S@GI BEDAH KITAB KUNO BUTON MUNA




Sang Gerilya Institute (S@GI) menggelar bedah buku “Nasihat Leluhur untuk Masyarakat Buton-Muna”  karangan Prof. La Niampe, pada Kamis, 15/1/2015, bertempat di D’consulate Cafe Jakarta. La Niampe adalah Guru Besar bidang kebahasaan di  Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.

Kegiatan ini dibuka resmi oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN dan RB) Dr. Yuddy Crisnandy. Bonnie Triyana (The Indonesia Institute) dan Oheo Sinapoy (budayawan lokal) bertindak sebagai pembedah buku, dengan dimoderatori oleh Indra J Piliang, Direktur Eksekutif S@GI. Berkesempatan hadir dalam acara tersebut Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam dan Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun. 

Dua kitab kuno menjadi sumber penulisan buku ini. Pertama, kitab “Kabanti Bula Malino” karangan Muhammad Idrus Qaimudin, sastrawan sufi yang pada usia 40 tahun mendapat amanah sebagai Sultan Buton. Sedangkan kitab “Kabanti Ajonga Yinda Malusa” dikarang oleh Syekh Haji Abdul Gainu, dikenal juga dengan nama Kenepulu Bula, seorang ulama sufi kelahiran Buton. Selain itu buku ini juga memuat naskah ”Silsilah Bangsawan Buton-Muna’ yang ditulis oleh Menteri Besar Buton awal abad ke-20.

RUU PRT DI NEGERI PEMADAM KEBAKARAN


Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah fenomena gunung es. Tetapi pemerintah masih bertindak seperti pemadam kebakaran. Ketika api berkobar besar, baru tunggang-langgang. Padahal model penyelesaian kasus per kasus dan bersifat kuratif jelas tidak menyentuh akar persoalan.

Sementara persoalan PRT kian kompleks. Bicara PRT tidak lagi sekadar upah, jam kerja, cuti, perlindungan kesehatan, keagamaan, atau keselamatan kerja seperti buruh industri umumnya.  Lebih dari itu, bicara PRT adalah juga bicara hak bersosialisasi, hak terbebas dari tindak kekerasan, dan hak atas rasa aman.

Data Jala PRT mencatat, pada 2014  telah terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Sebanyak 90 persen merupakan multikasus mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia, dengan pelaku majikan dan agen penyalur. Ironisnya, kasus-kasus tersebut mayoritas mencuat setelah para korban dalam kondisi tragis.

Selain itu, rendahnya pengaturan hukum juga berdampak masih banyaknya PRT anak-anak. Beban ekonomi telah merampas hak mereka untuk menikmati masa tumbuh berkembang, bermain, belajar dan mendapatkan kasih sayang. Padahal, PRT adalah salah satu pekerjaan terburuk bagi anak berdasarkan UU NO. 1 Tahun 2000 tentang Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dan tidak perlu riset khusus untuk mengetahui alasannya.

MASYUMI, PARPOL ISLAM DAN AHOK


Belum ada parpol Islam di Indonesia yang bisa membayangi Masyumi. Didirikan pada 7 November 1945, Masyumi mencoba menempatkan diri sebagai parpol penyatu kaum muslimin Indonesia dalam bidang politik. Pengaruh kuat Masyumi kentara pada Pemilu 1955, yang digadang-gadang sebagai pemilu terbersih. Masyumi sukses meraup 20,9 persen suara nasional, dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan. Dukungan terhadap Masyumi hanya terpaut tipis dari PNI-nya Bung Karno yang meraih 22,3 persen suara nasional.

Namun, kebesaran Masyumi bukan sekadar hasil pemilu. Kendati berumur pendek, sekitar 15 tahun, Masyumi telah meletakan substansi Islam politik yang modern, tetapi tidak tercerabut dari akar kebangsaan kita. Pembinaan yang baik membuat perilaku kader tidak pecah kongsi dengan nilai-nilai perjuangan Masyumi. Para tokohnya telah mewariskan keteladan, sikap tawadhu, zuhud dan memegang kukuh adab berpolitik. Penulis sendiri, setidaknya, melihat dua kebesaran Masyumi yang kian memperkuat peradaban politik bangsa ini.

DAN MENTERI SUSI DIBULLY


Sore itu istana merdeka cerah, tetapi sungguh hari yang melelahkan bagi Susi Pudjiastuti. Usai pengumuman nama-nama menteri Kabinet Kerja 2014-2019 selesai, perempuaan kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965, itu mencari sisi istana yang kosong. Ia menanggalkan sepatu hak tinggi, yang sangat jarang dipakainya, dan duduk mencangkung sambil merokok.

Awak media pun merubung. "Ya rencana, Indonesia harus jaya di kelautan. (Indonesia) 70 persen adalah laut, dengan good will semua pihak bisa," jawabnya ringkas dan optimis, mengingat dirinya belum mendapat arahan dari Presiden Jokowi untuk berbicara detail soal rencana program kerja dan prioritas.

Namun tampaknya publik punya arah sendiri dalam menentukan tema mereguk kopi hari ini. Bukan optimisme itu yang  merebak, tetapi sebatang rokok yang dihembuskan oleh seorang menteri perempuan di istana negara, yang notabene merupakan kawasan dilarang merokok, yang naik ke permukaan.

KEWIRAUSAHAAN DAN BURUH TER-PHK


Menghalangi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memang penting. Tetapi, mempersiapkan kalangan buruh untuk menghadapi PHK juga tidak kalah penting. PHK adalah salah satu risiko yang harus dihadapi kalangan buruh. Meskipun PHK adalah jalan keluar terakhir untuk mengatasi krisis tetapi tetap saja tindakan itu dilegalkan UU.

Jangankan di Indonesia. Selama Januari 2009 saja perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat telah mengumumkan rencana PHK hingga 138.252 orang pekerja. PHK itu tak bisa dihindari di tengah krisis finansial yang menghantam permintaan produk.

UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang menetapkan tahapan dan prosedur PHK yang pelaksanaannya tidak bisa sekaligus. Tetapi, peraturan kenegaraan itu juga menegaskan 14 penyebab PHK yang umumnya disebabkan resiko spekulatif dan mengandung unsur moral hazard yang tinggi.

Membangun Bangsa: Pemikiran Anwar Vs Mathiyas



Selalu menarik mendengar seorang pakar keuangan dan moneter bicara tentang produktivitas dalam ukuran produk. Apalagi jika yang bicara sosok sekaliber Guru Besar FE UI Anwar Nasution. Pemikiran teranyarnya terangkum dalam opininya di Kompas, Senin (8/4/2013) berjudul Kalah Bersaing di ACFTA.

Menurut Ketua BPK ini kekalahan Indonesia di ACFTA disebabkan dua faktor. Pertama, kurangnya upaya pemerintah dan dunia usaha menjelaskan peluang yang terbuka dari perjanjian ini. Kedua, masih luasnya ceruk pasar luar negeri yang belum dimasuki dan rendahnya produktivitas akibat kurangnya daya saing perekonomian bangsa.

Daya saing bangsa memang masih terseok-seok. Bahkan berdasarkan The Global Competitiveness Report 2012 terbitan World Economic Forum (WEF), indeks daya saing Indonesia anjlok dari posisi ke 46 (2011) menjadi ke 50 (2012). Kita masih tertinggal jauh dari Singapura (2), Malaysia (25), Brunei Darussalam (28) dan Thailand (34).

Serupa Anwar Nasution, Alomet & Friends percaya produktivitas dan daya saing bangsa merupakan kunci kemakmuran. Peningkatan produktivitas secara berkesinambungan, khususnya di bidang ekonomi, bermuara pada kemakmuran bangsa. Karena ekonomi produktif akan mendongkrak keuntungan pada modal yang diinvestasikan dalam setiap aktivitas bisnis. Pencapaian produktivitas yang berkesinambungan hanya dapat dilakukan dengan membangun keunikan, membangun daya saing guna memenangkan kompetisi antar bangsa. Produktivitas dan daya saing menjadi penting jika Indonesia ingin menjadi pemain global di pentas ekonomi dunia.

Pemikiran ini yang kemudian mendorong Alomet & Friends down to earth. Sejak satu dekade terakhir, Mathiyas Thaib, pendiri Alomet and Friends, bersama para senior konsultannya sudah membangun produktivitas dan daya saing pelbagai lembaga dan perusahaan nasional melalui pendayagunaan proses bisnis dalam framework arsitektur bisnis.

Dalam berbagai worshop, seminar dan pembelajarannya, Alomet & Friends terus mendengung-dengungkan isu produktivitas dan daya saing.  Termasuk menyuntikkan isu strategis ini kepada pelbagai lembaga dan perusahaan yang Alomet & Friends dampingi. Beberapa diantaranya adalah  PT Angkasa Pura II, PT Jasa Marga,  PT Pertamina Drilling Service Indonesia (PDSI), PT PLN, Bank Riau, Kementerian Keuangan, Pusdiklat Kementerian Perindustrian, RSCM, PT Aplikanusa Lintasarta, Fak. Kedokteran UI, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), PT. Industri Sandang Nusantara (ISN), PT Bormindo Nusantara, PT. ANTAM dan PT. KELSRI.

Garis Demarkasi
Daya saing bangsa dan produktivitas juga bukan isu baru. Sejak bangsa ini masih bayi, the founding father telah meletakan arah pembangunan nasional pada rel produksi, pada pembangunan daya saing. Karena itu, ramai-ramai anak bangsa dikirim Soekarno untuk belajar teknologi ke negara-negara maju. Karena itu, Soekarno berencana menghambat masuknya modal asing sampai sekitar 1980-an, kurun waktu di mana anak bangsa telah memiliki kompetensi untuk mengolah sendiri sumberdaya alamnya.

Garis demarkasi antara Anwar Nasution dan Mathiyas Thaib adalah perbedaan metode dalam mewujudkan daya saing bangsa. Dalam seminar Indonesia Economic Policy In Challenging Global Economy 2012 silam, Anwar Nasution menegaskan jika ingin bersaing dengan Cina, Indonesia harus menambah utang guna meningkatkan produktivitas dan pembangunan infrastruktur.

Lanjut Anwar, rasio utang Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih sangat kecil, yakni 25%. Masih relatif aman karena APBN memberi batas maksimal 60% dari APBN. Ini sesuai dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, merilis total utang pemerintah Indonesia sampai Maret 2013 mencapai Rp 1.991,22 triliun dengan rasio 24,1% terhadap PDB.

Sebaliknya Mathiyas Thaib menilai utang luar negeri tak ubahnya racun yang akan membunuh bangsa ini perlahan-lahan. Perekonomian berbasis utang lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Sejarah negara-negara dunia ketiga telah mencatatnya bahwa semakin besar utang suatu negara, semakin besar pula potensi korupsi dan penyelewengannya.

Ironisnya, Bank Dunia dan IMF malah terkesan membiarkan kebocoran itu. Tutup-mata ini adalah konkrititas dari mental bankir yang semata-mata bertujuan meraup pendapatan bunga sebesar-besarnya, tanpa ambil pusing dengan kebocoran yang terjadi. Ingat pendapatan bankir berasal dari bunga utang. Semakin lama jangka waktunya, akan semakin besar pula pendapatan bunga yang diraup.

Kebocoran akibat korupsi menyebabkan output project-project berbasis utang tidak sesuai target. Kendati begitu, pemerintah secara rutin harus membayar pokok bunga dan cicilan hutang luar negeri. Hal ini jelas mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi, termasuk alokasi dana pembangunan dari APBN. Pada APBN 2013 contohnya, cicilan bunga dan pokok utang diperkirakan mencapai Rp 171,7 triliun, atau 15 persen terhadap belanja pemerintah pusat.

Selain itu, utang luar negeri merupakan salah satu alat yang dipakai kekuatan asing untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan Iindonesia. Dalam banyak moment, kental nian upaya IMF dan Bank Dunia untuk mengarahkan pelbagai kebijakan mereka kepada Indonesia. Dua intervensi yang paling signifikan adalah penutupan bank investasi BAPINDO dan industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL produsen armada udara dan perairan indonesia. Bahkan IMF juga merambah kebijakan non perekonomian, seperti reformasi struktural kepemimpinan negara.

Kemandirian Cina
Melalui hutang, Anwar Nasution mengiming-imingi harapan Indonesia dapat menyaingi Cina. Padahal perekonomi Cina bukan berbasis utang. Williamson dan Zeng, dalam buku Dragons At Your Door (2007) menegaskan rahasia dari kemampuan korporasi Cina adalah inovasi biaya (cost innovation).

Korporasi Cina membongkar paradigma lama, yaitu teknologi tidak harus berbiaya tinggi. Cina mendayagunakan ilmu proses bisnis guna memunculkan keunikan sehingga biaya operasional perusahaan menjadi rendah. Keunikan Sang Naga adalah keberhasilan menemukan dan menggunakan teknologi alternatif, sumber daya teknik, desain, dan layanan yang juga berbiaya rendah. Hal inilah yang tidak dapat ditiru oleh negara-negara kawasan Eropa dan AS. Hal ini yang menyebabkan masifnya penetrasi produk-produk Cina ke pasar internasional.

Cina memang menarik investasi asing untuk mengakali kebutuhan fresh money. Tetapi kebijakan ini dilakukan dengan berhati-hati dan terkendali. Berhati-hati karena Cina melangkah secara bertahap sehingga adaptif dan tahan terhadap dinamika dan gelombang moneter yang datang dari luar. Investasi asing tidak dibuka ekstrim, diseleksi secara kreatif untuk kebijakan ekonomi di China.

Terkendali karena investasi yang masuk tidak dilakukan seolah-olah di ruang yang kosong, melainkan tetap memperhatikan norma, kondisi sosial, institusi, dan aturan main yang berkembang di negara tersebut. Sehingga unsur intern tetap menjadi penentu bagaimana dan kemana dana asing tersebut harus diinvestasikan.
Tidak seperti pemerintah Indonesia yang bisa didikte oleh kepentingan luar, Cina memiliki memiliki kemandirian dalam menetapkan kebijakan ekonomi bangsanya. Kemandirian ini tercipta karena Cina sadar akan konsep keunikan Michael Porter, yaitu jumlah penduduk Cina adalah suatu keunggulan, adalah pasar yang sangat besar, dan harus didayagunakan.

Apalagi CK Prahalad menegaskan bahwa persaingan industri dan ekonomi masa depan adalah bagaimana merebut pasar pada masyarakat lapisan berpenghasilan menengah ke bawah (fortune at the bottom of pyramide). Ingat hukum 20/80 pareto. Jumlah kalangan the have tak lebih dari sekitar 20 persen masyarakat dunia. Pasar pada masyarakat lapisan berpenghasilan menengah ke bawah masih sangat luas. Dan Cina adalah yang terbesar.


Cina tidak perlu mengemis investasi asing. Justru para investor yang berlomba-lomba meminta diperkenankan berinvestasi di sana.

68 TAHUN MERDEKA, SDM BANGSA MASIH TERTATIH


Menginjak 68 tahun Indonesia merdeka, ternyata daya saing global kita masih relatif tertinggal. Daya saing global Indonesia  berada di posisi 50 pada Global Competitiveness Index tahun 2012, dibandingkan dengan Singapore di posisi 2, Jepang di posisi 10, Malaysia di posisi 25, China di posisi 27, Korea Selatan di posisi 22, dan Thailand di 38.

Salah satu faktor penyebabnya, tentunya rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sebagai ilustrasi kita dapat melihat statistik ketenagakerjaan per Februari 2013, yang masih didominasi pekerja berkualifikasi pendidikan dasar yaitu sebanyak 74,9 juta orng (65,70%). Terdiri dari 54,6 juta orang (47,9%) tamat SD ke bawah, dan 20,3 juta (17,8%) tamat SD sederajat.

Fenomena ini sungguh ironis. Mengingat kemajuan suatu bangsa lebih ditentukan oleh kualitas SDM ketimbang kekayaan SDA. Kita dapat berkaca pada keberhasilan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Singapore, Taiwan yang lebih ditunjang oleh kualitas SDM-nya.

JEBAKAN IMPOR PARA KOMPRADOR


Miris rasanya membaca pemberitaan media belakangan ini. Indonesia terus diayun-ayun dalam jebakan impor barang. Pada periode Januari-Juni 2012 contohnya, BPS mencatat 10 produk nonmigas menjadi penyumbang terbesar nilai impor Indonesia. Porsi 10 komoditas tersebut mencapai 64,97 persen dari total nilai impor.

Produk-produk itu adalah : 1) Mesin dan peralatan mekanik; 2) Mesin dan peralatan listrik; 3) Besi dan baja,; 4) Kendaraan bermotor dan bagiannya; 5) Bahan kimia organik; 6) Plastik dan barang dari plastik; 7) Kapal terbang dan bagiannya; 8) Barang dari besi dan baja; 9) Serealia, dan 10) Pupuk.

Namun Indonesia bukan hanya negara pengimpor produk manufaktur dan olahan. Kita juga bangsa mengimpor produk hasil bumi. Pada produk-produk yang bersentuhan langsung dengan urusan perut semacam inilah publik baru berteriak. Garam, gula, kedelai, bawang, daging adalah kasus produk impor teranyar yang menjadi pembicaraan publik. Ironis memang, mengingat indonesia yang kaya SDA dan jumlah penduduk nomor 4 di dunia.

DONOR MENCLA-MENCLE, KE LAUT AJE #JAKARTABARU



Gubernur DKI Jakarta Jokowi  sedang disibukan oleh hutang. Pemasalahan ini berada pada dua posisi, yaitu sebagai representasi dari calon penghutang dan pihak penagih hutang. Uniknya  penyelesaian sosok yang digadang-gadang sebagai kandidat presiden masa depan ini berada di luar mainstream.

Dalam mewujudkan Jakarta Baru, Jokowi –Ahok tengah berkeringat mengatasi dua isu utama, yaitu kemacetan dan banjir. Isu transportasi diatasi melalui Mass Rapid Transit (MRT), sementara perihal penanganan banjir diredam dengan  Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) atau program pengerukan saluran, sungai, dan waduk.

Dua mega proyek inimembutuhkan dana sangat besar. Masuklah Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Bank Dunia sebagai lembaga keuangan yang siap menggelontorkan hutang .  Jokowi pun membuka peluang untuk bekerjasama.

PERAMPOK MAKAM


Aku meloncat ke bis Patas, jurusan Kampung Rambutan, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tambun Tanggerang. Hidup makin sulit, dan rezeki sudah tak dapat lagi dibatasi garis demarkasi wilayah.

Bertampang masam istriku membuka pintu rumah petak. Dia langsung ngeloyor ke dalam, sementara aku meredakan penat dengan selonjoran di sofa yang sudah koyak-moyak dan menjadi surga beranakpinaknya ratusan kepinding.

”Lho kok pahit, Dek?” Tanyaku setelah mereguk secangkir kopi.

Tampang istriku sontak selayak rok katun yang belum diseterika, ”aku punya tiga kabar buruk. Pertama, dapur kita tidak ngebul malam ini karena Mpok Markonah sudah menolak memberi hutang. Kedua, Si Rajib diusir gurunya akibat nunggak SPP tiga bulan. Terakhir, tadi pagi Pak Mahmud mengancam kita untuk siap-siap angkat kaki kalau pekan depan belum juga melunasi uang sewa rumah.”

PENGUATAN PERLINDUNGAN TKI



TKI merupakan salah satu permasalahan pelik bangsa ini. Pada sisi pertama, TKI adalah solusi konkrit mengatasi ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan pemerataan dan penyediaan lapangan kerja. Perekonomian nasional tidak mampu menyerap angkatan kerja yang pada Februari 2009 telah mencapai 113,74 juta orang dengan kuantitas penggangguran berjumlah 9,26 juta orang.

Faktanya dalam lima tahun terakhir penempatan TKI ke luar negeri terus meningkat hingga rata-rata per tahun mencapai 596.115 orang. Mereka tersebar di Malaysia dan Saudi Arabia, sisanya ke negara lain seperti Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Yordan Hongkong, Taiwan. Dengan kuantitas itu, TKI telah berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Remitansi mereka mencapai USD 8,24 milyar (2008) atau urutan pertama pada sektor jasa dan urutan ke-2 setelah penerimaan devisa migas. Remitansi itu juga berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga TKI yang diperkirakan berjumlah 16 juta orang. Besarnya kontribusi itu membuat TKI kerap disebut sebagai pahlawan devisa.

MENGERLING STRATEGI BISNIS SANG NAGA



“Meskipun anda belum pernah ke Cina, tapi yang pasti barang Cina pernah ada di tempat Anda, dan itu adalah realita”. Peter J Williamson, buku Dragon at Your Door (2007).

Dalam tiga dekade, semenjak Deng Xiao Ping menerapkan sistem ekonomi pasar terkelola di awal 1978, cakar-cakar naga telah terentang begitu jauh. Kini produk-produk Cina telah membanjiri pasaran dunia; USA, Eropa, Timur Tengah, Asia, termasuk Indonesia.

Dengan keunikannya, korporasi China sudah merambah industri-industrimass-market, termasuk pelbagai industri high-techdan specialty, sepertirefrigerator, container, berbagai mesin-mesin cetak dan lain-lain. Mulai dari teknologi tinggi yang menghasilkan X-Ray, seperti Zhongxing Medical yang berhasil memukul mundur General Electric dan Philips, HiSense yang telah menjadi pemasok terbesar perangkat TV di negara berkembang, hingga penghasil kereta bayi seperti Goodbaby.

SUARA-SUARA KEHIDUPAN


Ngiiiiiiiiiingggg…nguuuuuuuuuunggg...

Jerit speaker mesjid itu nyaring dan mengerikan, bukti kongkrit kalau gharinnya masih amatiran. Seketika itu juga Kartini, untuk beberapa saat, merasakan pening di kepalanya. Meski begitu dia tetap melorot turun dari dipan beralas karpet tipis yang telah sepuluh tahun belakangan menjadi pembaringannya.

Hati-hati dia menyalakan lampu minyak agar suaminya tidak terjaga. Listrik rumah kontraknya sudah dicabut sejak Manto dipecat tanpa pesangon, tepat enam bulan lalu. Untuk menyambung hidup, mantan buruh pabrik seng itu hanya bisa mengumpulkan gelas-gelas plastik dari tempat-tempat sampah dan menjualnya kepada juragan pengumpul.

Kartini mengangkat lampu minyak itu setinggi ketiak. Dia hendak ke belakang, tetapi berhenti mendadak ketika cahaya lampu minyak itu, tanpa sengaja, menyinari kepala suaminya. Lambat-lambat dia bergerak, memastikan kalau matanya belum lamur.

“Ya, Tuhan. Betapa cepatnya lelaki itu menua,” desah Kartini sedih. Marto tengah tertidur nyenyak, mungkin keletihan, sambil mendukung puluhan uban di bagian atas telinganya. Lekuk yang dalam kini menggaris di sepasang mata suaminya itu.

FTA DAN KESEJAHTERAAN PELAKU UMKM


Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah terbukti sebagai sektor usaha yang tahan banting. UMKM terbukti menjadi penyanggah perekonomian Indonesia ketika usaha berskala besar mengalami kerugian besar.

Bahkan, usaha skala besar tersebut berhenti berproduksi akibat krisis finansial melanda Asia di tahun 1997. Ketika krisis finansial global yang bermula di Amerika Serikat tahun 2008 mempengaruhi perekonomian Indonesia sampai saat ini UMKM tetap menjadi sumber penghidupan banyak orang.

Pada tahun 2008 tercatat 99,2 persen unit usaha di Indonesia tergolong UMKM. Selama periode 2002-2005 UMKM telah menyerap 96,7 persen dari total tenaga kerja nasional. Padahal usaha besar hanya berkontribusi rata-rata 3,3 persen terhadap total tenaga kerja nasional.

MAFIA HUKUM DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT KECIL



Belakangan ini Indonesia digoncang sengketa KPK VS Polisi, yang notabene merupakan simbolisasi masih mengakarnya praktik mafia hukum di negeri ini. Sebagian orang menilai kalau sengketa itu hanya merupakan keriuhan elit yang tidak berkorespondensi dengan kesejahteraan rakyat kecil. Padahal kegagalan penyelesain sengketa itu secara beradab akan berdampak secara tidak langsung dengan kesejahteraan buruh.

Sengketa antara KPK VS Polisi adalah salah satu puncak ketidakpastian hukum. Celakanya supremasi hukum merupakan salah satu pilar pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya mafia hukum bukan sekedar mafia kasus (markus), melainkan juga meliputi oknum-oknum internal kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun KPK itu sendiri.

Markus hanya bekerja bila pengusaha melakukan kesalahan-kesalahan pelik sehingga mesti diselesaikan melalui jalur hukum formal. Tetapi okum aparat hukum ranahnya lebih luas lagi. Mereka bukan sekedar mampu memperjualbelikan surat pemanggilan, status tersangka atau mengungkit-ungkit permasalahan yang sudah selesai. Mereka juga dapat berimajinasi tentang kasus-kasus yang bisa ditimpakan pada para pengusaha, bahkan meskipun para pebisnis itu tidak melakukan kesalahan apa-apa.

MEREKA BILANG KANGMAS KORUPSI



Aku tengah surfing di internet. Menjelajahi berita dan wacana pemberantasan korupsi. Dan hasilnya fantastic. Kucatat setidaknya ada tiga negara yang menerapkan proses hukuman menakjubkan bagi para koruptor. Cina menembak mati para koruptor, Arab menegakkan sanksi potong tangan, dan mereka dihukum minimal 15 tahun penjara di Amerika. Sesuatu yang teramat luar biasa bila terjadi di negeri yang identik dengan dagelan hukum seperti Indonesia.

Akh, aku mendengus, seperti David melawan Goliath. Mendadak ponselku berdering. Sebaris nama dari masa silam langsung menarik perhatian.  

“Gawat Dikmas! Gawat. Kasus yang dulu itu dibuka kembali. Sekarang statusku sudah menjadi tersangka,“  suara serak itu terdengar cemas nian.

ANONIMITAS PARTAI POLITIK


Pemilu bukan sekedar model partisipasi politik masyarakat, melainkan juga merupakan ajang balas dendam rakyat terhadap institusi politik. Parpol adalah institusi politik yang akan paling merasakan dampak ketidakpuasan tersebut. Faktanya, sejak Pemilu 2004, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja parpol makin menguat. Wujud kongkritnya adalah tingginya angka golput.

Data JPPR 2008 menyebutkan kalau 13 pemilu gubernur dari 26 Pilkada Provinsi sepanjang 2005-2008 dimenangi oleh golput. Jajak pendapat Kompas pada 13-14 Agustus 2008 juga mencatat 3 dari 4 responden (76,5%) menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja Parpol.

Sebelumnya survey LSI juga menempatkan parpol di level terendah sebagai wadah menyuarakan suara rakyat. Posisi teratas ditempati media massa (31 %), ormas (24 %), baru kemudian birokrat dan parpol dengan nilai 11%. Realitas kemudian memaksa parpol untuk berbenah. Ironisnya, pembenahan tersebut ternyata tidak menyentuh aras substansial bahkan malah membuat parpol kehilangan jatidirinya.

Kesejahteraan Buruh di Tengah Tekanan Globalisasi


Tingginya kuantitas penduduk jika tidak diimbangi ketersediaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas SDM, dapat menjadi faktor penghambat pembangunan ekonomi suatu negara. Indonesia kekinian mengalami kondisi ini. Pertumbuhan angkatan kerja jika tidak dimbangi dengan pertumbuhan investasi pembukaan lapangan kerja akan mengakibatkan penggangguran.

Data BPS (2009) mencatat jumlah angkatan kerja Indonesia telah mencapai 113,74 juta, dan 9,26 juta orang diantaranya adalah pengangguran. Pekerja Indonesia itu didominasi kalangan berpendidikan SD ke bawah 55,43 juta orang (53,05 %).

Padahal pekerja yang berpendidikan Diploma I/II/III dan sarjana hanya mencapai 2,68 juta orang (2,56%) dan 4,22 juta orang (4,04%). Data ini menggambarkan kalau struktur pekerja Indonesia masih didominasi kalangan kurang terdidik. Kualitas SDM yang rendah membuat angkatan kerja Indonesia cenderung berperan sebagai buruh, sementara struktur manajemen umumnya ditempati para pekerja asing.

Fenomena ini dikuatkan dengan data Ditjen. Binapenta, Depnakertrans, yang mencatat per Desember 2008 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia telah mencapai 83.452 orang, Komposisi utamanya adalah profesional (38,70%), teknisi (20,6%) dan manager (17,31%).

Ironisnya jenis pekerjaan pekerja Indonesia masih didominasi buruh pertanian (41,3%) dan buruh produksi (25,2%). Pekerja yang berstatus tenaga profesional-teknisi apalagi manajer hanya 4,65% dan 0,63%. Fenomena ini membuat Amien Rais pernah mengklaim kalau saat ini Indonesia telah bergerak pasti menjadi bangsa kuli.

Tingginya tingkat pengangguran dan kualitas SDM yang rendah membuat ketergantungan buruh terhadap perusahaan kian besar. Kondisi ini diperparah dengan adanya tekanan perusahaan multinasional.

Yustika (2006) menyebut kalau operasi perusahaan multinasional hanya menjadikan negara berkembang sebagai tempat pencarian bahan baku, menyerap tenaga kerja murah, dan menjual produk; sementara profitnya di bawah ke negara asal (repatriasi).
Faktanya salah satu ciri utama kapitalis memang mengganggap kepemilikan kekayaan yang dipercepat, produksi maksimal dan pemenuhan keinginan (want) menurut preferensi individual sebagai dasar pencapaian kesejahteraan manusia.

Implikasi logis dari anggapan itu adalah pentingnya meminimalisasi input (penurunan biaya faktor produksi) dan perluasan pasar. Dengan kemapanan manajemen dan modal, maka faktor produksi yang mesti lekas dikuasai negara-negara maju adalah sumber daya alam dan tenaga kerja.

Kedua faktor ini mengkerdilkan peran negara sebagai institusi terkuat untuk mendorong kesejahteraah kalangan buruh. Pemerintah digiring untuk menjadi suplier infrastruktur yang memungkinkan para kapitalis dapat melakukan proses produksi dan distribusi barang/jasa, menyediakan jasa keamanan untuk melindungi pasar (market), dan menekan pekerja agar bersedia dibayar dengan upah murah.

Pecah-belah dan Hancurkan
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara implisit sarat dengan intervensi kekuatan multinasional. UU ini mengindikasikan arah kebijakan pemerintah untuk lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya masalah perburuhan pada mekanisme pasar. Turunan dari semangat neoliberal ini adalah semakin minimnya peluang untuk mensejahterahkan kalangan buruh. Akibatnya legalisasi praktik buruh kontrak dan outsourcing, pengebirian peranan serikat buruh, dan kebijakan upah murah menjadi marak terjadi.

Saat ini umumya perusahaan-perusahaan di Indonesia telah memanfaatkan buruh kontrak dan outsorching. Studi Puslitbang Depnakertrans (2008) di 9 provinsi dan 14 kota/kabupaten menemukan 24,68 % perusahaan memperkerjakan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), 10,76% memperkerjakan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan 64,56% memperkerjakan keduanya.

Sistem buruh PKWTT dinilai akan mampu menggerakan roda industri secara dinamis. Tuntutan untuk bersaing secara global telah memaksa pengusaha mengefisiensikan biaya untuk menjaga stabilitas proses produksi.

Para pengusaha menuding sikap mental buruh masih kurang baik dan buruh tidak bekerja dengan sungguh-sungguh karena hanya mencari identitas kerja saja sehingga dikuatirkan tingkat keluar masuk buruh akan tinggi. Akibatnya perusahaan tidak mampu memberikan pesangon.
Ironisnya, studi itu juga menemukan 4,43 % buruh PKWTT yang sudah lebih dari 5 tahun. Bahkan ada yang sudah bekerja selama 18 tahun. Temuan ini menggambarkan kalau perusahaan telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, stratifikasi buruh sebenarnya juga berperan sebagai tameng para pengusaha untuk meminimalisir kekuatan kalangan buruh. Kendati fasilitas dan tunjangan kerja secara peraturan perundangan-undangan wajib sama, tapi realitasnya bertolak belakang.
Akibatnya perjuangan menuntut hak memiliki dampak yang berbeda. Misalnya buruh tetap yang di-PHK akan mendapat pesangon, tetapi buruh kontrak, apalagi outsorching, mesti gigit jari ketika kondisi yang sama menimpa mereka.

Kebijakan statatifikasi buruh identik dengan strategi kolonial Belanda. Penjajah membagi penduduk menjadi pelbagai strata yaitu penduduk eropa, penduduk eropa peranakan, penduduk timur jauh (Cina, Arab dan Hindia) dan terakhir penduduk pribumi. Setiap strata memiliki hak dan kewajiban tersendiri, bahkan terkadang diisolasi dalam pemukiman tersendiri.

Akibatnya semangat persatuan pun membuncah dalam tatanan parsial. Karena itu wajar bila kalangan buruh kontrak lantas terpisah dengan buruh tetap dalam memperjuangkan hak-haknya. Meskipun ikatan emosional seidentitas cenderung menguat, tetapi dalam konteks perjuangan sebenarnya terjadi penurunan daya tawar kaum buruh.

Bargaining power kalangan buruh akan kian menyusut bila dikaitkan dengan tingginya tingkat penggangguran di Indonesia. Bila kalangan buruh mencoba macam-macam maka ancaman pemecatan sudah di depan mata.

Tingginya tingkat pengangguran membuat perusahaan kian berani memaksakan kehendak bisnisnya terutama perihal upah dan tunjangan buruh yang rendah, jam kerja yang tinggi maupun hari libur yang kasip.

Para pengusaha sadar kalau tidak sulit mencari pengganti buruh yang dianggap nakal, sebab angkatan kerja yang mau dibayar murah untuk mengisi posisi dalam proses produksi masih banyak bertebaran di luar sana.

Urgensi Serikat Buruh
Serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Dalam mencapai tujuannya itu, serikat buruh merupakan salah satu komponen dari Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan Tripartit. Melalui forum komunikasi dan konsultasi terkait hubungan industri di suatu perusahaan itu, serikat buruh dapat menjadi artikulator aspirasi buruh.

Tetapi menjadi artikulator kalangan buruh saja tidak cukup. LKS Bipartit dan Tripartit bukanlah ruang keadilan nurani melainkan persilangan antara pelbagai kepentingan. Dalam kondisi non egaliter, maka argumen-argumen apa pun yang dipaparkan dalam ruang itu akan sulit mendokrak kesejahteraan kalangan buruh. Untuk mencegah terjadinya eksploitasi maka bargaining power serikat buruh wajib setara dengan pengusaha. Bargaining power kalangan buruh tidak identik dengan kedekatan dengan pengusaha, melainkan terbentuk bila dari dukungan rill kalangan buruh itu sendiri.

Secara formal, sebenarnya tindakan eksploitasi kalangan buruh sulit untuk dilakukan. Ada hukum formal yang mengatur perselisihan hubungan industrial. Tetapi sebagaimana kalangan wong cilik lainnya, tidak seluruh buruh melek informasi apalagi yang memiliki kesadaran kritis. Pada titik inilah sebenarnya kunci penguatan serikat buruh.

Serikat buruh dituntut mampu menanamkan kesadaran politik di kalangan buruh. Bahwa tidak satupun hak kaum buruh dan masyarakat tertindas lainnya yang diperoleh secara gratis, melainkan mesti direbut dengan kekuatan sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Kesadaran itu akan bermuara pada dukungan rill kalangan buruh, sehingga peranan sebagai artikulator juga akan dilengkapi dengan peranan sebagai kelompok penekan bagi pengusaha. Dengan eksistensi kedua peranan itu, maka posisi pengusaha dan serikat buruh dalam (LKS) Bipartit dan Tripartit baru dapat egaliter. (Penulis adalah Wakil Sekjen PB Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia/Gasbiindo)