Revisi UU KPK, PDIP Coba Telikung Jokowi?

Menarik menyikap usulan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Prolegnas prioritas tahun 2015. Bukan sekadar karena tahun kerja 2015 tinggal sekitar dua bulan lagi, tetapi karena para pengusul mayoritas berasal dari kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Total anggota DPR pengusul sendiri adalah 45 orang.
Hitung-hitungan pengusul yang notabene tergabung dalam KIH  berjumlah 34 anggota DPR yang terdiri dari Fraksi PDIP 15 orang Fraksi nasdem 11 orang dan fraksi hanura 3 orang. Fraksi PKB 2. Lalu dari kelompok Koalisi Indonesia Hebat berjumlah 14 anggota DPR yaitu Fraksi Golkar 9 orang dan Fraksi PPP 5 orang.
Usulan ini menarik, pasalnya pada Juni lalu, Jokowi telah bertegas-tegas menolak rencana dan usul revisi UU KPK. Penolakan tersebut karena Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ditujukan untuk kementerian, lembaga dan pemerintah daerah, dimana KPK akan tetap membantu dalam pengawasannya.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrachman Ruki, Jokowi tidak memiliki keinginan untuk melemahkan KPK. Karena itu, revisi UU KPK ditolak Jokowi.
Meskipun usulan ini tidak menggunakan embel-embel fraksi, mengingat pengusulnya mayoritas anggota DPR dari KIH, tetap bak menampar wajah Jokowi. KIH sudah distigmakan dengan Jokowi-JK. Artinya setiap komponen KIH, mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah, diharapkan bisa mendukung program-program pemerintah. Bukannya justru menjadi tukang recok.
Perlu dicatat bahwa aktivitas anggota DPR bukan sekadar mewakili rakyat yang memilihnya. Dalam banyak kasus, gerak-gerik anggota DPR bukan didorong oleh masalah pribadi/ sukarela yang diselesaikan berdasarkan pada kombinasi pandangan atau prioritas anggota DPR secara individu serta loyalitas pada parpol. Fraksi di DPR bukanlah pratana otonom yang bergerak atas usulan para anggotanya.
Sebaliknya, Fraksi di DPR sejatinya merupakan kepanjangan tangan parpol. Melalui fraksi-lah, parpol masuk dalam gelanggang penyusunan UU, penentuan APBN, serta pengawasan pemerintah. Sejarah DPR mencatat para legislator yang menentang kebijakan fraksi DPR, cq parpol, yang kemudian disaksi rotasi komisi, dicopot dari jabatannya pada alat kelengkapan DPR, bahkan dikenakan PAW.
Jika ditelisik lebih mendalam, fenomena ini bisa dilihat pada dua prespektif. Pertama, terjadi kreatifitas destruktif di tubuh aktivis KIH di DPR terhadap orientasi dukungan terhadap pemerintah Jokowi-JK. Jika hal ini yang terjadi, artinya Fraksi DPR, dan jika ditarik lebih ke atas, parpol yang tergabung dalam KIH telah kecolongan. Pasalnya, jarak 4 bulan, Juni-Oktober, tidaklah terlalu jauh sehingga anggota DPR pengusul revisi UU KPK tersebut bisa silap. Terlebih jika mengingat para anggota DPR telah dibekali oleh 5 tenaga ahli yang bertanggungjawab memberikan supporting atas kerja-kerja mereka.
Kedua, fenomena ini adalah skenario test the water yang digawangi oleh parpol sendiriAda gerakan senyap, sebuah kesepakatan bersama untuk merevisi UU KPK di tubuh parpol. Bagaimanapun, sejarah penegakan hukum terhadap koruptor tidak pernah pandang bulu. KPK telah menjerat para politisi parpol korup, baik di KIH maupun KMP.

Dan ternyata, informasi terbaru sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto, revisi UU KPK ini adalah atas perintah dari komandan tertinggi di PDIP. Siapa lagi kalau bukan Megawati Soekarno Putri?
Namun, mengingat gugatan publik dan demi menjaga citra pemerintah, parpol melakukan ‘nabok nyilih tangan’. Secara sengaja, para anggota DPR dikerahkan tetapi dengan seragam individualPara pengusul ini adalah pion-pion yang bertugas untuk test the water, menguji sejauh mana perhatian publik terhadap revisi UU KPK ini.
Jika respon public hanya samar-samar, maka agenda ini akan dimajukan dalam lingkup Fraksi- DPR. Tetapi jika kemudian gagal, maka fraksi akan pura-pura kecolongan, lalu memberikan sanksi terhadap pion-pion ini untuk menenangkan masyarakat.
Jika berhasil, para pion akan diganjar penghargaan. Jika gagal, tidak pula ‘rugi-rugi amat’. Paling-paling mereka cuma akan dikenakan sanksi teguran. Apakah pion-pion tidak akan merugi dalam konteks citra di masyarakat. Ya, mereka akan menderita kerugian. Tetapi bukankan masyarakat Indonesia suka lupa? Bukankah pemilu 2019 masih lama waktunya?
Lantas, apa yang harus dilakukan masyarakat? Jika Anda merasa revisi UU KPK ini akan melemahkan KPK, tentu saja harus menyuarakan penolakan. Banyak cara yang bisa dilakukan. Dan selemah-lemahnya iman adalah dengan ber-medsos ria. Petisi Change dan kampanye di facebook dan twitter bisa jadi pilihan. Sudah saatnya kita hentikan perang hastek tak bermutu di twitter dimana penyerang dan pendukung Jokowi adalah akun-akun yang ‘itu-ke itu’ saja.

*pernah dimuat di gerilyanews dan kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar