Intimidasi Pembatalan Film Tan Malaka, Laku Dungu yang Terus Berulang



Seharian tadi kita bisa mengendus semerbak bau pahlawan. Ibu-ibu berkonde dengan giat-giat produktifnya, warta-kabar di televisi, atau keriuhan di media sosial. Tanggal 21 April sejak dulu selalu jadi simulasi 17 Agustus, hari di mana bangsa Indonesia mengenang masa-masa melawan penindasan. Bukan cuma Kartini, atau perempuan-perempuan hebat besertanya, tapi juga para pahlawan yang punya andil sehingga Indonesia bisa jadi seperti sekarang.

Sialnya, perayaan mengenang masa lalu itu harus tercederai hari ini. Satu kabar membuat hati kita terbanting-banting. Di satu sudut Kota Padang, Sumatera Barat pemutaran film dokumenter “Mahaguru Tan Malaka” karya Daniel Rudi Haryanto dipaksa batal. Shelter Utara, komunitas tuan rumah, mengaku mendapat sejumlah intimidasi. Mengerikan! Intimidasi ini adalah laku dungu yang diusung dengan gegap-gempita.

Pelarangan dan pembubaran giat-giat bertema Tan Malaka bukan kejadian baru, tapi kedunguan kali ini serasa lebih pahit. Tersebab ada jejak tangan pemerintah langsung dalam produk film itu. Dengan dukungan Kemendikbud, pada 2017 yang lalu, Daniel menapaki jejak Tan Malaka di Eropa. Sekarang film pendek itu tengah roadshow untuk penggalangan dana pembuatan film panjangnya.

Ada pula giat-giat lainnya yang jadi sinyal bahwa Kemedikbud mulai memberi ruang bagi produk-produk berbau Tan Malaka. Tahun lalu, novel Tan dengan citra Tan Malaka mengantarkan saya menerima penghargaan sastra dari Badan Bahasa Kemendikbud.

Hal serupa juga mulai terasa Kementerian Sosial dan DPR RI. Tan Malaka Institute bersama komunitas dan individu-individu yang respek dengan pemikiran Tan Malaka, mulai mangkus mengobati alergi Tan Malaka di institusi pemerintah, di benak publik.

Percaya atau tidak, sekarang giat terkait Tan Malaka sudah kerap dihelat di kalangan pesantren. Diskusinya dimeriahkan oleh kalangan bersarung dan bersorban. Jejak langkah dan pemikiran Tan Malaka memang memiliki irisan dengan gerakan Islam politik di tanah air kita.

Pencapaian-pencapaian di atas serasa ambrol sebab pelarangan pemutaran film ini terjadi sekitar 6 kilometer dari Jalan Tan Malaka di samping RRI Padang itu. Ditarik ke atas, pelarangan ini terjadi di ranah Minangkabau, tanah leluhur yang menjadi pondasi awal pemikiran Sang Datuk. Tanah satu suku bangsa yang kesohor dengan budaya diskusi sepekan suntuknya.

Amat kontradiktif. Ketika ranah 'darek' Minangkabau gegap-gempita meluruskan kesalahan sejarah atas sosok Tan Malaka, ranah 'rantau' justru mengaburkannya. Mestinya 'rantau' lebih inklusif tersebab ditopang oleh kampus-kampus besar yang jadi wahana untuk membuka ruang dialektika mendalam.

Semestinya, dialektika lebih meriah di Kota Padang. Mereka yang masih terjebak dalam jerat masa lalu, bisa menghadiri acara itu, menontonnya dengan seksama, lalu meledakan penolakannya di forum diskusi. Amat baik apabila aparat keamanan dan pertahanan, yang sedang membangun citra ramah dan senang diskusi itu, turut menghadiri giat-giat semacam ini. Betapa dahsyatnya pertukaran pendapatan yang akan terjadi apabila kaum yang alergi warna merah, saya mencatat ada sembilan warna dasar, mau hadir.

Saya yakin tidak akan ada seorang pun yang mencegah. Malahan tubruk-menubruk itulah yang diharapkan bisa terjadi dalam setiap forum diskusi terkait Tan Malaka—termasuk tubrukan yang paling ekstrim sekalipun. Perkara kita pulang dengan cemberut sebal atau sumringah tercerahkan, itu lain soal.

Pelarangan pemutaran film Tan Malaka ini adalah sinyal bahwa gerakan meluruskan sejarah Tan Malaka harus diteruskan. Masalahnya masih berkutat di titik klasik: bukan cuma pemerintah yang lambat bergeser, tapi masyarakat yang sudah kadung termamah propaganda masa lalu.

Adalah lumrah apabila kita takut dengan sesuatu yang tidak dipahami. Lebih-lebih apabila takut itu adalah warisan dari masa lalu. Namun, sependek ingatan saya, orang Minangkabau tidak pernah berhenti pada kondisi 'takut'. Orang Minangkabau justru mempelajari rasa takut itu, agar bisa menaruhnya dalam bilik 'ketakutan yang keliru' atau 'ketakutan yang perlu diakali'.

 Terserah bilik mana yang mau dipakai selama ada proses penggalian dahulu. Tanpa penggalian, takut itu tak lebih dari laku dungu bukan kepalang

0 komentar:

Posting Komentar