Kali kedua bertemu Bang
Harry, demikian sapaan saya untuk Harry Azhar Azis, ketika saya mendampingi Eko
Sarjono Putro, anggota DPR dari Fraksi Golkar. Ruang kerja bos saya berada di
dekat mulut koridor, bertetangga dengan Nurul Arifin. Sementara ruang kerja
Bang Harry ada di sudut, berhadapan dengan ruang Nusron Wahid.
Waktu itu saya acap
melihat Bang Harry mondar-mandir di koridor. Nyaris setiap hari. “Sepuluh
menit sebelum jam sidang, Pak Harry pasti sudah hadir di ruangan,” kata Simon,
rekan TA yang sudah berkutat di gedung parlemen sejak tahun 1999.
Anggota DPR yang giat
bersidang relatif jarang. Kebanyakan pakai prinsip ala Fahri Hamzah -kehadiran
untuk voting right, hadir untuk mengambil keputusan. Barangkali pernyataan
Fahri lebih untuk mendongkrak citra para koleganya di DPR. Dalam beberapa
sidang di Komisi II, saya menemukan Fahri Hamzah diperbantukan oleh FPKS.
Yang jelas, Bang Harry
jauh dari demikian. Sejak jadi anggota DPR biasa, ia ogah titip absen. Ia
bersidang bukan untuk “dihitung” melainkan mewarnai, terlibat penuh dalam
perumusan perundang-undangan. Sesuai dengan amanahnya sebagai anggota DPR.
Belakangan juga saya
ketahui, Bang Harry adalah anggota DPR yang tidak pernah dipanggil KPK. Baik
saat menjabat Wakil Ketua Komisi XI, atau ketika mengemban amanah sebagai Ketua
Banggar DPR.
Ketika Bang Harry
gagal terpilih pada pileg 2014, semua orang terkejut. Kepri adalah kampung
halamannya. Perjuangan Bang Harry untuk membangun propinsi pemekaran Riau itu
sudah dirintis sejak 2004, mungkin lebih jauh lagi.
Muncul desas-desus
kalau gugatan Bang Harry akan dikabulkan MK. “Ada saksi kuat,” begitu kabar
burung itu berembus. Tetapi Bang Harry tidak mau ambil pusing. Ketika para
anggota DPR yang gagal terpilih kembali seolah raib dari gedung senayan, Bang
Harry malah kian asyik menuntaskan masa akhir tugasnya. Amanah sampai akhir.
Barangkali karena integritasnya ini, Tuhan kemudian memberikan Bang Harry
amanah baru, Ketua BPK RI.
Jadi ketika Uda Indra
J. Piliang mengajak saya untuk terlibat dalam tim penulisan biografi Bang
Harry, bersama Revi Marta Dasta dan Ahan Syahrul, saya langsung membuka laptop.
Saya teringat ungkapan Toni Morrison, perempuan kulit hitam pertama AS yang
menerima Nobel Sastra (1993). Ia menyebut –jika tidak ada buku yang
hendak kau baca, maka tulis sendiri. Barangkali ini yang memotivasi Uda Indra.
Empat dekade menjadi aktivis, begitu Bang Harry selalu menyebut dirinya, belum
ada buku khusus yang mendedah sisik-melik kehidupannya.
Bila ditarik ke kisah
hidupnya, siapa sangka Bang Harry pernah berjualan kue dan menjadi pengambil
bola tenis untuk membantu beban hidup keluarga. Ketika itu ia masih berseragam
merah-putih. Ia pun sempat beberapa kali memohon maaf kepada kondektur bis
karena kehabisan ongkos saat pulang sekolah. Alumnus penjara kampus kuning di
era Soeharto, yang penuh siasat menghadapi desakan agar HMI menerima asas
tunggal Pancasila, ternyata takut ditolak cintanya oleh Amanah Abdulkadir, yang
kini menjadi ibu dari ketiga anaknya.
Ketika sekolah di
Amerika Serikat, sesuatu yang mewah dalam kacamata orang kebanyakan, Bang Harry
sekeluarga malah hidup miskin. Ia pernah kelimpungan mencari biaya
persalinan sang istri. Siapa sangka, Doktor jebolan Oklahoma State
University ini sempat hampir dicabut visa belajarnya, karena nilainya anjlok.
Siapa pula yang menyangka Bang Harry pernah menggugat Pemerintah Oklahoma AS
demi menegakan tradisi Islam yang diyakininya?
Banyak nian cerita
seru yang meluncur dari mulutnya. Seorang aktivis yang ketika berusia 31 tahun
menolak jadi caleg DPR nomor jadi demi belajar ke AS. Salah satu pemikiran Bang
Harry yang mengena di hati saya : “Ilmu ekonomi sudah bisa menjawab pilihan
rasional, tetapi belum mampu menjelaskan keserakahan, greedy.”
Keserakahan hanya bisa
diatasi dengan penegakan hukum dalam suatu sistem, dengan nilai-nilai dalam
budaya. Karenanya Bang Harry jika sudah bicara penegakan hukum dan pendidikan
akan pecah semangatnya. Tidak boleh penegakan hukum pilih kasih. Pendidikan
yang menerapkan peraturan dan nilai-nilai harus dijunjung tinggi. Keduanya harga
mati.
Salah satu wujud
komitmennya di bidang pendidikan adalah ketika menjabat Ketua Banggar DPR, ia
melobby Kementerian Keuangan untuk mengalokasikan dana abadi pendidikan,
sekarang dikelola Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP).
Omong-omong perihal
greedy, salah satu yang berkesan adalah ketika saya mewawancai Bang Harry di
Hotel Crown. Ia baru selesai meeting IDI-TPDMA. Kami bertemu di kamarnya, kamar
kelas standar – tanpa sofa atau ruang menerima tamu. Jadi kami mengobrol di
meja kerja kecil, dengan tiga kursi, tepat di depan ajudannya yang tegak di
samping ranjang. Saya tidak tahu aturan protokoler pejabat negara, tetapi
sebagai pemimpin lembaga tinggi negara –setara dengan Presiden dan Wapres,
bukankah Bang Harry bisa mengambil kamar kelas suite room atau presidential
room?
Bang Harry cuma
terkekeh. “Rumah saya di seberang (Jl. Widya Chandra), ngapain negara harus
bayar kamar mahal-mahal.” Saya tidak mengira ia akan menjawab sesederhana itu.
Yang jelas, ketika ambil pamit, ponsel saya tertinggal. Saya mengirim
SMS, menanti sembari bersholat magrib. Menjelang Isya, SMS saya berbalas.
Bang Harry nyengir sembari berkata, “Maaf, saya shalat, jadi gak lihat HP.”
Belakangan saya baru
tahu ritual khusus ini. Ia terbiasa berdzikir sehabis shalat magrib. Dan ketika
itu, sebisa mungkin Bang Harry ingin berlepas dari titel keduniawiannya. Ketika
itu ia ingin bersungguh-sungguh menghambakan diri kepada sang Khalik.
Hari ini usia Bang
Harry genap 60 tahun. Saya membayangkan tengah malam tadi, Bang Harry terbangun,
mengambil wudhu dan membentangkan sajadah, lalu berdoa: “Seiring bergantinya
almanak, anugerahkanlah hamba kekuatan untuk terus memegang kunci ridho-Mu
-amanah, keikhlasan dan kesabaran serta bisa mengambil benderang hikmah dari
segala kejadian.”
Barangkali penyerahan
ini yang membuat Bang Harry selalu energik di sela-sela kesibukannya memastikan
keuangan negara telah digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Ia
memelopori agar audit keuangan negara ke depan bukan sekadar di tahap implementasi,
tetapi masuk ke ranah perencanaan.
Menjelang shubuh,
tetapi bukankah bagi para aktivis hari selalu pagi? Seorang pengabdi tidak
pernah melihat terbenamnya matahari. Tugas seorang aktivis adalah bergerak.
Darma seorang pengabdi adalah berbuat. Dilema boleh datang tetapi keputusan
wajib dijalankan. Biar hakim sejarah yang menilai. Biar para malaikat yang
mencatat.
0 komentar:
Posting Komentar