PENUNGGU BELANTARA WAKAOKILI


”Di sana! Aku lihat keparat itu!”

Sepersekian detik, kelima lelaki itu seperti kesetanan. Desing peluru merobek-robek keheningan hutan, menerabas rerimbunan jeruju. Kawanan monyet terusik dan menjerit-jerit tak karuan. Lolongan anjing kampung terdengar melengking. Kalong dan burung hantu mengepakan sayapnya, terbang mencabik-cabik kesiur angin senja yang dingin.

Entah karena kekuatan apa, pada detik yang sama mereka sepakat menahan senjatanya. Waspada mereka bergerak maju. Tinggal beberapa langkah lagi. Bacin keringat dingin menusuk hidung. Sesuai rencana, serangan beruntun itu efektif membuat lelaki itu mencungap-cungap. Jangankan seorang lelaki, bahkan empat keparat sekalipun bakal sulit bernafas setelah digempur peluru dari empat penjuru. Namun, semua orang tahu siapa Joko Indo. Seperti kucing hitam, keparat bengis yang lihai menggunakan senjata api itu memiliki nyawa sembilan.

Hening menyergap, bahkan gemerisik angin di pucuk-pucuk pohon terdengar jelas. Mereka menahan nafas. Semua mata saling mendelik. Kelima lelaki itu dipagut kecemasan, seperti tengah menghampiri lubang kubur mereka sendiri.

SEGITIGA CINTA YANG TERLUKA


andai aku telah dewasa
apa yang akan kukatakan
untukmu idolaku Ayahku tercinta[1]

Deru motor itu sontak mengunting mimpi Pak Kardi. Setengah limbung, satpam tua itu membuka gerbang dan Elang langsung disayat sembilu penyesalan. Ya, mimpi adalah media pengapaian cita-cita Pak Kardi yang tak pernah maujud di dunia nyata. Dan untuk kesekian kalinya dia memporak-porandakan kerajaan imajinasi yang murni itu.

“Tidur saja di dalam, Pak. Siapa yang nekad menyatroni pemukiman elit ini? Mau didoor apa?”

Pak Kardi tersenyum rikuh, “ndak apa-apa, Den. Ini sudah jadi tugas Bapak”

Elang mengangguk sebagai tanggapan. Tak sepakat, tetapi dia merasa tidak berdaulat memaksa.

Dia lantas melangkah malas. Saban pulang, kepalanya selalu terasa panas. Disusurinya kerikil pembatas taman mawar koleksi Mama yang mempercantik kolam ikan di muka beranda. Akh, bila bukan karena Mama niscaya telah lama ditinggalkannya istana terkutuk ini.

KUNCI REPUBLIK



Damang Batu meringkuk di kaki jenjang rumah bentang[1]. Mata ringkihnya menerawang sisa-sisa kepingan matahari di puncak Bukit Tangkiling. Kelebat kawanan kelelawar mulai menyesaki angkasa darah. Kesiur angin kemarau pada pucuk-pucuk trembesi tak berdaulat mengusiknya. Pikirannya terbenam selayak lumpur palung Sungai Kahayan.

Usianya nyaris tiga perempat abad, tetapi langkah waktu tak pernah berakhir serupa lembaran potret dalam warna sepia -sesuatu yang indah dan pelan-pelan memudar. Masa silam adalah catatan harian. Bukan sekadar sesuatu yang digurat-renungi menjelang tidur, melainkan jaring-jaring ingatan yang didekapnya ke mana-mana.

Ikhwal itu seperti baru saja dipertontonkan. Badannya segesit enggang dan jangatnya masih seliat sisik buaya, ketika pada satu malam, saat tingkap-tingkap atap berderak-derak akibat gempuran hujan, guruh dan kilat, Ambah[2] memanggilnya ke dalam bilik.

”Sejengkal lagi arwahku akan terbang ke langit. Tak ada harta benda yang bakal kuwariskan. Sebaliknya, aku hendak mewasiatkan satu amanat yang belum tentu satu dari seribu lelaki mampu mengembannya.”

DIRJEN PAJAK (CUMA) IBARAT KENEK METROMINI


Kebijakan Presiden Jokowi yang menaikan tunjangan kinerja pegawai Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kemenkeu saya pikir salah sasaran dan bahkan diskriminatif terhadap ASN di institusi pemerintahan pusat lainnya. Bayangkan, tunjangan kinerja eselon 1 di dirjen pajak bisa mencapai Rp 117,375 juta perbulan. lebih jelasnya, silakan lihat pada gambar.

Alasannya sederhana, karena di mata saya Dirjen Pajak itu tak lebih dari kawanan kenek metromini. Dirjen pajak adalah kumpulah tukang tagih bill. Layakkah mereka mendapat insentif yang berlipat-lipat lebih besar daripada ASN yang berkeringat di sektor produksi? Pantasnya kasir punya gaji lebih besar dari chef (koki) restoran yang karenanya kelihaiannya menyantap sehingga pengunjung membludak?

AHOK, CERITA GIGI VERSUS GIGI


Membaca sepak-terjang Basuki Tjahya Purnama seperti membaca ‘Perahu Kertas’-nya Dewi Lestari tetapi ditulis oleh Pramudya Ananta Toer. Sebuah letupan tak lazim. Dan para pecinta tetralogi Pulau Buruh tanpa sadar akan didorong menjadi dua kutub, mencintai atau membencinya. Demikian pula dengan Ahok. Dia adalah sebuah eksperimen politik. Dia mengilas habis, apa yang selama ini kita sebut, brand pejabat publik.

Saya membaca tiga aspek dari Ahok yang menjadi sorotan publik. Bagi penggiat politik, masa lalu Ahok itu hitam. Ahok adalah politisi kutu loncat. Seingat saya, Ahok pernah “mengontrak rumah” pada 3 parpol, yaitu PIB, Golkar dan Gerindra. Yang paling menjadi masalah adalah sejarah Ahok pada 2 parpol terakhir. Ahok meninggalkan Golkar dan masuk Gerindra agar bisa bersanding dengan Jokowi. Tetapi, dengan santai pula dia meninggalkan Gerindra sebagai konkrititas sikap tegasnya menolak pilkada via DPRD.

POLITISI NDESO ITU KEMBALI


Setelah sekian lama kita ditampar kegalauan, akhirnya di penghujung tahun kuda ini, Jokowi kembali ke asalnya. Politisi ‘ndeso’ ini membuat gebrakan besar ketika harapan rakyat akan nawacita yang konsekuen mulai dipertanyakan. Sore tadi, Jokowi kembali gemilang membacakan pidatonya yang, kembali tegas, sekaligus jadi jalan keluar sengketa Polri versus KPK.

Point penting, dari pidato Jokowi itu adalah, Pertama, membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan, dan mengusulkan Komjen Badrodin Haiti sebagai Kapolri kepada DPR. Kedua, memberhentikan sementara  Abraham Samad dan Bambang Widjojanto terkait masalah hukum yang menjerat dua pimpinan KPK, serta mengangkat Taufiequrrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi sebagai pimpinan sementara KPK demi keberlangsungan kerja di lembaga KPK demi keberlangsungan kerja di lembaga “Kuningan” itu.

BLUNDER (BURUH) MENTERI TEDJO



Oleh : Hendri Teja
Aktivis Buruh & Rakyat Tak Jelas

Pernyataan Menkopolhukam Tedjo Edhi Purdijanto kian hari kian blunder saja. Setelah sebelumnya menyebut KPK didukung rakyat tak jelas, kini Tedjo memasuki ranah buruh. Ancaman pegawai KPK untuk mogok jika seluruh pimpinannya ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri, direspon Tedjo dengan sebutan “kayak buruh saja”.

Respon  ini menggambarkan kegagalan Tedjo, bukan hanya, dalam membaca dan menganalisis gerakan buruh, tetapi pemahaman siapa buruh itu sendiri.  Ada tiga point penting yang saya catat terkait pernyataan Tedjo ini.

Pertama, gagal paham definisi. Setiap orang berhak menafsirkan definisi subjek tertentu, tetapi sebagai seorang  pejabat publik, apalagi menkopolhukam, Tedjo dipaksa untuk berucap sesuai dengan konsteks peraturan perundangan-undangan. Karena jika tidak, multitafsir yang terjadi bisa menyebabkan kegoncangan-kegoncangan publik. Kasus ini adalah salah satunya.

Jadi berdasarkan UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan UU No. 14 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ditegaskan bahwa pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan  menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Artinya pegawai KPK itu bukan “kayak” buruh tetapi mereka memang buruh.  Bukankah KORPRI dan PGRI sudah tercatat sebagai serikat buruh di kementerian tenaga kerja? Hal ini merupakan pengakuan bahwa PNS itu adalah buruh.

JANGAN SEKADAR UPAH MINIMUN


Ketimbang isu ketenagakerjaan lainnya, penetapan upah minimun adalah yang terpanas. Negosiasinya selalu disambut unjukrasa besar-besaran. Dewan pengupahan, sebagai representasi pemerintah, pengusaha, serikat buruh, ditambah pakar dan perguruan tinggi, gagal meredam keriuhan ini. Dewan pengupahan seolah sekadar tempat adu ngotot, saling tuding antara buruh-pengusaha.

Ironisnya, taktik memperkuat bargaining kalangan buruh sering serampangan sehingga mengganggu ketertiban umum. Gegap-gepita, manuver dan antusiasme buruh dalam menuntut upah minimun mengundang cemooh publik. Buruh dituding sebagai kalangan yang mau menang sendiri.  Harga ini relatif mahal mengingat upah minimun hanya sebagian kecil dari target perjuangan buruh.

Lagipula upah minimun sejatinya hanya jaringan pengaman bagi pekerja lajang yang masa kerjanya di bawah 1 (satu) tahun. Para pekerja yang sudah berkeluarga tentu harus mendapatkan pendapatan di atas upah minimun. Artinya, pertarungan ini akan diteruskan ke tingkat perusahaan masing-masing.

S@GI BEDAH KITAB KUNO BUTON MUNA




Sang Gerilya Institute (S@GI) menggelar bedah buku “Nasihat Leluhur untuk Masyarakat Buton-Muna”  karangan Prof. La Niampe, pada Kamis, 15/1/2015, bertempat di D’consulate Cafe Jakarta. La Niampe adalah Guru Besar bidang kebahasaan di  Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.

Kegiatan ini dibuka resmi oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN dan RB) Dr. Yuddy Crisnandy. Bonnie Triyana (The Indonesia Institute) dan Oheo Sinapoy (budayawan lokal) bertindak sebagai pembedah buku, dengan dimoderatori oleh Indra J Piliang, Direktur Eksekutif S@GI. Berkesempatan hadir dalam acara tersebut Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam dan Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun. 

Dua kitab kuno menjadi sumber penulisan buku ini. Pertama, kitab “Kabanti Bula Malino” karangan Muhammad Idrus Qaimudin, sastrawan sufi yang pada usia 40 tahun mendapat amanah sebagai Sultan Buton. Sedangkan kitab “Kabanti Ajonga Yinda Malusa” dikarang oleh Syekh Haji Abdul Gainu, dikenal juga dengan nama Kenepulu Bula, seorang ulama sufi kelahiran Buton. Selain itu buku ini juga memuat naskah ”Silsilah Bangsawan Buton-Muna’ yang ditulis oleh Menteri Besar Buton awal abad ke-20.

RUU PRT DI NEGERI PEMADAM KEBAKARAN


Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah fenomena gunung es. Tetapi pemerintah masih bertindak seperti pemadam kebakaran. Ketika api berkobar besar, baru tunggang-langgang. Padahal model penyelesaian kasus per kasus dan bersifat kuratif jelas tidak menyentuh akar persoalan.

Sementara persoalan PRT kian kompleks. Bicara PRT tidak lagi sekadar upah, jam kerja, cuti, perlindungan kesehatan, keagamaan, atau keselamatan kerja seperti buruh industri umumnya.  Lebih dari itu, bicara PRT adalah juga bicara hak bersosialisasi, hak terbebas dari tindak kekerasan, dan hak atas rasa aman.

Data Jala PRT mencatat, pada 2014  telah terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Sebanyak 90 persen merupakan multikasus mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia, dengan pelaku majikan dan agen penyalur. Ironisnya, kasus-kasus tersebut mayoritas mencuat setelah para korban dalam kondisi tragis.

Selain itu, rendahnya pengaturan hukum juga berdampak masih banyaknya PRT anak-anak. Beban ekonomi telah merampas hak mereka untuk menikmati masa tumbuh berkembang, bermain, belajar dan mendapatkan kasih sayang. Padahal, PRT adalah salah satu pekerjaan terburuk bagi anak berdasarkan UU NO. 1 Tahun 2000 tentang Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dan tidak perlu riset khusus untuk mengetahui alasannya.

MASYUMI, PARPOL ISLAM DAN AHOK


Belum ada parpol Islam di Indonesia yang bisa membayangi Masyumi. Didirikan pada 7 November 1945, Masyumi mencoba menempatkan diri sebagai parpol penyatu kaum muslimin Indonesia dalam bidang politik. Pengaruh kuat Masyumi kentara pada Pemilu 1955, yang digadang-gadang sebagai pemilu terbersih. Masyumi sukses meraup 20,9 persen suara nasional, dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan. Dukungan terhadap Masyumi hanya terpaut tipis dari PNI-nya Bung Karno yang meraih 22,3 persen suara nasional.

Namun, kebesaran Masyumi bukan sekadar hasil pemilu. Kendati berumur pendek, sekitar 15 tahun, Masyumi telah meletakan substansi Islam politik yang modern, tetapi tidak tercerabut dari akar kebangsaan kita. Pembinaan yang baik membuat perilaku kader tidak pecah kongsi dengan nilai-nilai perjuangan Masyumi. Para tokohnya telah mewariskan keteladan, sikap tawadhu, zuhud dan memegang kukuh adab berpolitik. Penulis sendiri, setidaknya, melihat dua kebesaran Masyumi yang kian memperkuat peradaban politik bangsa ini.

DAN MENTERI SUSI DIBULLY


Sore itu istana merdeka cerah, tetapi sungguh hari yang melelahkan bagi Susi Pudjiastuti. Usai pengumuman nama-nama menteri Kabinet Kerja 2014-2019 selesai, perempuaan kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965, itu mencari sisi istana yang kosong. Ia menanggalkan sepatu hak tinggi, yang sangat jarang dipakainya, dan duduk mencangkung sambil merokok.

Awak media pun merubung. "Ya rencana, Indonesia harus jaya di kelautan. (Indonesia) 70 persen adalah laut, dengan good will semua pihak bisa," jawabnya ringkas dan optimis, mengingat dirinya belum mendapat arahan dari Presiden Jokowi untuk berbicara detail soal rencana program kerja dan prioritas.

Namun tampaknya publik punya arah sendiri dalam menentukan tema mereguk kopi hari ini. Bukan optimisme itu yang  merebak, tetapi sebatang rokok yang dihembuskan oleh seorang menteri perempuan di istana negara, yang notabene merupakan kawasan dilarang merokok, yang naik ke permukaan.

KEWIRAUSAHAAN DAN BURUH TER-PHK


Menghalangi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memang penting. Tetapi, mempersiapkan kalangan buruh untuk menghadapi PHK juga tidak kalah penting. PHK adalah salah satu risiko yang harus dihadapi kalangan buruh. Meskipun PHK adalah jalan keluar terakhir untuk mengatasi krisis tetapi tetap saja tindakan itu dilegalkan UU.

Jangankan di Indonesia. Selama Januari 2009 saja perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat telah mengumumkan rencana PHK hingga 138.252 orang pekerja. PHK itu tak bisa dihindari di tengah krisis finansial yang menghantam permintaan produk.

UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang menetapkan tahapan dan prosedur PHK yang pelaksanaannya tidak bisa sekaligus. Tetapi, peraturan kenegaraan itu juga menegaskan 14 penyebab PHK yang umumnya disebabkan resiko spekulatif dan mengandung unsur moral hazard yang tinggi.

Membangun Bangsa: Pemikiran Anwar Vs Mathiyas



Selalu menarik mendengar seorang pakar keuangan dan moneter bicara tentang produktivitas dalam ukuran produk. Apalagi jika yang bicara sosok sekaliber Guru Besar FE UI Anwar Nasution. Pemikiran teranyarnya terangkum dalam opininya di Kompas, Senin (8/4/2013) berjudul Kalah Bersaing di ACFTA.

Menurut Ketua BPK ini kekalahan Indonesia di ACFTA disebabkan dua faktor. Pertama, kurangnya upaya pemerintah dan dunia usaha menjelaskan peluang yang terbuka dari perjanjian ini. Kedua, masih luasnya ceruk pasar luar negeri yang belum dimasuki dan rendahnya produktivitas akibat kurangnya daya saing perekonomian bangsa.

Daya saing bangsa memang masih terseok-seok. Bahkan berdasarkan The Global Competitiveness Report 2012 terbitan World Economic Forum (WEF), indeks daya saing Indonesia anjlok dari posisi ke 46 (2011) menjadi ke 50 (2012). Kita masih tertinggal jauh dari Singapura (2), Malaysia (25), Brunei Darussalam (28) dan Thailand (34).

Serupa Anwar Nasution, Alomet & Friends percaya produktivitas dan daya saing bangsa merupakan kunci kemakmuran. Peningkatan produktivitas secara berkesinambungan, khususnya di bidang ekonomi, bermuara pada kemakmuran bangsa. Karena ekonomi produktif akan mendongkrak keuntungan pada modal yang diinvestasikan dalam setiap aktivitas bisnis. Pencapaian produktivitas yang berkesinambungan hanya dapat dilakukan dengan membangun keunikan, membangun daya saing guna memenangkan kompetisi antar bangsa. Produktivitas dan daya saing menjadi penting jika Indonesia ingin menjadi pemain global di pentas ekonomi dunia.

Pemikiran ini yang kemudian mendorong Alomet & Friends down to earth. Sejak satu dekade terakhir, Mathiyas Thaib, pendiri Alomet and Friends, bersama para senior konsultannya sudah membangun produktivitas dan daya saing pelbagai lembaga dan perusahaan nasional melalui pendayagunaan proses bisnis dalam framework arsitektur bisnis.

Dalam berbagai worshop, seminar dan pembelajarannya, Alomet & Friends terus mendengung-dengungkan isu produktivitas dan daya saing.  Termasuk menyuntikkan isu strategis ini kepada pelbagai lembaga dan perusahaan yang Alomet & Friends dampingi. Beberapa diantaranya adalah  PT Angkasa Pura II, PT Jasa Marga,  PT Pertamina Drilling Service Indonesia (PDSI), PT PLN, Bank Riau, Kementerian Keuangan, Pusdiklat Kementerian Perindustrian, RSCM, PT Aplikanusa Lintasarta, Fak. Kedokteran UI, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), PT. Industri Sandang Nusantara (ISN), PT Bormindo Nusantara, PT. ANTAM dan PT. KELSRI.

Garis Demarkasi
Daya saing bangsa dan produktivitas juga bukan isu baru. Sejak bangsa ini masih bayi, the founding father telah meletakan arah pembangunan nasional pada rel produksi, pada pembangunan daya saing. Karena itu, ramai-ramai anak bangsa dikirim Soekarno untuk belajar teknologi ke negara-negara maju. Karena itu, Soekarno berencana menghambat masuknya modal asing sampai sekitar 1980-an, kurun waktu di mana anak bangsa telah memiliki kompetensi untuk mengolah sendiri sumberdaya alamnya.

Garis demarkasi antara Anwar Nasution dan Mathiyas Thaib adalah perbedaan metode dalam mewujudkan daya saing bangsa. Dalam seminar Indonesia Economic Policy In Challenging Global Economy 2012 silam, Anwar Nasution menegaskan jika ingin bersaing dengan Cina, Indonesia harus menambah utang guna meningkatkan produktivitas dan pembangunan infrastruktur.

Lanjut Anwar, rasio utang Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih sangat kecil, yakni 25%. Masih relatif aman karena APBN memberi batas maksimal 60% dari APBN. Ini sesuai dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, merilis total utang pemerintah Indonesia sampai Maret 2013 mencapai Rp 1.991,22 triliun dengan rasio 24,1% terhadap PDB.

Sebaliknya Mathiyas Thaib menilai utang luar negeri tak ubahnya racun yang akan membunuh bangsa ini perlahan-lahan. Perekonomian berbasis utang lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Sejarah negara-negara dunia ketiga telah mencatatnya bahwa semakin besar utang suatu negara, semakin besar pula potensi korupsi dan penyelewengannya.

Ironisnya, Bank Dunia dan IMF malah terkesan membiarkan kebocoran itu. Tutup-mata ini adalah konkrititas dari mental bankir yang semata-mata bertujuan meraup pendapatan bunga sebesar-besarnya, tanpa ambil pusing dengan kebocoran yang terjadi. Ingat pendapatan bankir berasal dari bunga utang. Semakin lama jangka waktunya, akan semakin besar pula pendapatan bunga yang diraup.

Kebocoran akibat korupsi menyebabkan output project-project berbasis utang tidak sesuai target. Kendati begitu, pemerintah secara rutin harus membayar pokok bunga dan cicilan hutang luar negeri. Hal ini jelas mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi, termasuk alokasi dana pembangunan dari APBN. Pada APBN 2013 contohnya, cicilan bunga dan pokok utang diperkirakan mencapai Rp 171,7 triliun, atau 15 persen terhadap belanja pemerintah pusat.

Selain itu, utang luar negeri merupakan salah satu alat yang dipakai kekuatan asing untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan Iindonesia. Dalam banyak moment, kental nian upaya IMF dan Bank Dunia untuk mengarahkan pelbagai kebijakan mereka kepada Indonesia. Dua intervensi yang paling signifikan adalah penutupan bank investasi BAPINDO dan industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL produsen armada udara dan perairan indonesia. Bahkan IMF juga merambah kebijakan non perekonomian, seperti reformasi struktural kepemimpinan negara.

Kemandirian Cina
Melalui hutang, Anwar Nasution mengiming-imingi harapan Indonesia dapat menyaingi Cina. Padahal perekonomi Cina bukan berbasis utang. Williamson dan Zeng, dalam buku Dragons At Your Door (2007) menegaskan rahasia dari kemampuan korporasi Cina adalah inovasi biaya (cost innovation).

Korporasi Cina membongkar paradigma lama, yaitu teknologi tidak harus berbiaya tinggi. Cina mendayagunakan ilmu proses bisnis guna memunculkan keunikan sehingga biaya operasional perusahaan menjadi rendah. Keunikan Sang Naga adalah keberhasilan menemukan dan menggunakan teknologi alternatif, sumber daya teknik, desain, dan layanan yang juga berbiaya rendah. Hal inilah yang tidak dapat ditiru oleh negara-negara kawasan Eropa dan AS. Hal ini yang menyebabkan masifnya penetrasi produk-produk Cina ke pasar internasional.

Cina memang menarik investasi asing untuk mengakali kebutuhan fresh money. Tetapi kebijakan ini dilakukan dengan berhati-hati dan terkendali. Berhati-hati karena Cina melangkah secara bertahap sehingga adaptif dan tahan terhadap dinamika dan gelombang moneter yang datang dari luar. Investasi asing tidak dibuka ekstrim, diseleksi secara kreatif untuk kebijakan ekonomi di China.

Terkendali karena investasi yang masuk tidak dilakukan seolah-olah di ruang yang kosong, melainkan tetap memperhatikan norma, kondisi sosial, institusi, dan aturan main yang berkembang di negara tersebut. Sehingga unsur intern tetap menjadi penentu bagaimana dan kemana dana asing tersebut harus diinvestasikan.
Tidak seperti pemerintah Indonesia yang bisa didikte oleh kepentingan luar, Cina memiliki memiliki kemandirian dalam menetapkan kebijakan ekonomi bangsanya. Kemandirian ini tercipta karena Cina sadar akan konsep keunikan Michael Porter, yaitu jumlah penduduk Cina adalah suatu keunggulan, adalah pasar yang sangat besar, dan harus didayagunakan.

Apalagi CK Prahalad menegaskan bahwa persaingan industri dan ekonomi masa depan adalah bagaimana merebut pasar pada masyarakat lapisan berpenghasilan menengah ke bawah (fortune at the bottom of pyramide). Ingat hukum 20/80 pareto. Jumlah kalangan the have tak lebih dari sekitar 20 persen masyarakat dunia. Pasar pada masyarakat lapisan berpenghasilan menengah ke bawah masih sangat luas. Dan Cina adalah yang terbesar.


Cina tidak perlu mengemis investasi asing. Justru para investor yang berlomba-lomba meminta diperkenankan berinvestasi di sana.

68 TAHUN MERDEKA, SDM BANGSA MASIH TERTATIH


Menginjak 68 tahun Indonesia merdeka, ternyata daya saing global kita masih relatif tertinggal. Daya saing global Indonesia  berada di posisi 50 pada Global Competitiveness Index tahun 2012, dibandingkan dengan Singapore di posisi 2, Jepang di posisi 10, Malaysia di posisi 25, China di posisi 27, Korea Selatan di posisi 22, dan Thailand di 38.

Salah satu faktor penyebabnya, tentunya rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sebagai ilustrasi kita dapat melihat statistik ketenagakerjaan per Februari 2013, yang masih didominasi pekerja berkualifikasi pendidikan dasar yaitu sebanyak 74,9 juta orng (65,70%). Terdiri dari 54,6 juta orang (47,9%) tamat SD ke bawah, dan 20,3 juta (17,8%) tamat SD sederajat.

Fenomena ini sungguh ironis. Mengingat kemajuan suatu bangsa lebih ditentukan oleh kualitas SDM ketimbang kekayaan SDA. Kita dapat berkaca pada keberhasilan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Singapore, Taiwan yang lebih ditunjang oleh kualitas SDM-nya.

JEBAKAN IMPOR PARA KOMPRADOR


Miris rasanya membaca pemberitaan media belakangan ini. Indonesia terus diayun-ayun dalam jebakan impor barang. Pada periode Januari-Juni 2012 contohnya, BPS mencatat 10 produk nonmigas menjadi penyumbang terbesar nilai impor Indonesia. Porsi 10 komoditas tersebut mencapai 64,97 persen dari total nilai impor.

Produk-produk itu adalah : 1) Mesin dan peralatan mekanik; 2) Mesin dan peralatan listrik; 3) Besi dan baja,; 4) Kendaraan bermotor dan bagiannya; 5) Bahan kimia organik; 6) Plastik dan barang dari plastik; 7) Kapal terbang dan bagiannya; 8) Barang dari besi dan baja; 9) Serealia, dan 10) Pupuk.

Namun Indonesia bukan hanya negara pengimpor produk manufaktur dan olahan. Kita juga bangsa mengimpor produk hasil bumi. Pada produk-produk yang bersentuhan langsung dengan urusan perut semacam inilah publik baru berteriak. Garam, gula, kedelai, bawang, daging adalah kasus produk impor teranyar yang menjadi pembicaraan publik. Ironis memang, mengingat indonesia yang kaya SDA dan jumlah penduduk nomor 4 di dunia.

DONOR MENCLA-MENCLE, KE LAUT AJE #JAKARTABARU



Gubernur DKI Jakarta Jokowi  sedang disibukan oleh hutang. Pemasalahan ini berada pada dua posisi, yaitu sebagai representasi dari calon penghutang dan pihak penagih hutang. Uniknya  penyelesaian sosok yang digadang-gadang sebagai kandidat presiden masa depan ini berada di luar mainstream.

Dalam mewujudkan Jakarta Baru, Jokowi –Ahok tengah berkeringat mengatasi dua isu utama, yaitu kemacetan dan banjir. Isu transportasi diatasi melalui Mass Rapid Transit (MRT), sementara perihal penanganan banjir diredam dengan  Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) atau program pengerukan saluran, sungai, dan waduk.

Dua mega proyek inimembutuhkan dana sangat besar. Masuklah Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Bank Dunia sebagai lembaga keuangan yang siap menggelontorkan hutang .  Jokowi pun membuka peluang untuk bekerjasama.

PERAMPOK MAKAM


Aku meloncat ke bis Patas, jurusan Kampung Rambutan, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tambun Tanggerang. Hidup makin sulit, dan rezeki sudah tak dapat lagi dibatasi garis demarkasi wilayah.

Bertampang masam istriku membuka pintu rumah petak. Dia langsung ngeloyor ke dalam, sementara aku meredakan penat dengan selonjoran di sofa yang sudah koyak-moyak dan menjadi surga beranakpinaknya ratusan kepinding.

”Lho kok pahit, Dek?” Tanyaku setelah mereguk secangkir kopi.

Tampang istriku sontak selayak rok katun yang belum diseterika, ”aku punya tiga kabar buruk. Pertama, dapur kita tidak ngebul malam ini karena Mpok Markonah sudah menolak memberi hutang. Kedua, Si Rajib diusir gurunya akibat nunggak SPP tiga bulan. Terakhir, tadi pagi Pak Mahmud mengancam kita untuk siap-siap angkat kaki kalau pekan depan belum juga melunasi uang sewa rumah.”

PENGUATAN PERLINDUNGAN TKI



TKI merupakan salah satu permasalahan pelik bangsa ini. Pada sisi pertama, TKI adalah solusi konkrit mengatasi ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan pemerataan dan penyediaan lapangan kerja. Perekonomian nasional tidak mampu menyerap angkatan kerja yang pada Februari 2009 telah mencapai 113,74 juta orang dengan kuantitas penggangguran berjumlah 9,26 juta orang.

Faktanya dalam lima tahun terakhir penempatan TKI ke luar negeri terus meningkat hingga rata-rata per tahun mencapai 596.115 orang. Mereka tersebar di Malaysia dan Saudi Arabia, sisanya ke negara lain seperti Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Yordan Hongkong, Taiwan. Dengan kuantitas itu, TKI telah berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Remitansi mereka mencapai USD 8,24 milyar (2008) atau urutan pertama pada sektor jasa dan urutan ke-2 setelah penerimaan devisa migas. Remitansi itu juga berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga TKI yang diperkirakan berjumlah 16 juta orang. Besarnya kontribusi itu membuat TKI kerap disebut sebagai pahlawan devisa.

MENGERLING STRATEGI BISNIS SANG NAGA



“Meskipun anda belum pernah ke Cina, tapi yang pasti barang Cina pernah ada di tempat Anda, dan itu adalah realita”. Peter J Williamson, buku Dragon at Your Door (2007).

Dalam tiga dekade, semenjak Deng Xiao Ping menerapkan sistem ekonomi pasar terkelola di awal 1978, cakar-cakar naga telah terentang begitu jauh. Kini produk-produk Cina telah membanjiri pasaran dunia; USA, Eropa, Timur Tengah, Asia, termasuk Indonesia.

Dengan keunikannya, korporasi China sudah merambah industri-industrimass-market, termasuk pelbagai industri high-techdan specialty, sepertirefrigerator, container, berbagai mesin-mesin cetak dan lain-lain. Mulai dari teknologi tinggi yang menghasilkan X-Ray, seperti Zhongxing Medical yang berhasil memukul mundur General Electric dan Philips, HiSense yang telah menjadi pemasok terbesar perangkat TV di negara berkembang, hingga penghasil kereta bayi seperti Goodbaby.