68 TAHUN MERDEKA, SDM BANGSA MASIH TERTATIH


Menginjak 68 tahun Indonesia merdeka, ternyata daya saing global kita masih relatif tertinggal. Daya saing global Indonesia  berada di posisi 50 pada Global Competitiveness Index tahun 2012, dibandingkan dengan Singapore di posisi 2, Jepang di posisi 10, Malaysia di posisi 25, China di posisi 27, Korea Selatan di posisi 22, dan Thailand di 38.

Salah satu faktor penyebabnya, tentunya rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sebagai ilustrasi kita dapat melihat statistik ketenagakerjaan per Februari 2013, yang masih didominasi pekerja berkualifikasi pendidikan dasar yaitu sebanyak 74,9 juta orng (65,70%). Terdiri dari 54,6 juta orang (47,9%) tamat SD ke bawah, dan 20,3 juta (17,8%) tamat SD sederajat.

Fenomena ini sungguh ironis. Mengingat kemajuan suatu bangsa lebih ditentukan oleh kualitas SDM ketimbang kekayaan SDA. Kita dapat berkaca pada keberhasilan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Singapore, Taiwan yang lebih ditunjang oleh kualitas SDM-nya.

JEBAKAN IMPOR PARA KOMPRADOR


Miris rasanya membaca pemberitaan media belakangan ini. Indonesia terus diayun-ayun dalam jebakan impor barang. Pada periode Januari-Juni 2012 contohnya, BPS mencatat 10 produk nonmigas menjadi penyumbang terbesar nilai impor Indonesia. Porsi 10 komoditas tersebut mencapai 64,97 persen dari total nilai impor.

Produk-produk itu adalah : 1) Mesin dan peralatan mekanik; 2) Mesin dan peralatan listrik; 3) Besi dan baja,; 4) Kendaraan bermotor dan bagiannya; 5) Bahan kimia organik; 6) Plastik dan barang dari plastik; 7) Kapal terbang dan bagiannya; 8) Barang dari besi dan baja; 9) Serealia, dan 10) Pupuk.

Namun Indonesia bukan hanya negara pengimpor produk manufaktur dan olahan. Kita juga bangsa mengimpor produk hasil bumi. Pada produk-produk yang bersentuhan langsung dengan urusan perut semacam inilah publik baru berteriak. Garam, gula, kedelai, bawang, daging adalah kasus produk impor teranyar yang menjadi pembicaraan publik. Ironis memang, mengingat indonesia yang kaya SDA dan jumlah penduduk nomor 4 di dunia.

DONOR MENCLA-MENCLE, KE LAUT AJE #JAKARTABARU



Gubernur DKI Jakarta Jokowi  sedang disibukan oleh hutang. Pemasalahan ini berada pada dua posisi, yaitu sebagai representasi dari calon penghutang dan pihak penagih hutang. Uniknya  penyelesaian sosok yang digadang-gadang sebagai kandidat presiden masa depan ini berada di luar mainstream.

Dalam mewujudkan Jakarta Baru, Jokowi –Ahok tengah berkeringat mengatasi dua isu utama, yaitu kemacetan dan banjir. Isu transportasi diatasi melalui Mass Rapid Transit (MRT), sementara perihal penanganan banjir diredam dengan  Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) atau program pengerukan saluran, sungai, dan waduk.

Dua mega proyek inimembutuhkan dana sangat besar. Masuklah Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Bank Dunia sebagai lembaga keuangan yang siap menggelontorkan hutang .  Jokowi pun membuka peluang untuk bekerjasama.

PERAMPOK MAKAM


Aku meloncat ke bis Patas, jurusan Kampung Rambutan, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tambun Tanggerang. Hidup makin sulit, dan rezeki sudah tak dapat lagi dibatasi garis demarkasi wilayah.

Bertampang masam istriku membuka pintu rumah petak. Dia langsung ngeloyor ke dalam, sementara aku meredakan penat dengan selonjoran di sofa yang sudah koyak-moyak dan menjadi surga beranakpinaknya ratusan kepinding.

”Lho kok pahit, Dek?” Tanyaku setelah mereguk secangkir kopi.

Tampang istriku sontak selayak rok katun yang belum diseterika, ”aku punya tiga kabar buruk. Pertama, dapur kita tidak ngebul malam ini karena Mpok Markonah sudah menolak memberi hutang. Kedua, Si Rajib diusir gurunya akibat nunggak SPP tiga bulan. Terakhir, tadi pagi Pak Mahmud mengancam kita untuk siap-siap angkat kaki kalau pekan depan belum juga melunasi uang sewa rumah.”

PENGUATAN PERLINDUNGAN TKI



TKI merupakan salah satu permasalahan pelik bangsa ini. Pada sisi pertama, TKI adalah solusi konkrit mengatasi ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan pemerataan dan penyediaan lapangan kerja. Perekonomian nasional tidak mampu menyerap angkatan kerja yang pada Februari 2009 telah mencapai 113,74 juta orang dengan kuantitas penggangguran berjumlah 9,26 juta orang.

Faktanya dalam lima tahun terakhir penempatan TKI ke luar negeri terus meningkat hingga rata-rata per tahun mencapai 596.115 orang. Mereka tersebar di Malaysia dan Saudi Arabia, sisanya ke negara lain seperti Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Yordan Hongkong, Taiwan. Dengan kuantitas itu, TKI telah berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Remitansi mereka mencapai USD 8,24 milyar (2008) atau urutan pertama pada sektor jasa dan urutan ke-2 setelah penerimaan devisa migas. Remitansi itu juga berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga TKI yang diperkirakan berjumlah 16 juta orang. Besarnya kontribusi itu membuat TKI kerap disebut sebagai pahlawan devisa.

MENGERLING STRATEGI BISNIS SANG NAGA



“Meskipun anda belum pernah ke Cina, tapi yang pasti barang Cina pernah ada di tempat Anda, dan itu adalah realita”. Peter J Williamson, buku Dragon at Your Door (2007).

Dalam tiga dekade, semenjak Deng Xiao Ping menerapkan sistem ekonomi pasar terkelola di awal 1978, cakar-cakar naga telah terentang begitu jauh. Kini produk-produk Cina telah membanjiri pasaran dunia; USA, Eropa, Timur Tengah, Asia, termasuk Indonesia.

Dengan keunikannya, korporasi China sudah merambah industri-industrimass-market, termasuk pelbagai industri high-techdan specialty, sepertirefrigerator, container, berbagai mesin-mesin cetak dan lain-lain. Mulai dari teknologi tinggi yang menghasilkan X-Ray, seperti Zhongxing Medical yang berhasil memukul mundur General Electric dan Philips, HiSense yang telah menjadi pemasok terbesar perangkat TV di negara berkembang, hingga penghasil kereta bayi seperti Goodbaby.

SUARA-SUARA KEHIDUPAN


Ngiiiiiiiiiingggg…nguuuuuuuuuunggg...

Jerit speaker mesjid itu nyaring dan mengerikan, bukti kongkrit kalau gharinnya masih amatiran. Seketika itu juga Kartini, untuk beberapa saat, merasakan pening di kepalanya. Meski begitu dia tetap melorot turun dari dipan beralas karpet tipis yang telah sepuluh tahun belakangan menjadi pembaringannya.

Hati-hati dia menyalakan lampu minyak agar suaminya tidak terjaga. Listrik rumah kontraknya sudah dicabut sejak Manto dipecat tanpa pesangon, tepat enam bulan lalu. Untuk menyambung hidup, mantan buruh pabrik seng itu hanya bisa mengumpulkan gelas-gelas plastik dari tempat-tempat sampah dan menjualnya kepada juragan pengumpul.

Kartini mengangkat lampu minyak itu setinggi ketiak. Dia hendak ke belakang, tetapi berhenti mendadak ketika cahaya lampu minyak itu, tanpa sengaja, menyinari kepala suaminya. Lambat-lambat dia bergerak, memastikan kalau matanya belum lamur.

“Ya, Tuhan. Betapa cepatnya lelaki itu menua,” desah Kartini sedih. Marto tengah tertidur nyenyak, mungkin keletihan, sambil mendukung puluhan uban di bagian atas telinganya. Lekuk yang dalam kini menggaris di sepasang mata suaminya itu.

FTA DAN KESEJAHTERAAN PELAKU UMKM


Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah terbukti sebagai sektor usaha yang tahan banting. UMKM terbukti menjadi penyanggah perekonomian Indonesia ketika usaha berskala besar mengalami kerugian besar.

Bahkan, usaha skala besar tersebut berhenti berproduksi akibat krisis finansial melanda Asia di tahun 1997. Ketika krisis finansial global yang bermula di Amerika Serikat tahun 2008 mempengaruhi perekonomian Indonesia sampai saat ini UMKM tetap menjadi sumber penghidupan banyak orang.

Pada tahun 2008 tercatat 99,2 persen unit usaha di Indonesia tergolong UMKM. Selama periode 2002-2005 UMKM telah menyerap 96,7 persen dari total tenaga kerja nasional. Padahal usaha besar hanya berkontribusi rata-rata 3,3 persen terhadap total tenaga kerja nasional.

MAFIA HUKUM DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT KECIL



Belakangan ini Indonesia digoncang sengketa KPK VS Polisi, yang notabene merupakan simbolisasi masih mengakarnya praktik mafia hukum di negeri ini. Sebagian orang menilai kalau sengketa itu hanya merupakan keriuhan elit yang tidak berkorespondensi dengan kesejahteraan rakyat kecil. Padahal kegagalan penyelesain sengketa itu secara beradab akan berdampak secara tidak langsung dengan kesejahteraan buruh.

Sengketa antara KPK VS Polisi adalah salah satu puncak ketidakpastian hukum. Celakanya supremasi hukum merupakan salah satu pilar pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya mafia hukum bukan sekedar mafia kasus (markus), melainkan juga meliputi oknum-oknum internal kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun KPK itu sendiri.

Markus hanya bekerja bila pengusaha melakukan kesalahan-kesalahan pelik sehingga mesti diselesaikan melalui jalur hukum formal. Tetapi okum aparat hukum ranahnya lebih luas lagi. Mereka bukan sekedar mampu memperjualbelikan surat pemanggilan, status tersangka atau mengungkit-ungkit permasalahan yang sudah selesai. Mereka juga dapat berimajinasi tentang kasus-kasus yang bisa ditimpakan pada para pengusaha, bahkan meskipun para pebisnis itu tidak melakukan kesalahan apa-apa.

MEREKA BILANG KANGMAS KORUPSI



Aku tengah surfing di internet. Menjelajahi berita dan wacana pemberantasan korupsi. Dan hasilnya fantastic. Kucatat setidaknya ada tiga negara yang menerapkan proses hukuman menakjubkan bagi para koruptor. Cina menembak mati para koruptor, Arab menegakkan sanksi potong tangan, dan mereka dihukum minimal 15 tahun penjara di Amerika. Sesuatu yang teramat luar biasa bila terjadi di negeri yang identik dengan dagelan hukum seperti Indonesia.

Akh, aku mendengus, seperti David melawan Goliath. Mendadak ponselku berdering. Sebaris nama dari masa silam langsung menarik perhatian.  

“Gawat Dikmas! Gawat. Kasus yang dulu itu dibuka kembali. Sekarang statusku sudah menjadi tersangka,“  suara serak itu terdengar cemas nian.

ANONIMITAS PARTAI POLITIK


Pemilu bukan sekedar model partisipasi politik masyarakat, melainkan juga merupakan ajang balas dendam rakyat terhadap institusi politik. Parpol adalah institusi politik yang akan paling merasakan dampak ketidakpuasan tersebut. Faktanya, sejak Pemilu 2004, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja parpol makin menguat. Wujud kongkritnya adalah tingginya angka golput.

Data JPPR 2008 menyebutkan kalau 13 pemilu gubernur dari 26 Pilkada Provinsi sepanjang 2005-2008 dimenangi oleh golput. Jajak pendapat Kompas pada 13-14 Agustus 2008 juga mencatat 3 dari 4 responden (76,5%) menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja Parpol.

Sebelumnya survey LSI juga menempatkan parpol di level terendah sebagai wadah menyuarakan suara rakyat. Posisi teratas ditempati media massa (31 %), ormas (24 %), baru kemudian birokrat dan parpol dengan nilai 11%. Realitas kemudian memaksa parpol untuk berbenah. Ironisnya, pembenahan tersebut ternyata tidak menyentuh aras substansial bahkan malah membuat parpol kehilangan jatidirinya.

Kesejahteraan Buruh di Tengah Tekanan Globalisasi


Tingginya kuantitas penduduk jika tidak diimbangi ketersediaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas SDM, dapat menjadi faktor penghambat pembangunan ekonomi suatu negara. Indonesia kekinian mengalami kondisi ini. Pertumbuhan angkatan kerja jika tidak dimbangi dengan pertumbuhan investasi pembukaan lapangan kerja akan mengakibatkan penggangguran.

Data BPS (2009) mencatat jumlah angkatan kerja Indonesia telah mencapai 113,74 juta, dan 9,26 juta orang diantaranya adalah pengangguran. Pekerja Indonesia itu didominasi kalangan berpendidikan SD ke bawah 55,43 juta orang (53,05 %).

Padahal pekerja yang berpendidikan Diploma I/II/III dan sarjana hanya mencapai 2,68 juta orang (2,56%) dan 4,22 juta orang (4,04%). Data ini menggambarkan kalau struktur pekerja Indonesia masih didominasi kalangan kurang terdidik. Kualitas SDM yang rendah membuat angkatan kerja Indonesia cenderung berperan sebagai buruh, sementara struktur manajemen umumnya ditempati para pekerja asing.

Fenomena ini dikuatkan dengan data Ditjen. Binapenta, Depnakertrans, yang mencatat per Desember 2008 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia telah mencapai 83.452 orang, Komposisi utamanya adalah profesional (38,70%), teknisi (20,6%) dan manager (17,31%).

Ironisnya jenis pekerjaan pekerja Indonesia masih didominasi buruh pertanian (41,3%) dan buruh produksi (25,2%). Pekerja yang berstatus tenaga profesional-teknisi apalagi manajer hanya 4,65% dan 0,63%. Fenomena ini membuat Amien Rais pernah mengklaim kalau saat ini Indonesia telah bergerak pasti menjadi bangsa kuli.

Tingginya tingkat pengangguran dan kualitas SDM yang rendah membuat ketergantungan buruh terhadap perusahaan kian besar. Kondisi ini diperparah dengan adanya tekanan perusahaan multinasional.

Yustika (2006) menyebut kalau operasi perusahaan multinasional hanya menjadikan negara berkembang sebagai tempat pencarian bahan baku, menyerap tenaga kerja murah, dan menjual produk; sementara profitnya di bawah ke negara asal (repatriasi).
Faktanya salah satu ciri utama kapitalis memang mengganggap kepemilikan kekayaan yang dipercepat, produksi maksimal dan pemenuhan keinginan (want) menurut preferensi individual sebagai dasar pencapaian kesejahteraan manusia.

Implikasi logis dari anggapan itu adalah pentingnya meminimalisasi input (penurunan biaya faktor produksi) dan perluasan pasar. Dengan kemapanan manajemen dan modal, maka faktor produksi yang mesti lekas dikuasai negara-negara maju adalah sumber daya alam dan tenaga kerja.

Kedua faktor ini mengkerdilkan peran negara sebagai institusi terkuat untuk mendorong kesejahteraah kalangan buruh. Pemerintah digiring untuk menjadi suplier infrastruktur yang memungkinkan para kapitalis dapat melakukan proses produksi dan distribusi barang/jasa, menyediakan jasa keamanan untuk melindungi pasar (market), dan menekan pekerja agar bersedia dibayar dengan upah murah.

Pecah-belah dan Hancurkan
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara implisit sarat dengan intervensi kekuatan multinasional. UU ini mengindikasikan arah kebijakan pemerintah untuk lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya masalah perburuhan pada mekanisme pasar. Turunan dari semangat neoliberal ini adalah semakin minimnya peluang untuk mensejahterahkan kalangan buruh. Akibatnya legalisasi praktik buruh kontrak dan outsourcing, pengebirian peranan serikat buruh, dan kebijakan upah murah menjadi marak terjadi.

Saat ini umumya perusahaan-perusahaan di Indonesia telah memanfaatkan buruh kontrak dan outsorching. Studi Puslitbang Depnakertrans (2008) di 9 provinsi dan 14 kota/kabupaten menemukan 24,68 % perusahaan memperkerjakan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), 10,76% memperkerjakan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan 64,56% memperkerjakan keduanya.

Sistem buruh PKWTT dinilai akan mampu menggerakan roda industri secara dinamis. Tuntutan untuk bersaing secara global telah memaksa pengusaha mengefisiensikan biaya untuk menjaga stabilitas proses produksi.

Para pengusaha menuding sikap mental buruh masih kurang baik dan buruh tidak bekerja dengan sungguh-sungguh karena hanya mencari identitas kerja saja sehingga dikuatirkan tingkat keluar masuk buruh akan tinggi. Akibatnya perusahaan tidak mampu memberikan pesangon.
Ironisnya, studi itu juga menemukan 4,43 % buruh PKWTT yang sudah lebih dari 5 tahun. Bahkan ada yang sudah bekerja selama 18 tahun. Temuan ini menggambarkan kalau perusahaan telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, stratifikasi buruh sebenarnya juga berperan sebagai tameng para pengusaha untuk meminimalisir kekuatan kalangan buruh. Kendati fasilitas dan tunjangan kerja secara peraturan perundangan-undangan wajib sama, tapi realitasnya bertolak belakang.
Akibatnya perjuangan menuntut hak memiliki dampak yang berbeda. Misalnya buruh tetap yang di-PHK akan mendapat pesangon, tetapi buruh kontrak, apalagi outsorching, mesti gigit jari ketika kondisi yang sama menimpa mereka.

Kebijakan statatifikasi buruh identik dengan strategi kolonial Belanda. Penjajah membagi penduduk menjadi pelbagai strata yaitu penduduk eropa, penduduk eropa peranakan, penduduk timur jauh (Cina, Arab dan Hindia) dan terakhir penduduk pribumi. Setiap strata memiliki hak dan kewajiban tersendiri, bahkan terkadang diisolasi dalam pemukiman tersendiri.

Akibatnya semangat persatuan pun membuncah dalam tatanan parsial. Karena itu wajar bila kalangan buruh kontrak lantas terpisah dengan buruh tetap dalam memperjuangkan hak-haknya. Meskipun ikatan emosional seidentitas cenderung menguat, tetapi dalam konteks perjuangan sebenarnya terjadi penurunan daya tawar kaum buruh.

Bargaining power kalangan buruh akan kian menyusut bila dikaitkan dengan tingginya tingkat penggangguran di Indonesia. Bila kalangan buruh mencoba macam-macam maka ancaman pemecatan sudah di depan mata.

Tingginya tingkat pengangguran membuat perusahaan kian berani memaksakan kehendak bisnisnya terutama perihal upah dan tunjangan buruh yang rendah, jam kerja yang tinggi maupun hari libur yang kasip.

Para pengusaha sadar kalau tidak sulit mencari pengganti buruh yang dianggap nakal, sebab angkatan kerja yang mau dibayar murah untuk mengisi posisi dalam proses produksi masih banyak bertebaran di luar sana.

Urgensi Serikat Buruh
Serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Dalam mencapai tujuannya itu, serikat buruh merupakan salah satu komponen dari Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan Tripartit. Melalui forum komunikasi dan konsultasi terkait hubungan industri di suatu perusahaan itu, serikat buruh dapat menjadi artikulator aspirasi buruh.

Tetapi menjadi artikulator kalangan buruh saja tidak cukup. LKS Bipartit dan Tripartit bukanlah ruang keadilan nurani melainkan persilangan antara pelbagai kepentingan. Dalam kondisi non egaliter, maka argumen-argumen apa pun yang dipaparkan dalam ruang itu akan sulit mendokrak kesejahteraan kalangan buruh. Untuk mencegah terjadinya eksploitasi maka bargaining power serikat buruh wajib setara dengan pengusaha. Bargaining power kalangan buruh tidak identik dengan kedekatan dengan pengusaha, melainkan terbentuk bila dari dukungan rill kalangan buruh itu sendiri.

Secara formal, sebenarnya tindakan eksploitasi kalangan buruh sulit untuk dilakukan. Ada hukum formal yang mengatur perselisihan hubungan industrial. Tetapi sebagaimana kalangan wong cilik lainnya, tidak seluruh buruh melek informasi apalagi yang memiliki kesadaran kritis. Pada titik inilah sebenarnya kunci penguatan serikat buruh.

Serikat buruh dituntut mampu menanamkan kesadaran politik di kalangan buruh. Bahwa tidak satupun hak kaum buruh dan masyarakat tertindas lainnya yang diperoleh secara gratis, melainkan mesti direbut dengan kekuatan sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Kesadaran itu akan bermuara pada dukungan rill kalangan buruh, sehingga peranan sebagai artikulator juga akan dilengkapi dengan peranan sebagai kelompok penekan bagi pengusaha. Dengan eksistensi kedua peranan itu, maka posisi pengusaha dan serikat buruh dalam (LKS) Bipartit dan Tripartit baru dapat egaliter. (Penulis adalah Wakil Sekjen PB Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia/Gasbiindo)