Badan Pusat Statistik (BPS) akhirnya merilis kondisi
kemiskinan di Indonesia. Tercatat per Maret 2015 terjadi kenaikan jumlah
penduduk miskin di Indonesia menjadi 28,59 juta jiwa. Angka ini naik 310 ribu
jiwa dari Maret 2014 yang mencapai 28,28 juta jiwa.
Kenaikan jumlah orang miskin ini
sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya, perekonomian nasional di
era Jokowi-Jusuf Kalla memang cenderung tidak stabil. Banyak kebijakan
pemerintah yang gagal mengungkit bahkan menjaga daya beli masyarakat.
Ambil contoh kebijakan menaikan
harga BBM, gas elpiji dan listrik, tanpa kebijakan bernas untuk mengantisipasi
melambungnya kebutuhan bahan pokok. Penyaluran raskin dan Bantuan Langsung
Tunai (BLT) tertunda akibat pemerintah
lambat mengatur belanja. Hal ini diikuti dengan gelombang PHK yang menurut
catatan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mencapai sekitar 26 ribu buruh.
Belum lagi melemahnya daya tukar rupiah terhadap dollar USA hingga mencapai
kisaran 14 ribu-an.
Dalam konteks ini menjadi
menarik, meskipun wacana ini sudah tergolong usang, mendiskusikan kritik garis
kemiskinan BPS yaitu pengeluaran US$ 0,79 per kapita perhari. Kendati demikian, sejak jauh-jauh hari para
ekonomi sejatinya menyarakan agar Indonesia menggunakan indikator Bank Dunia,
yaitu US$ 2 per kapita perhari. Jika indikator Bank Dunia yang digunakan sudah
pasti jumlah penduduk miskin di Indonesia akan jauh lebih besar dari jumlah
yang dipublikasikan BPS.
Terkait statistik ini pula, sebuah
artikel Business Insider telah menempatkan Indonesia sebagai negara paling
“sengsara”. Indonesia berada di posisi 17 dari 21 negara yang diteliti, yaitu
sedikit di atas Brasil, Rusia dan Spanyol. Indikator yang digunakan adalah
indeks sengsara (misery index)-nya ekonom
Arthur Okun yang menghitung berdasarkan tingkat pengangguran dan inflasi suatu
negara. Semakin tinggi angkanya, semakin sengsara negara tersebut. Logikanya
adalah seseorang akan sengsara karena
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya akibat tidak memiliki pekerjaan dan
harga barang terus meningkat.
Jika penderitaan masyarakat Spanyol
terkait perihal pengangguran, maka Rusia dan Brasil lebih karena inflasi yang meningkat
tinggi. Sedangkan penderitaan masyarakat
Indonesia terkait dengan keduanya, yaitu angka pengangguran dan tingkat inflasi
yang cukup besar. Dengan alasan yang bertolak belakang, Switzerland, Taiwan dan
Japan dinobatkan sebagai negara yang paling tidak menderita karena memiliki
tingkat penganguran dan inflasi yang rendah.
Sebagai catatan, memang ada beberapa
kritik terkait misery index. Beberapa studi yang menyebut tingkat penganguran
membawa pengaruh yang lebih besar atas ketidakbahagiaan ketimbang inflasi. Jika
menggunakan studi ini artinya Spanyol, Itali, Francis, dan Polandia lebih
sensara dari Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar