Pemerintah Tumpul, Pengawasan DPR Reaktif dan Rakyat Gonjang-Ganjing


Sepanjang dua hari lalu, setahun DPR periode 2014-2019 dilantik menjadi isu yang mewarnai media massa.  Pada dasarnya ada dua kesimpulan besar di sana. Pertama, DPR seolah asyik dengan dirinya sendiri. Perihal yang disebut sebagai ‘asyik dengan dirinya sendiri’ tersebut diantaranya adalah  usulan dana aspirasi Rp 11,2 T, rencana 7 mega proyek pembangunan DPR, paranoid keamanan yang mendorong pengetatan sistem kunjungan rakyat ke DPR termasuk usulan polisi parlemen, kunker ke luar negeri, kasus-kasus dugaan pelanggaran etik di MKD, dan lainnya
Kedua, kinerja legislasi DPR memang mengenaskan. Dalam setahun ini, dari 37 Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, tak satu pun yang telah disahkan DPR. Baru tiga RUU yang mulai diharmonisasi di Badan Legislasi DPR. Sedangkan tiga UU yang telah disahkan adalah hasil periode sebelumnya, yaitu Perpu Pilkada dan Perpu Pimpinan KPK serta revisi UU MD3.
Dua hal ini memang menyedihkan. Tetapi ada satu fungsi DPR yang kemarin kurang disorot yaitu pengawasan. Mengapa pengawasan penting? Karena, sebagaimana penyakit klasik di negeri kita, implementasi kebijakan pemerintah sering morat-marit di lapangan. Dibutuhkan ‘palu’ DPR untuk meluruskan kembali operasional kebijakan pemerintah agar bisa terlaksana sesuai dengan yang ditargetkan.
Tentu saja banyak faktor yang membuat kebijakan pemerintah melempem pada tatanan implementasi. Tidak semua kesalahan ada di sisi internal pemerintah, faktor eksternal –seperti perekonomian dunia dan hukum internasional turut mempengaruhi. Tetapi minimal dengan pengawasan yang baik kemelempeman ini bisa diminimalisir.
Apakah setahun ini pengawasan DPR terhadap pemerintah kurang? Tidak jika kita bicara di sisi hilir. Setahun ini, dan sebenarnya sama dengan periode-periode sebelumnya, pengawasan DPR relatif bersifat reaktif. Ketika terjadi kasus-kasus yang meresahkan masyarakat, akibat kemelempeman pemerintah ini, DPR baru turun tangan.  Googling saja, dan kita akan temukan beragam aksi heroik yang dilakukan DPR untuk menanggapi isu-isu yang membuncah di public..
Jika persoalan legislasi ada pada posisi hulu, maka pengawasan reaktif ini ada pada posisi hilir. Lantas bagaimana ditengahnya? Yang saya masuk di tengah ini adalah mencegah sebelum kasus-kasus yang meresahkan masyarakat tersebut muncul. Ambil contoh kasus pembakaran hutan dan lahan.
Mengutip penyataan MS. Kaban, mantan Menhut di era SBY, kasus pembakaran hutan dan lahan adalah kejadian rutin tahunan. Persoalannya ada pada perusahaan-perusahaan yang dengan sengaja membakar  hutan dan lahan, dan juga tumpulnya hukum sehingga kelompok pengusaha hitam ini selalu saja bisa mengulangi aksinya.
Saya tidak percaya, pemerintah era Jokowi-JK tidak punya strategi untuk mencegah kejadian ini terulang. Yang saya yakini adalah Jokowi-JK gagal mengimplementasikan strategi tersebut dengan paripurna, sehingga bencana kabut asap kembali terulang. Kegagalan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh tumpulnya hukum, rendahnya pengawasan pemerintah, serta lemahnya sinergi antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah (Pemda). Peran Pemda  menjadi penting karena semangat  otonomi daerah sesungguhnya telah menisbatkan Pemda sebagai ujung tombak dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan. Tapi lagi-lagi kita kecolongan.
Pada posisi inilah sesungguhnya fungsi pengawasan DPR harus hadir. Kejelian DPR dalam membaca masalah dan ketegasannya dalam memberikan masukan-masukan menohok agar strategi pemerintah tersebut tidak melempem. Intinya, DPR, dan sekaligus pemerintah, harus meninggalkan predikat pemadam kebakaran. Pencegahan lebih bermanfaat ketimbang bersikap heroik dalam penanganan. Jika strategi pemerintah sudah tumpul di lapangan, sedang DPR kipas-kipas cari angin ke luar negeri, tentu saja pencegahan muskil tercapai maksimal.
Kembali ke laptop. Salah satu fungsi pengawasan DPR yang terpenting saat ini adalah memegang janji Menaker Hanif Dhakiri bahwa PHK ada solusi terakhir yang akan dilakukan perusahaan dalam mengatasi perekonomian yang sedang gonjang-ganjing ini. Saat ini gelombang PHK, dengan data yang kian tidak jelas, sedang menghantam angkatan kerja Indonesia. Pertanyaannya, apakah DPR akan kembali membiarkan pemerintah berkubang lumpur untuk menepati janjinya tersebut? Atau DPR mau terjun payung, mengawasi serta memberikan masukan bernas atas segenap kerja-kerja pemerintah untuk mencegah gelombang PHK?
Jika DPR masih juga memakai seragam pemadam kebakaran, bulan November mendatang, ketika buruh akan kembali turun untuk menuntut kenaikan UMR 2016, maka kondisi perekonomian Indonesia akan semakin gonjang-ganjing.

0 komentar:

Posting Komentar