Tingginya kuantitas penduduk jika tidak diimbangi ketersediaan lapangan
kerja dan peningkatan kualitas SDM, dapat menjadi faktor penghambat
pembangunan ekonomi suatu negara. Indonesia kekinian mengalami kondisi
ini. Pertumbuhan angkatan kerja jika tidak dimbangi dengan pertumbuhan
investasi pembukaan lapangan kerja akan mengakibatkan penggangguran.
Data BPS (2009) mencatat jumlah angkatan kerja Indonesia telah
mencapai 113,74 juta, dan 9,26 juta orang diantaranya adalah
pengangguran. Pekerja Indonesia itu didominasi kalangan berpendidikan SD
ke bawah 55,43 juta orang (53,05 %).
Padahal pekerja yang berpendidikan Diploma I/II/III dan sarjana
hanya mencapai 2,68 juta orang (2,56%) dan 4,22 juta orang (4,04%). Data
ini menggambarkan kalau struktur pekerja Indonesia masih didominasi
kalangan kurang terdidik. Kualitas SDM yang rendah membuat angkatan
kerja Indonesia cenderung berperan sebagai buruh, sementara struktur
manajemen umumnya ditempati para pekerja asing.
Fenomena ini dikuatkan dengan data Ditjen. Binapenta,
Depnakertrans, yang mencatat per Desember 2008 tenaga kerja asing yang
bekerja di Indonesia telah mencapai 83.452 orang, Komposisi utamanya
adalah profesional (38,70%), teknisi (20,6%) dan manager (17,31%).
Ironisnya jenis pekerjaan pekerja Indonesia masih didominasi buruh
pertanian (41,3%) dan buruh produksi (25,2%). Pekerja yang berstatus
tenaga profesional-teknisi apalagi manajer hanya 4,65% dan 0,63%.
Fenomena ini membuat Amien Rais pernah mengklaim kalau saat ini
Indonesia telah bergerak pasti menjadi bangsa kuli.
Tingginya tingkat pengangguran dan kualitas SDM yang rendah membuat
ketergantungan buruh terhadap perusahaan kian besar. Kondisi ini
diperparah dengan adanya tekanan perusahaan multinasional.
Yustika (2006) menyebut kalau operasi perusahaan multinasional
hanya menjadikan negara berkembang sebagai tempat pencarian bahan baku,
menyerap tenaga kerja murah, dan menjual produk; sementara profitnya di
bawah ke negara asal (repatriasi).
Faktanya salah satu ciri utama kapitalis memang mengganggap
kepemilikan kekayaan yang dipercepat, produksi maksimal dan pemenuhan
keinginan (want) menurut preferensi individual sebagai dasar pencapaian
kesejahteraan manusia.
Implikasi logis dari anggapan itu adalah pentingnya meminimalisasi
input (penurunan biaya faktor produksi) dan perluasan pasar. Dengan
kemapanan manajemen dan modal, maka faktor produksi yang mesti lekas
dikuasai negara-negara maju adalah sumber daya alam dan tenaga kerja.
Kedua faktor ini mengkerdilkan peran negara sebagai institusi
terkuat untuk mendorong kesejahteraah kalangan buruh. Pemerintah
digiring untuk menjadi suplier infrastruktur yang memungkinkan para
kapitalis dapat melakukan proses produksi dan distribusi barang/jasa,
menyediakan jasa keamanan untuk melindungi pasar (market), dan menekan
pekerja agar bersedia dibayar dengan upah murah.
Pecah-belah dan Hancurkan
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara implisit
sarat dengan intervensi kekuatan multinasional. UU ini mengindikasikan
arah kebijakan pemerintah untuk lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya
masalah perburuhan pada mekanisme pasar. Turunan dari semangat
neoliberal ini adalah semakin minimnya peluang untuk mensejahterahkan
kalangan buruh. Akibatnya legalisasi praktik buruh kontrak dan
outsourcing, pengebirian peranan serikat buruh, dan kebijakan upah murah
menjadi marak terjadi.
Saat ini umumya perusahaan-perusahaan di Indonesia telah
memanfaatkan buruh kontrak dan outsorching. Studi Puslitbang
Depnakertrans (2008) di 9 provinsi dan 14 kota/kabupaten menemukan 24,68
% perusahaan memperkerjakan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT), 10,76% memperkerjakan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT), dan 64,56% memperkerjakan keduanya.
Sistem buruh PKWTT dinilai akan mampu menggerakan roda industri
secara dinamis. Tuntutan untuk bersaing secara global telah memaksa
pengusaha mengefisiensikan biaya untuk menjaga stabilitas proses
produksi.
Para pengusaha menuding sikap mental buruh masih kurang baik dan
buruh tidak bekerja dengan sungguh-sungguh karena hanya mencari
identitas kerja saja sehingga dikuatirkan tingkat keluar masuk buruh
akan tinggi. Akibatnya perusahaan tidak mampu memberikan pesangon.
Ironisnya, studi itu juga menemukan 4,43 % buruh PKWTT yang sudah
lebih dari 5 tahun. Bahkan ada yang sudah bekerja selama 18 tahun.
Temuan ini menggambarkan kalau perusahaan telah melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, stratifikasi buruh sebenarnya juga berperan sebagai
tameng para pengusaha untuk meminimalisir kekuatan kalangan buruh.
Kendati fasilitas dan tunjangan kerja secara peraturan
perundangan-undangan wajib sama, tapi realitasnya bertolak belakang.
Akibatnya perjuangan menuntut hak memiliki dampak yang berbeda.
Misalnya buruh tetap yang di-PHK akan mendapat pesangon, tetapi buruh
kontrak, apalagi outsorching, mesti gigit jari ketika kondisi yang sama
menimpa mereka.
Kebijakan statatifikasi buruh identik dengan strategi kolonial
Belanda. Penjajah membagi penduduk menjadi pelbagai strata yaitu
penduduk eropa, penduduk eropa peranakan, penduduk timur jauh (Cina,
Arab dan Hindia) dan terakhir penduduk pribumi. Setiap strata memiliki
hak dan kewajiban tersendiri, bahkan terkadang diisolasi dalam
pemukiman tersendiri.
Akibatnya semangat persatuan pun membuncah dalam tatanan parsial.
Karena itu wajar bila kalangan buruh kontrak lantas terpisah dengan
buruh tetap dalam memperjuangkan hak-haknya. Meskipun ikatan emosional
seidentitas cenderung menguat, tetapi dalam konteks perjuangan
sebenarnya terjadi penurunan daya tawar kaum buruh.
Bargaining power kalangan buruh akan kian menyusut bila dikaitkan
dengan tingginya tingkat penggangguran di Indonesia. Bila kalangan buruh
mencoba macam-macam maka ancaman pemecatan sudah di depan mata.
Tingginya tingkat pengangguran membuat perusahaan kian berani
memaksakan kehendak bisnisnya terutama perihal upah dan tunjangan buruh
yang rendah, jam kerja yang tinggi maupun hari libur yang kasip.
Para pengusaha sadar kalau tidak sulit mencari pengganti buruh yang
dianggap nakal, sebab angkatan kerja yang mau dibayar murah untuk
mengisi posisi dalam proses produksi masih banyak bertebaran di luar
sana.
Urgensi Serikat Buruh
Serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Dalam mencapai tujuannya itu, serikat buruh merupakan salah satu
komponen dari Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan Tripartit. Melalui
forum komunikasi dan konsultasi terkait hubungan industri di suatu
perusahaan itu, serikat buruh dapat menjadi artikulator aspirasi buruh.
Tetapi menjadi artikulator kalangan buruh saja tidak cukup. LKS
Bipartit dan Tripartit bukanlah ruang keadilan nurani melainkan
persilangan antara pelbagai kepentingan. Dalam kondisi non egaliter,
maka argumen-argumen apa pun yang dipaparkan dalam ruang itu akan sulit
mendokrak kesejahteraan kalangan buruh. Untuk mencegah terjadinya
eksploitasi maka bargaining power serikat buruh wajib setara dengan
pengusaha. Bargaining power kalangan buruh tidak identik dengan
kedekatan dengan pengusaha, melainkan terbentuk bila dari dukungan rill
kalangan buruh itu sendiri.
Secara formal, sebenarnya tindakan eksploitasi kalangan buruh sulit
untuk dilakukan. Ada hukum formal yang mengatur perselisihan hubungan
industrial. Tetapi sebagaimana kalangan wong cilik lainnya, tidak
seluruh buruh melek informasi apalagi yang memiliki kesadaran kritis.
Pada titik inilah sebenarnya kunci penguatan serikat buruh.
Serikat buruh dituntut mampu menanamkan kesadaran politik di
kalangan buruh. Bahwa tidak satupun hak kaum buruh dan masyarakat
tertindas lainnya yang diperoleh secara gratis, melainkan mesti direbut
dengan kekuatan sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.
Kesadaran itu akan bermuara pada dukungan rill kalangan buruh,
sehingga peranan sebagai artikulator juga akan dilengkapi dengan peranan
sebagai kelompok penekan bagi pengusaha. Dengan eksistensi kedua
peranan itu, maka posisi pengusaha dan serikat buruh dalam (LKS)
Bipartit dan Tripartit baru dapat egaliter. (Penulis adalah Wakil Sekjen
PB Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia/Gasbiindo)