Miris rasanya membaca pemberitaan media belakangan ini. Indonesia terus diayun-ayun dalam jebakan impor barang. Pada periode Januari-Juni 2012 contohnya, BPS mencatat 10 produk nonmigas menjadi penyumbang terbesar nilai impor Indonesia. Porsi 10 komoditas tersebut mencapai 64,97 persen dari total nilai impor.
Produk-produk
itu adalah : 1) Mesin dan peralatan mekanik; 2) Mesin dan peralatan listrik; 3)
Besi dan baja,; 4) Kendaraan bermotor dan bagiannya; 5) Bahan kimia organik; 6)
Plastik dan barang dari plastik; 7) Kapal terbang dan bagiannya; 8) Barang dari
besi dan baja; 9) Serealia, dan 10) Pupuk.
Namun Indonesia
bukan hanya negara pengimpor produk manufaktur dan olahan. Kita juga bangsa
mengimpor produk hasil bumi. Pada produk-produk yang bersentuhan langsung
dengan urusan perut semacam inilah publik baru berteriak. Garam, gula, kedelai,
bawang, daging adalah kasus produk impor teranyar yang menjadi pembicaraan
publik. Ironis memang, mengingat indonesia yang kaya SDA dan jumlah penduduk
nomor 4 di dunia.
Komprador + Kekuatan Asing
Sudah jamak
jika negara miskin produksi adalah negara pengimpor sejati. Namun, kondisi ini,
meminjam istilah Syahrini, tidak cetar membahana badai dengan sendirinya. Ada
disain kekuatan asing yang meminjam tangan-tangan komprador anak bangsa kita
sendiri. Sebab dalam proses impor itu tersedia begitu banyak komisi. Para
komprador itu menarik komisi dari uang jasa legalisasi impor. Kendati hal itu
berarti menjual derita bangsa sendiri.
Pihak asing
tentu membiarkan praktik ini. Mereka juga berkepentingan. Impor barang bermakna
bertambahnya devisa negara produsen. Perluasan pasar ke Indonesia artinya
pembukaan lapangan kerja, suntikan efektif bagi peningkatan perekonomian di
negara produsen.
Sehingga segala
gerakan anak bangsa Indonesia menuju bangsa produksi selalu dijegal. Apa saja
yang berbau kata nasional selalu dihambat. Ingat nasib industri strategis
Indonesia seperti pesawat terbang, kapal dan terakhir mobil nasional?
Para komprador
memiliki kekuatan. Mereka melakukan korupsi kekuasaan. Karena selain didukung
pihak asing, mereka juga tersebar di segala tempat pengambilan kebijakan negeri
ini. Mulai dari ekskutif, legislatif bahkan perhimpunan masyarakat.
Semangat berproduksi
Bangsa ini
bukan tak ingin menjadi bangsa produksi. Anak bangsa Indonesia bukan tak mau
mengolah potensi alam dan SDM-nya menjadi bernilai tambah. Para pendiri negara
ini telah meletakan arah pembangunan negara kita pada rel produksi.
Ketika negara
ini masih menjadi bayi, Soekarno telah mengirimkan anak-anak bangsa yang cerdas
untuk belajar teknologi ke negara-negara maju. Hal ini dilakukan agar sumber
daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Rencananya, modal asing
baru dibiarkan masuk Indonesia sekitar 1980-an.
Soekarno adalah
sosok presiden yang paling gencar untuk merevisi kontrak pengelolaan minyak
oleh asing di Indonesia. Sebanyak 60 persen dari keuntungan perusahaan minyak
asing menjadi jatah pemerintah.
Sejarawan Asvi
Marwan Adam, bahkan menyebut keberadaan arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat
di Jakarta tentang rapat pada 15 Desember 1965 yang dipimpin Chaerul Saleh di
Istana Cipanas guna menasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.
Teknologi Produksi adalah Kunci
Sayangnya,
semangat berproduksi ini tergerus pada masa orde baru, dan porak-poranda di era
reformasi ini. Tiga puluh tahun belakangan ini, para mahasiswa Indonesia di
luar negeri enggan mendalami jurusan berbau teknologi dan produksi. Mereka
cenderung mendalami ilmu keuangan, pemasaran dan penjualan, serta komunikasi.
Pihak asing pun
turut mendukung. Silakan lacak beasiswa-beasiswa yang digulirkan oleh
universitas-universitas di kawasan barat dunia. Jurusan teknologi dan produksi
jarang sekali disebut.
Kondisi berbeda
terjadi di Jepang, Korea, Cina, dan Malaysia. Para mahasiswa dikirim ke luar
negeri untuk mendalami teknologi, kedokteran dan manajemen operasi. Ranah ilmu
yang bersentuhan langsung dengan produksi. Walhasil, mereka pun menjadi bangsa
produksi.Bandingkan wajah negara-negara itu dengan Indonesia kekinian.
0 komentar:
Posting Komentar