiri secara tegas menekankan pentingnya persatuan antara segenap kalangan di Indonesia -nasionalis, Islam dan komunis -untuk menjungkalkan pemerintah kolonial Belanda.

Akhir kata, selamat membaca TAN. Semoga karya kecil ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Salam alang-alang!

dikutip dari kompasiana 

0 komentar:

Posting Komentar