Gubernur DKI
Jakarta Jokowi sedang disibukan oleh hutang. Pemasalahan ini berada pada
dua posisi, yaitu sebagai representasi dari calon penghutang dan pihak penagih
hutang. Uniknya penyelesaian sosok yang digadang-gadang sebagai kandidat
presiden masa depan ini berada di luar mainstream.
Dalam
mewujudkan Jakarta Baru, Jokowi –Ahok tengah berkeringat mengatasi dua isu
utama, yaitu kemacetan dan banjir. Isu transportasi diatasi melalui Mass Rapid
Transit (MRT), sementara perihal penanganan banjir diredam dengan Jakarta
Emergency Dredging Initiative (JEDI) atau program pengerukan saluran, sungai,
dan waduk.
Dua mega proyek
inimembutuhkan dana sangat besar. Masuklah Japan International Cooperation
Agency (JICA) dan Bank Dunia sebagai lembaga keuangan yang siap menggelontorkan
hutang . Jokowi pun membuka peluang untuk bekerjasama.
Saya
menyebutnya sebagai peluang, karena pada dua mega proyek ini, hubungan Pemprov
DKI Jakarta dan kedua lembaga keuangan tersebut adalah simboisis mutualisme.
Pemprov DKI Jakarta mendapat dana segar, yang kemudian akan dicicil melalui
APBD selama sekian tahun.
JICA dan Bank
Dunia bukan dewa. Mereka menerima keuntungan dari kesepakatan tersebut, lewat
pembayaran bunga hutang pokok? Jika tidak ada yang meminjam, maka roda bisnis
mereka tidak berputar. Perihal ini yang mendorong lembaga-lembaga keuangan
sengaja membayar para ekonom, media massa atau pejabat domestik sebagai
agen-agen yang menghembus-hembuskan pentingnya hutang untuk pembangunan.
Jokowi paham
akan posisi ini. Sehingga ketika JICA dan Bank Dunia mencla-mencle,
dengan mengajukan setumpuk persyaratan yang berbelit-belit, Jokowi pun
meradang. Dia mengancam membatalkan proyek utang Bank Dunia senilai Rp 1,2
triliun untuk proyek JEDI. Bahkan sinyalemen menolak hutang luar negeri dari
JICA juga telah diangsurkannya secara eksplisit.
Pada titik ini,
Jokowi telah membalikan mitos dunia ketiga. Jokowi bergerak bukan lagi dalam
posisi setara apalagi subordinat. Jokowi menjadi pemegang kunci permainan.
Inilah yang disebut keberanian. Inilah yang disebut kemandirian.
Jakarta Baru, Indonesia Mandiri
DKI Jakarta itu provinsi yang kaya. APBD-nya Rp49,9 T. Kalaupun JICA dan Bank Dunia tidak membantu, Pemprov DKI Jakarta masih sanggup melanjutkan pembangunan MRT dan JDI. Apalagi, Sisa Anggaran (Silpa) Pemprov DKI Jakarta dari periode pemerintahan sebelumnya, masih sebesar Rp 10 triliun. Para pengembang masih berhutang kepada Pemprov DKI Jakarta untuk membangun 680 rumah susun (rusun) di Jakarta. Jika dirupiahkan, hutang itu mencapai Rp 13 triliun. Kepercayaan diri ini yang menjadi ciri khas dari Jakarta Baru yang tengah Jokowi-Ahok bangun.
DKI Jakarta itu provinsi yang kaya. APBD-nya Rp49,9 T. Kalaupun JICA dan Bank Dunia tidak membantu, Pemprov DKI Jakarta masih sanggup melanjutkan pembangunan MRT dan JDI. Apalagi, Sisa Anggaran (Silpa) Pemprov DKI Jakarta dari periode pemerintahan sebelumnya, masih sebesar Rp 10 triliun. Para pengembang masih berhutang kepada Pemprov DKI Jakarta untuk membangun 680 rumah susun (rusun) di Jakarta. Jika dirupiahkan, hutang itu mencapai Rp 13 triliun. Kepercayaan diri ini yang menjadi ciri khas dari Jakarta Baru yang tengah Jokowi-Ahok bangun.
Jika ditarik lebih ke dalam, tindakan Jokowi adalah ekspresi perlawanan untuk menghentikan upaya pihak asing mengontrol dan mengintervensi kebijakan di Indonesia khususnya di DKI Jakarta. Tindakan itu merupakan upaya menegakkan kemandirian bangsa bagi kemakmuran rakyat dengan cara menolak intervensi asing melalui penyaluran utang luar negeri dan menghentikan dominasi modal asing dalam pengelolaan ekonomi di daerah. Ini mestinya menjadi contoh kepala daerah lain di Indonesia. Inilah prinsip kemandirian yang dibangun oleh founding fathers.
Kisah sukses
kemandirian sebagai landasan utama pembangunan bangsa dapat dilihat dari Cina.
Negeri Tirai Bambu ini menarik hutang luar negeri dan investasi asing untuk
mengakali kebutuhan fresh money dengan berhati-hati dan terkendali.
Berhati-hati karena Cina melangkah secara bertahap sehingga adaptif dan tahan
terhadap dinamika dan gelombang moneter yang datang dari luar. Fresh money itu
tidak dibuka ekstrim, melainkan diseleksi secara kreatif untuk kebijakan
ekonomi di Cina.
Terkendali
karena hutang dan investasi tersebut tidak masuk seolah-olah di ruang kosong,
melainkan tetap memperhatikan norma, kondisi sosial, institusi, dan aturan main
yang berkembang di negara tersebut. Sehingga unsur intern tetap menjadi penentu
bagaimana dan kemana dana asing tersebut harus dialokasikan.
Dengan kemandirian,
Cina tidak perlu menjadi pengemis hutang dan investasi asing. Justru lembaga
keuangan dan para investor yang berlomba-lomba meminta untuk menyalurkan
dananya ke negeri tirai bambu tersebut. Dan Cina tetap menjadi pemegang kunci,
sang ordinat.
Soekarno sempat berteriak “Go to hell with your aid!” kepada Amerika Serikat. Semangat kemandirian Soekarno terwujud di Cina.Dan kini, Jokowi telah kembali memulai perlawanan ini ini. Satu langkah besar demi satu perjalanan panjang. Semoga hal ini dapat menginspirasi para kepala daerah bahkan pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini dan menjadi momentum untuk menegakkan kemandirian dan kedaulatan bangsa.
Soekarno sempat berteriak “Go to hell with your aid!” kepada Amerika Serikat. Semangat kemandirian Soekarno terwujud di Cina.Dan kini, Jokowi telah kembali memulai perlawanan ini ini. Satu langkah besar demi satu perjalanan panjang. Semoga hal ini dapat menginspirasi para kepala daerah bahkan pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini dan menjadi momentum untuk menegakkan kemandirian dan kedaulatan bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar